Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kematian, Mukjizat Cinta, dan Takdir dalam Novel Jerum Karya Oka Rusmini

*)oleh Sevira Putri Adelya 

Oka Rusmini, sastrawan perempuan yang terkenal dengan tulisan-tulisan berbau feminisme dan semburat isu-isu tentang peran perempuan dalam agama Hindu dan lingkup kebudayaan Bali berhasil melahirkan novel Jerum pada Agustus 2020. Embrio yang muncul dari proses pendedahan Kidung Jerum Kundangdya akhirnya rampung diterjemahkan dengan baik menjadi sebuah novel oleh Oka Rusmini.

Kemampuannya menerbitkan suatu karya sastra tulis dari hasil pendedahan kidung tersebut bertujuan agar karyanya dapat dibaca, dinikmati, dan dijadikan sebagai wawasan budaya Bali, ilmu pengetahuan sosial, dan resistansi spiritual oleh khalayak pembaca tanpa harus membaca kidung aslinya. Terlebih lagi, tidak semua orang awam bahkan para pegiat sastra Indonesia maupun para akademisi mampu memahami makna yang sesungguhnya dari Kidung Jerum Kundangdya.

Novel Jerum yang diterbitkan oleh penerbit PRASASTI tak lain merupakan bentuk dedikasi atas Penerimaan Penghargaan Bali Jani Nugraha Tahun 2019 dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Novel setebal100 halaman itu berisikan kata pengantar, prolog dari Oka Rusmini tentang proses mendedah kidung merajut kata dan kisah yang terbagi menjadi 5 bagian yakni Kundangdya, Garis, Tongkang, Rasa, dan Lebur.

Pada bagian kata pengantar tertera jelas bahwa Wayan Adnyana selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sangat berterima kasih atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena novel Jerum karya Oka Rusmini berhasil diterbitkan sesuai dengan rencana. Wayan Adnyana dan segenap jajaran Dinas Kebudayaan Provinsi Bali juga mengatakan bahwa mereka merasa berbahagia dan memberikan apresiasi atas kelahiran novel Jerum.

Pada bagian awal cerita, Kundangdya, menjelaskan sosok tokoh I Kundangdya yang mempertanyakan tentang hal yang mendasari ketakutan menjadi seorang manusia. Apakah kematian, kehilangan sahabat, kegagalan atau karena cinta yang membuat seseorang mampu kehilangan jati dirinya? I Kundangdya digambarkan sebagai seorang lelaki gagah, dingin karena senyumnya yang selalu tersembunyi dari bibir kecokelatannya, tampan, dan berkulit gelap. Pun, sepasang mata layaknya api yang berkobar, berambut tajam, dan lengkap dengan keringatnya yang diibaratkan seperti tetesan badai hujan.

Tokoh I Kundangdya memiliki ibu berstatus janda bernama Ni Sekar. Status janda tersebut diperolehnya sebab I Jodog, suaminya telah berpulang terlebih dahulu ketika I Kundangdya baru berusia tiga bulan. Dugaan sementara yang belum jelas tentang penyebab kematian mendiang ayahnya dikarekan I Jodog hanyut terbawa aliran air sungai. Seperti yang telah dipertanyakan oleh I Kundangdya dalam kutipan berikut ini.

“Bu, apakah benar ayah mati hanyut di sungai?”

“Ibu tidak tahu, Nak. Yang Ibu tahu… oh, kenapa orang-orang yang kucintai selalu mati dengan cara yang tidak wajar? Apa aku ini perempuan pembawa sial?” (Rusmini, 2020: 9).

Selain itu, kematian demi kematian sebenarnya tidak pernah luput dari kehidupan ibunya. Ni Sekar, perempuan paro baya yang sangat menyayangi I Kundangdya merupakan perempuan tegar, tapi hidupnya penuh kemalangan. Sebelum Ni Sekar lahir ke dunia ini, sebenarnya Ni Sabreg tidak mengharapkan sehingga ia selalu berupaya membunuh janin dalam kandungannya itu. Ni Sabreg adalah ibu dari Ni Sekar.

Dalam novel tersebut, Ni Sekar menjelaskan, ibunya dikabarkan meninggal dunia secara tragis. Kerangka tubuh ibunya yang sudah lama menghilang seperti ditelan bumi itu ditemukan warga Desa Subur di sumur mati, dekat perbatasan desa tempat tinggal Ni Sekar. Mereka menemukan kerangka tubuh mendiang Ni Sabreg tanpa kepala. Sungguh nahas dan dapat dipastikan bahwa seseorang telah membunuh ibunya Ni Sekar dengan cara yang keji dan brutal.

Tidak hanya Ni Sekar, tokoh Ki Liman Tarub dan adiknya, Ki Panamun juga mengalami lika-liku kehidupan menyedihkan. Peristiwa kematian janggal dan seperti sudah terencana dengan baik telah menimpa ibu mereka. Ketika Ki Liman Tarub masih berusia 15 tahun, Ni Sentil, ibunya, telah mengandung adiknya. Ni Sentil meninggal dunia setelah melahirkan adiknya karena ada panah beracun melesat ke tubuh perempuan cantik, bersahaja, nan lugu itu dan langsung bermandikan darah segar tepat di pintu masuk gapura rumahnya.

Setelah peristiwa kematian bertubi-tubi yang menyelimuti kisah kehidupan para tokoh di novel Jerum, ada mukjizat cinta yang syarat takdir Tuhan Yang Maha Esa. Pada bagian ketiga, yakni Tongkang, tepatnya di halaman 28, tokoh Ni Jerum digambarkan sebagai sosok perawan desa berparas cantik nan menawan yang berhasil memikat hati para lelaki di desanya. Terlebih lagi, ada sosok tokoh Ki Liman Tarub, saudagar kaya raya telah mendambakan dan ingin mempersunting Ni Jerum. Namun, kisah cinta mereka kandas setelah pernikahan rampung dihelat dengan megah. Penyebabnya, karena I Kundangdya yang juga telah tertarik dengan Ni Jerum semenjak datang ke pesta pernikahan itu, sungguh ingin mendapatkannya.

Meskipun I Kundangdya sudah tahu bahwa Ni Jerum telah menjadi istri sah dari Ki Liman Tarub, tetapi tekad I Kundangdya tidak redup begitu saja. I Kundangdya nekat menemui Ni Jerum di kamar, di rumah Ki Liman Tarub seperti yang tergambar dalam kutipan ini.

“Perjaka kasmaran itu lalu menuju bangunan sebelah utara. Dia mencium harum bunga. Secercah cahaya membias dari sebuah bilik. Jantung Kundangdya berdegup kencang. Dilihatnya Ni Jerum tidur sendirian di dalam bilik. Kasurnya dilapisi kain Dewangga berhias gambar sepasang domba bertarung. Tanpa pikir panjang lagi, Kundangdya memasuki bilik itu.” (Rusmini, 2020: 64).

Selepas kejadian yang disaksikan langsung oleh Ki Panamun hingga ia harus mengejar I Kundangdya, maka berkobarlah api kebencian, kemarahan, dan dendam Ki Liman Tarub. Seketika itu juga, takdir mengantarkan Ki Liman Tarub untuk membunuh I Kundangdya dengan menghunuskan keris beracun dan darah menyembur dari bagian lambung yang menembus ke tulang belikat hingga membuat I Kundangdya tewas seketika. Wajah pucat pasi dan tubuh menggigil Ni Jerum yang mendengar kabar kematian I Kundangdya langsung membenamkan diri ke pemandian untuk membersihkan diri.

Kemudian, ia melangkah keluar dengan mengenakan kain Sinjang Limur, sutra warna kehijauan lengkap dengan hiasan kembang sempol bercorak kupu-kupu tarung. Ia yang telah siap mengantarkan dirinya sendiri menemui ajal, langsung dicekau lehernya oleh Ki Liman Tarub. Keris yang menusuk dada Ni Jerum itu juga langsung membuat darahnya bercucuran keluar karena jantungnya telah robek.

