Titik Nadhir #48

Bambang Wisanggeni

Oleh: Jendra Wiswara

Dengan tangan-tangannya yang terampil dia mencampurkan bubuk jamu racikannya sendiri. Tak lupa kuning telur ayam kampung ditambahkan di dalamnya. Sebuah air panas dari termos diseduh dan kemudian diaduk-aduk. Sambil menunggu ramuan encer, kutanya satu persatu nama-nama bubuk tersebut.

Temanku Si Embah ini menjelaskan secara rinci dan detail. Biar gampang kusingkat saja namanya menjadi Simbah. Simbah oleh teman-teman dipanggil begini karena semasa kecil, konon, empat gigi depan bagian atas copot semua. Entah salah gen atau salah makan. Yang jelas sejak itu giginya tidak tumbuh lagi hingga sekarang.

Setiap kali berbicara Simbah tak ubahnya orang tua yang sudah kempot termakan usia. Tapi dengan teknologi yang canggih, kini keempat-empatnya berhasil diganti dengan gigi palsu permanen. Oleh karena itu setiap kali berbicara dengannya secara face to face kadang aku mencium aroma tidak sedap keluar dari nafasnya.

Simbah selalu berpakaian Jawa. Katanya ini menunjukkan cirri khasnya sebagai orang jawa. Kadang ia berpakaian batik wiron agak lebar. Dan setelah kubelikan blangkon, kukira ia makin pas berdandan ala orang keraton. Bila berjalan kaki, Simbah, tak pernah berlenggang dengan kedua belah tangannya. Tangan kanannya, sejauh kuketahui, tidak berlenggang. Kulitnya agak langsat, kumis terpelihara baik.

“Apa sudah yakin kau dengan profesimu ini?” Tanyaku.

“Apa yang sudah menjadi keputusanku tidak akan kusesali.”

“Tapi bukahkah dulu di Surabaya kau sudah hidup mapan. Meski hanya karyawan biasa, setidaknya kau dapat menghidupi dirimu dengan baik.”

“Aku sudah jenuh dengan kehidupan kota serta keruwetannya. Orang kota tidak pernah kenal akherat. Yang dipikirin hanya duniawi saja. Lagipula jika aku balik kampung, setidaknya aku membantu program pemerintah mengurangi kepadatan penduduk.” Elaknya.

“Sudah cukup kau dengan keadaanmu sekarang?”

“Yang namanya rejeki sudah ada yang mengatur.” Kata-katanya singkat, padat, dan berisi.

Selama tinggal di Surabaya, diam-diam Simbah pernah menghabiskan waktu belajar dari seorang tua ahli ramu-ramuan di Mojokerto. Setelah gurunya wafat, Simbah kemudian meneruskan ajaran sang guru di Nganjuk. Tujuannya betul-betul mulia.

Dari sekian banyak teman-temanku hanya dia yang memiliki jiwa kemanusiaan sangat tinggi. Di sini Simbah banyak membantu orang-orang kesusahan dengan jamu racikannya. Boleh dikata jamunya memang berbeda dengan jamu-jamu lain.

Yang membedakan bubuk jamu diracik sendiri dari ribuan rempah-rempah. Setelah rempah-rempah ditumbuk halus kemudian sari patinya diperas dan dikeringkan hingga seperti sekarang ini.

Bedanya lagi, jamu racikan ini tidak diberi bahan pengawet sehingga tenggang kadaluarsa hanya bertahan tiga bulan. Jika dalam tiga bulan bubuk-bubuk tersebut tidak laku, maka dibuanglah dan diganti dengan yang baru. Simbah betul-betul menjaga kehigienisannya. Mungkin ini satu-satunya yang membedakan jamu Simbah dari lainnya dimana ia sangat menjaga anjuran sang guru. Bahwa dalam membantu orang lain, kata sang guru, seseorang harus ikhlas tanpa mengharap embel-embel apapun di belakangnya. Pun membantu orang jangan setengah-setengah, kalau sudah basah sekalian nyebur saja.

Orang yang meminta tolong biasanya megharapkan kesembuhan dari penolongnya–kendati yang menentukan hasil akhir adalah Yang Maha Kuasa. Akan tetapi jika si penolong yang menjadi perantara ini bekerja semaunya atau asal-asalan, maka kesembuhan itu tiada didapatnya justru akan mendatangkan kemudhratan bagi si penderita.

