Titik Nadhir #44

Masjid Dari Langit

Oleh: Jendra Wiswara

Perjalananku masih sama seperti kemarin-kemarin. Aku dapat makan berkat beberapa jiwa-jiwa dermawan yang merasa kasihan melihat kemiskinanku. Meski demikian aku tidak pernah makan banyak, secukupnya agar tidak kepayahan dalam perjalanan nanti. Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk berangkat lagi.

Kulihat Edi sudah bangun dari mimpi panjangnya. Matanya nampak memerah. Semalaman waktunya dihabiskan menonton liga Italia. Maaf teman, aku tak sanggup menemanimu bergadang.

Sebelum pamitan, Edi mengajakku sarapan di warungnya. Kali kedua aku menghabiskan soto buatan Bulik Pon. Sebelum berangkat kuganti oli motor. Sudah sebulan motorku tidak diberi pelumas. Pasti dia meradang marah karena hanya kutunggangi saja layaknya kuda.

Saat pamitan, Bulik Pon sempat menyelipkan uang dalam jaketku. Semula aku menolak, tapi dia terus mendesak. Katanya untuk beli rokok. Aku sebenarnya tak berani menerima, toh akhirnya kuterima juga.

Setelah memacu motor meninggalkan orang-orang tercinta, dalam perjalanan kurogoh saku jaket, ah, rupanya seratus ribu. Beruntung sekali aku ini. Sudah dijamu bak raja, diberi makan enak, dberi tempat tinggal, dan sekarang diberi uang lagi. Rejeki memang tidak kemana-mana, celetukku.

Kupacu motor meninggalkan Semarang. Sebetulnya aku ingin sekali meneruskan perjalanan menuju Jawa Barat dan Jakarta. Masih banyak tempat-tempat di pulau Jawa ini belum kusinggahi. Memang pernah aku singgah ke tempat-tempat tersebut. Hanya saja semua perjalanan itu kulakukan secara terputus-putus. Bukan seperti sekarang, menempuh perjalanan keliling dari Bali, Lombok, Jawa dengan hanya sekali jalan. Lagipula aku sudah berkomitmen pada diri sendiri bahwa aku hanya akan berkeliling sampai Jawa. Dalam kamusku yang dimaksud Jawa adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Begitu pula warga Sunda (Jawa Barat) dan warga Betawi (Jakarta), mereka selalu menekankan bahwa wilayah Jawa adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut mereka Betawi ya Betawi. Sunda ya Sunda.

Makanya ketika dari Semarang aku langsung menuju ke Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Aku sengaja tidak mengambil arah ke selatan melalui jalur Purwokerto dan Purbalingga. Toh, pada akhirnya nanti ketemu Semarang juga. Makanya saat tiba di Brebes, aku langsung balik arah ke Semarang. Memang daya tahanku hanya membolehkan sampai Brebes. Kukira semua itu lebih dari cukup. Sudah lama aku berkendara dari satu kota ke kota lain. Mencari sesuatu yang belum ada menjadi ada. Dan hampir-hampir aku tidak pernah berhenti. Kini, sudah saatnya aku mengakhirinya.

Aku juga tidak berharap bahwa perjalananku akan berakhir begitu saja. Setidaknya dari semua perjalanan yang kurasakan adalah bagaimana menyatakan sebuah pengingkaran terhadap diri sendiri. Sebelum perjalanan ini dimulai, satu hal yang melekat pada diriku hanyalah kemauan serta keinginan yang menggebu-gebu agar dianggap sebagai petualang sejati atau bahkan lebih dari itu. Tapi aku lebih suka menyebutnya hawa nafsu.

Dari sini nafsu selalu berkutat pada diri, dan juga pada kebanyakan manusia. Dan bila permintaan nafsu kupenuhi, maka tiada habis-habisnya hidup ini. Satu hal yang kupelajari saat itu, bahwa nafsu telah gugur bersamaan dengan pertarungan waktu yang tiada kenal batas. Orang menyebutnya takdir atau nasib.

Nasib telah banyak membuat pendalamanku bertengger di atas angan-angan tanpa sanggup kuraih. Kini, setelah semua perjalanan kulalui, yang tersisa justru kepasrahan. Pasrah dan ikhlas menerima keadaan tanpa pernah berkeluh kesah kepadaNya atau setidaknya berusaha menyalurkan sebuah ekspresi rasa malu secara besar-besaran terhadap kekuasaanNya akan ketiadaberdayaan kita. Ini merupakan satu-satunya tujuan manusia dalam mendekatkan diri kepada kebesaran Ilahiah.

Tujuanku berikutnya adalah Demak. Dari Demak aku mulai merasakan sebuah pemunculan angka-angka, hari-hari, malahan juga jam, suku kata pada nama-nama orang, tahun, bulan, mata-angin, yang dalam istilah Jawa diberi nilai, dikombinasikan dan dihitung untuk melakukan sesuatu yang bakal atau tidak boleh terjadi.

Semua lagi-lagi berasal dari satu sumber, yakni pengingkaran terhadap kenyataan, ogah berpikir, menyerahkan segalanya pada kegaiban tanpa bertarung melawannya. Asal tidak berpikir. Akal yang digadaikan dalam genggaman tangan yang gaib, seperti gigi palsu, memang takkan kena aus.

Demak, dulu, adalah sebuah kerajaan besar yang pernah berjaya pada masa keruntuhan Kerajaan Majapahit. Banyak sekali pioner-pioner Islam yang hidup di sini. Pada saat itu nampak rona kebersamaan umat tampil dalam wujud yang tak menggebu-gebu, tapi nyata.

Dari sini pula Islam mulai tersebar ke penjuru Tanah Air. Sementara aku, iya, aku baru saja tiba di sebuah masjid yang dulunya pernah dijadikan sebagai tonggak kejayaan Islam pada masanya. Masjid itu bernama Masjid Agung Demak.

Dari depan halaman nampak bangunan masjid yang biasa-biasa saja dengan kubah menyerupai bangunan pura di Hindu. Memasuki pelataran masjid nampak orang duduk di luar dan dalam masjid menunggu waktu dhuhur. Pun di dalam masjid kulihat puluhan makam yang entah siapa pemiliknya. Beberapa batu nisan makam memang bertuliskan nama-nama tokoh besar yang pernah hidup di jamannya. Sebut saja Raden Patah, Maulana Magribi, Pangeran Benowo, dan lain-lain yang tiada kukenal.

Biar kuceritai sedikit tentang masjid ini, tentunya sebatas pengetahuanku yang kuambil dari beberapa referensi dan kugabungkan dengan cerita orang-orang di sekitar masjid.

Mulanya tak ada yang tahu masjid ini berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.

Oleh penduduk setempat masjid ini diberi nama masjid tiban artinya masjid yang jatuh dari langit. Setelah dilakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban, ternyata semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.

Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tidak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskanlah mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka. Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu ‘jatuh dari langit’.

Soal berpindah-pindah sang masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.

Pembangunan Masjid Agung Demak, tentu diprakarsai para wali. Jika berkunjung ke masjid ini, kita dapat melihat sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bekas punggawa Majapahit yang memihak para wali.

Ya, ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.

Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingunan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang. Sunan Kalijaga tak kekurangan akal, ia melihat serpihan kayu. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu. Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut Soko Tatal alias Tiang Tatal. Tiang seperti ini juga terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.

Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.

Dalam catatanku, masjid yang kini menjadi cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter.

Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak yang tiada kukenal. Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui para peziarah yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria. [bersambung]

 

bukunoveltitik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar