Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Keadilan Restoratif

Oleh: Habiburokhman

SAAT ini kita seolah kembali terbelah terkait dua kasus dugaan ujaran kebencian yang sangat menarik perhatian.

Beberapa saat lalu Habib Bahar bin Smith diperiksa, ditangkap dan ditahan aparat penegak hukum terkait pernyataan beliau saat berdakwah. Sebagian masyarakat membela beliau dan menyatakan apa yang beliau lakukan murni bagian dari menyampaikan pendapat, mengkritik, bagian dari demokrasi yang tidak boleh dipidana. Sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau dengan alasan tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya .

Tak lama berselang Ferdinand Hutahaean dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka dan dipanggil aparat terkait pernyataannya di twitter. Sebagian masyarakat membela beliau dan menyatakan apa yang beliau sampaikan adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang walaupun tidak tepat tetapi tak harus dihadapi dengan penetapan tersangka. Sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau dengan alasan tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya.

Saya tidak membandingkan sosok pribadi dua orang warga negara Indonesia ini, tapi dua kasus itu menggambarkan belum berakhirnya ketegangan dua kelompok besar anak bangsa, yang akhirnya berimbas pada munculnya kasus-kasus hukum, fenomena saling melaporkan terkait ujaran kebencian.

Hampir tiap hari selama beberapa tahun ini kita terjebak pada perdebatan soal kasus-kasus dugaan ujaran kebencian seperti di atas. Kasus dan orang-orangnya bisa berbeda-beda, tetapi substansi perseteruan kita tetaplah sama. Kalau pelakunya kawan tentu kita bela mati-matian, tetapi kalau lawan tentu kita minta untuk dipenjarakan. Setiap hari kita berganti peran, kadang meminta orang dibiarkan bebas berbicara, besoknya minta orang lain dipenjara.

Mau sampai kapan kita seperti ini? Berapa banyak waktu, tenaga, biaya yang kita kuras?

Media sosial membuat kita mudah sekali menyampaikan pendapat di ruang publik. Pernyataan spontan kita bisa dengan cepat tersebar dalam hitungan menit bahkan detik. Kadang apa yang ingin kita sampaikan tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dapat kita tuliskan.

Kadang apa yang kita tuliskan dimaknai berbeda oleh orang yang menyaksikan. Hal tersebut yang membuat siapapun mudah terjerat kasus hukum dugaan ujaran kebencian. Jangan dikira yang dekat kekuasaan bisa terus selamat, sebab kalau tekanan dahsyat tetap bisa juga terjerat.

Karena itu penegakan hukum dugaan ujaran kebencian tidak bisa dilakukan dengan semangat semata mencari kesalahan. Penegakan hukum terkait ujaran harus dilakukan dengan semangat restorasi  berkeadilan atau disebut keadilan restoratif.

Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Aparat penegak hukum hendaknya berkomunikasi dengan para pihak terutama korban dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

Dengan keadilan restoratif, hukum tidak diabaikan, tapi justru ditegakkan dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan.

Kita kedepankan dialog daripada saling menonjok, kita hindari kesalahpahaman dan perkuat persaudaraan.[]

*) Penulis Anggota Komisi III DPR RI

Komentar
Loading...