Yang namanya pengabulan tidak akan turun dari langit begitu saja, kecuali melalui perantara. Maka, pesan sang guru, jangan sekali-sekali memanfaatkan kekurangan orang itu. Bantulah mereka sekuat tenagamu, walau kondisimu sendiri tidak memungkinkan. Itulah wejangan terakhir guru Simbah.

Sebenarnya soal usia Simbah masih terbilang muda. Umurnya 28 tahun. Bahkan satu tahun lebih muda dariku. Masih bujang. Hanya saja cara berpikir Simbah ini sudah melebihi orang-orang tua di atasnya. Bersama Simbah dulu aku pernah montang-manting kesana kemari mengikuti beberapa pengajian. Kadang kami bela-belain pergi ke luar kota demi mendapatkan wejangan dari pak kyai. Walhasil, setelah sekian tahun menimba ilmu bersama, pada akhirnya kami pun memilih jalan hidup masing-masing.

Selama berada di tempat Simbah aku tidak banyak membantu selain menemaninya menunggu pasien. Baru sekarang aku merasakan betapa susahnya mengais rejeki dari berjualan. Apalagi tempat Simbah jauh darimana-mana. Letaknya ke pelosok desa. Kebetulan lokasi berjualannya merupakan bekas toko yang bangkrut dan kemudian disewakan kepada Simbah.

Tempatnya sendiri masih kepunyaan kerabat dekat. Sehingga meski tidak dipatok berapa harga sewa pertahun, Simbah tetap merasa bertanggung jawab menyisihkan sisa penghasilan untuk pemilik tempat. Sedang rumah Simbah berada kurang lebih 300 meter dari toko.

Ayahnya seorang buruh tani, dan karena usianya sudah tua dia hanya bisa duduk-duduk di rumah sembari memberi pakan sapi piaraannya.

Selama berjam-jam menunggu di tempat jamu, tak satupun pasien datang. Sementara aku orangnya tidak sabaran. Beberapa kali orang lewat kupandangi saja, berharap agar mereka mau mampir dan memberi temanku ini rejeki. Tapi yang ada hanya sapaan orang desa.

Huh, betapa geramnya aku melihat orang-orang itu cuma menyapa tanpa mau mampir. Sedang Simbah sendiri dengan sabar menghadapi penantian tak kunjung pasti itu. Dia tetap sopan memberi salam kepada mereka: mampir lek–sebutan untuk paklik.

Seorang laki-laki sempat mampir, alhamdulillah, pikirku. Setelah mereguk jamu Simbah, lelaki tersebut kemudian memberi informasi yang menghibur. Katanya sekarang ini di kota A ada pagelaran wayang kulit.

Alamak, sudah lama aku tidak menonton wayang kulit. Aku dan Simbah mempunyai hobi yang sama. Dulu sewaktu di Surabaya kami tak pernah absen dari tontonan rakyat tersebut, apalagi jika dalangnya sangat terkenal seperti Anom Suroto, Ki Manteb, Ki Enthus Susmono, dan atau Soenaryo.

Sebenarnya malam itu aku merasa badanku tidak enak. Sehabis berkendara seharian aku membutuhkan istirahat yang cukup. Tapi dasar Simbah dia tidak tahu betapa menderitanya aku. Simbah memaksaku untuk ikut, dan aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak ajakannya. Akhirnya setelah pukul sebelas malam, toko kami tutup.

Dengan motor mendayu-dayu kami pergi menuju tempat pagelaran wayang kulit. Aku terkejut ketika melihat ribuan penonton berjubel-jubel memadati jalanan. Mereka membeludak kemana-mana seolah tak pernah melihat wayang kulit sebelumnya. Nyaris kami tidak mendapati tempat. Semua penuh sesak. Bahkan untuk lewat saja tidak bisa.

Kami pun hanya sanggup melihat dari belakang kepala penonton dengan menjinjitkan kaki. Aku tidak menyangka anthusiame orang Nganjuk begitu besar terhadap kesenian wayang kulit. Bagi mereka wayang kulit adalah hiburan yang segar.

Memang tak pernah kulihat di Surabaya hiburan kesenian dipadati ribuan orang. Selama ini wayung kulit sekedar dipandang sebagai kesenian lama yang usang. Hanya segelintir orang yang bersedia menjadi bagian dari kesenian itu. Kukira mereka patut diacungi jempol.

Saking sesaknya penonton yang memadati, sampai-sampai ada penonton yang menaiki pohon, pagar rumah, dan berhimpit-himpitan di got. Sementara lainnya kulihat lebih asyik melihat dari belakang layar karena tidak mau terjebak dalam himpitan. Ada pula yang karena tidak mendapat tempat mereka berputus asa dengan menonton dari layar scream yang telah disediakan panitia.