Ki Liman Tarub dan adiknya, Ki Panamun langsung membawa jasad Ni Jerum ke lapangan sabung ayam dan meletakkannya di dekat jasad I Kundangdya. Warga desa setempat baru berani menyentuh dan menguburkan kedua jasad tersebut setelah Ki Liman Tarub dan adiknya pergi dari tempat itu. Waktu berjalan hingga berselang seminggu dengan kondisi Ki Liman Tarub yang masih saja mengutuki Ni Jerum dan I Kundangdya. Ki Panamun memberikan saran agar kakaknya itu menyepi ke gunung dan berguru ke seorang resi demi mencari hikmah, belajar mengendalikan nafsu indrawi, dan menumpas segala hasratnya yang membara itu. Namun sungguh, takdirlah yang tetap mengantarkannya ke tempat di mana ia bisa berada di alam ruh, melintas di atas pasar, hingga pada akhirnya melihat ruh Ni Jerum dan I Kundangdya. Suasana di pasar tersebut sangat kacau-balau karena Ki Liman Tarub mengamuk. Ia yang telah bergelar Ki Sarayuda ingin membunuh kembali kedua orang tersebut di alam roh.

Sri Begawan pun turun ke tempat tersebut demi memberitahu Ki Sarayuda bahwa ia tidak bisa membunuh orang yang sama untuk kedua kalinya karena Dewa Brahma tidak menciptakan manusia yang sama sebanyak dua kali. Namun, amarah Ki Sarayuda masih memuncak. Ia terus mengamuk hingga para dewa terpaksa turun dan menaburkan bunga untuk meluluhkan panasnya hati Ki Sarayuda. Ki Sarayuda jatuh pingsan. Ia tersadar di sebuah taman penuh dengan wangi bunga, udara segar, dan kicauan merdu burung-burung. Resi yang menjadi guru bertapanya, Hyang Batur memberitahu bahwa Ki Sarayuda harus menjadi seorang yang mulia dengan menghapuskan segala dendam dan lekas menumbuhkan benih kebaikan di hati.

Belum selesai sampai di situ, ternyata takdir Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesempatan melalui para dewa untuk menikahkan Ni Jerum dan I Kundangdya hingga mereka berada di surga selama sebulan. Atas doa sang ibu, Ni Sekar yang tidak kunjung berhenti menangisi kematian I Kundangdya, maka Bhatara Wisnu menghidupkan kembali I Kundangdya dan Ni Jerum ke jasad mereka dan hidup di kediaman I Kundangdya bersama ibunya, Ni Sekar.

Sayangnya, Ki Sarayuda yang mendengar kabar tersebut langsung turun dari tempat pertapaannya di gunung untuk kembali membalaskan dendam ke mereka berdua. Ia sangat ingin membunuh mereka lagi, tetapi tidak bisa karena Batara Narada turun ke bumi dan langsung murka sehingga keris Ki Sarayuda berubah menjadi pancuran ketika dibuang ke danau.

Akhir cerita menjelaskan bahwa adik Ki Sarayuda, Ki Panamunlah yang membalaskan dendam karena merasa sakit hati ketika kakaknya dipermalukan oleh I Kundangdya melalui bantuan para dewa, termasuk turunnya Batara Narada. Atas ajian sirepnya agar bisa menyusup ke rumah I Kundangdya, lalu dibunuh, ia tetap tidak berhasil karena para dewa tetap melindungi I Kundangdya dan Ni Jerum. Ki Panamun ditemukan terikat di pohon bunga pudak dan tidak bisa turun, kecuali jika diturunkan oleh I Kundangdya.

Akhirnya, ketika ia telah berhasil diturunkan dari lilitan daun bunga pudak oleh I Kundangdya, Ki Panamun langsung berlari karena pastilah ia merasa malu bahwa siasatnya demi membalaskan dendam kakaknya tidak berbuah manis. Kini, kita bisa mengetahui bahwa mukjizat cinta, kematian, hingga kembalinya orang terkasih dari kubur melalui rapalan doa yang khusyuk dan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa mampu menyatukan dua insan menjadi sepasang suami istri dan panutan yang baik bagi warga setempat. (*)

*)Penulis adalah Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2020 

Komentar
Loading...