Yang tak kalah hebatnya, tontonan wayang kulit ini dimanfaatkan orang-orang untuk berjualan. Ratusan penjual memadati lokasi. Mereka datang dari segala penjuru Nganjuk untuk mengais rejeki. Ini pula yang menyebabkan jalanan semakin macet.

Untuk jalan saja kami harus beriring-iringan, pelan-pelan, tidak boleh menyalip atau membuat jalan seenaknya sebab bisa membuat orang marah atau bahkan memukul kami. Sebagian orang ada yang berhenti di tengah jalan untuk sekedar melihat aneka barang-barang jualan. Kendati sulit mencari tempat menonton, kami tetap tak ingin melewatkannya.

Untuk beberapa saat kami berhenti di sebuah warung dadakan atau warung terbuka di pinggir jalan. Kami memesan kopi sambil mendengarkan suara sang dalang dari kejauhan. Kami pikir untuk sementara mendengarkan saja sudah cukup. Menginjak tengah malam nanti pasti banyak orang akan pulang, dan itulah saat-saat yang kami nantikan untuk mencari tempat duduk.

Umumnya dalam menonton wayang kulit, orang-orang cuma melihat cerita lawakan yang dibawakan oleh pelawak lokal. Biasanya lawakan itu muncul saat memasuki cerita Limbuk dan Cangik. Namun memasuki cerita goro-goro yang diperankan Punokawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, banyak penonton yang memilih pulang.

Itu sudah kebiasaan dan bisa kami kenali sejak dulu. Padahal kalau mau dicermati justru dalam cerita goro-goro inilah banyak pesan-pesan moral dan perjalanan spriritual anak manusia yang bisa kita serap. Hanya mungkin ceritanya terlalu pagi, maka penonton banyak yang tidak sabar dan memutuskan untuk pulang.

Adapun malam itu cerita wayang mengisahkan tentang percintaan Bambang Wisanggeni. Dikisahkan Bambang Wisanggeni mencari pusaka cukumanik untuk dijadikan senjata pamungkas melamar putri sang begawan. Ceritanya cukup mengena dan sangat familiar di telinga kami sebagai seorang bujangan.

Dalangnya adalah anak dari dalang terkenal Anom Suroto. Aku tidak ingat namanya, yang pasti dalangnya masih muda dan berstatus bujang seperti kami. Kalau tidak salah nama depannya ada Bayu-nya.

Dalam pewayangan itu diceritakan betapa berat tugas seorang anak manusia dalam mencari pendamping hidup. Ketika jodohnya itu dikejar, eh, malah terjadi peperangan amat dahsyat demi memperebutkan cukumanik.

Walhasil, peperangan tersebut kemudian dimenangkan tokoh Bambang Wisanggeni. Begitu pula dengan kisah kami, selama ini kami susah payah mencari jodoh, dan ternyata yang dikejar tidak merespon. Gagal satu, keluar lainnya, gagal lagi, dan gagal lagi. Tapi kami yakin bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan.

Sama dengan kisah Nabi Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke bumi setelah tergoda rayuan setan untuk memakan buah-buahan yang dilarang Allah. Adam dan Hawa turun ke bumi dengan waktu dan tempat terpisah selama ratusan tahun.

Adam tidak tahu dimana isterinya, begitu pula Hawa tidak tahu dimana suaminya. Keduanya kemudian melakukan perjalanan jauh. Adam berjalan menyusuri bumi. Ia mencoba untuk menemukan isterinya. Malaikat pun datang ke bumi. Ia berkata kepada Adam: Hawa ada di suatu tempat yang jauh di bumi, ia sedang menunggumu. Ia sendirian. Ia juga sedang mencarimu.

Jika engkau mengikuti jalan ini, maka engkau akan menemukannya. Adam menjadi penuh harapan. Ia berangkat untuk mencari Hawa. Ia berjalan bermil-mil dengan telanjang kaki. Ketika Adam lapar, ia memakan tumbuhan liar. Ketika hari gelap, ia merasakan kesendirian. Ia mendengar suara hewan datang dari tempat yang agak jauh, sehingga ia memilih tidur di tempat yang aman. Adam berjalan lagi selama beberapa hari dan malam. Ada yang menyebutnya pencarian Adam dan Hawa terjadi selama ratusan tahun.

Akhirnya ia sampai di Mekkah. Hatinya merasa bahwa ia akan menemukan Hawa di tempat itu atau di atas bukit atau yang lain. Hawa juga sedang menunggu Adam. Ia pergi ke puncak bukit. Ia melihat ke hamparan bumi di bawah, namun ia tak melihat siapa pun. Ia pergi dari satu bukit ke bukit lainnya untuk mencari Adam.

Hingga suatu hari Hawa berada di sebuah puncak bukit melihat ke sana kemari. Ia melihat seorang datang menuju ke arahnya dari kejauhan. Ia tahu bahwa orang itu adalah Adam. Lalu ia menuruni bukit itu dan berlari ke arah orang tersebut. Adam juga melihat Hawa dari kejauhan. Ia berlari menghampirinya. Mereka saling berlari ke arah mereka masing-masing. Pertemuan itu terjadi di suatu tempat yang teduh dari sebuah bukit. Hawa menangis karena bahagia. Begitu pula dengan Adam. Mereka berdua menengadah ke langit, bersyukur kepada Allah karena telah menyatukan mereka lagi.

Bila kuterjemahkan kisah Adam dan Hawa akan menjadi seperti ini, bahwa sebenarnya kisah itu merupakan penceritaan manusia dalam mencari pasangan hidupnya. Allah, sebelum menciptakan manusia, telah ditiupkan kepada mereka ruh-ruh baru dan diletakkan ke dalam surga seperti halnya Adam dan Hawa.

Ada yang mengartikan surga yang dimaksud adalah rahim ibu. Dari ruh-ruh ini telah ditetapkan manusia secara berpasang-pasangan. Sehingga ketika mereka turun ke bumi (dilahirkan), mereka pun dipisahkan oleh jarak, tempat dan waktu.

Untuk mencari pasangannya, seseorang harus melalui berbagai rintangan serta cobaan dari Allah. Bahkan kalau perlu berperang seperti yang dilakukan Bambang Wisanggeni untuk mendapatkan cukumanik.

Namun bukan perang dalam arti sesungguhnya, melainkan berperang melawan hawa nafsunya sendiri-sendiri. Aku menerjemahkannya pusaka Bambang Wisanggeni itu merupakan sebuah petunjuk atau arah yang diberikan Allah kepada makhlukNya.

Seorang manusia harus memiliki pegangan hidup atau tongkat yang dapat membantunya menunjukkan arah serta tujuan dalam mencari apa yang dicita-citakannya.

Adam ketika mencari Hawa atau sebaliknya, keduanya saling telah berperang melawan hawa nafsunya. Berbagai cobaan hidup telah mereka reguk tanpa pernah menuai kritikan apapun. Dan pada akhirnya mereka pun dipertemukan Allah di puncak kebahagiaan seperti halnya seorang pria dan wanita dipertemukan ke dalam puncak perkawinan.

Rasanya wajar jika semua manusia menginginkan yang terbaik bagi dirinya, termasuk aku dan Simbah. Di samping itu disebutkan pula bahwa yang namanya jodoh ada di tangan Allah. Manusia tidak memiliki kehendak dalam menentukan jodohnya selain berdoa dan berusaha, adapun hasil akhir hanya Allah yang tahu.

Bukankah Allah telah berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Boleh jadi saat ini kami belum menikah lantaran Allah memang belum mempertemukannya atau ada hikmah di balik ini semua. Mungkin juga saat ini Allah sengaja memberi ujian terhadap kami untuk menjalaninya dengan penuh kesabaran. Wallahua’lam.

Malam itu kami menyaksikan pagelaran wayang kulit tanpa berkedip. Kami tidak sadar mengapa begitu getol menyaksikan pertunjukan tersebut. Padahal biasanya ketika semua lakon dalam goro-goro sudah keluar dan menyelesaikan masalah dalam setiap babak, kami segera beranjak pulang.

Anehnya malam itu tontonan wayang kulit membuat kami terperanjat. Barangkali ceritanya sangat mengena karena mengisahkan perjalanan hidup anak manusia yang sedang dalam pencarian jati diri. Sehingga saat menonton kami tidak merasa risih atau jenuh. Bahkan menontonnya hingga sang dalang mengucapkan kata-kata penutupan: Wassalamualaikum.

Ini pertanda bahwa pagelaran telah usai. Alat-alat gamelan berhenti mengalun. Para penonton sudah bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Kursi-kursi kosong tanpa penghuni. Bekas makanan, minuman, serta putung rokok berserakan kemana-mana. Para penjual telah mengusungi barang-barang dagangannya. Saat itulah kami melangkah pulang dengan perasaan bahagia. The party is over, kata Simbah menirukan ucapan orang Eropa.  [bersambung]

titik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar