Mahasiswa Untag Kenali Perubahan Aksara Jawa ke Latin di Kota Lama Surabaya
REKAYOREK.ID Sebanyak 90 mahasiswa Semester 5 Ilmu Komunikasi Untag Surabaya menjejakkan kaki menyusuri Kota lama Surabaya, zona Eropa. Mereka belajar menulis artikel, yang akan dibuat sebagai bahan press release.
Menurut Muchamad Rizqi, dosen Ilmu Komunikasi, dengan mata kuliah Media Relations, output dari kegiatan di kota Lama ini adalah para mahasiswa diharapkan bisa membuat berita rilis yang berpedoman pada hukum 5W+1H.
Kegiatan edukasi ini dipandu Nanang Purwono, mantan wartawan televisi yang kini banyak menulis artikel tentang Pemajuan budaya literasi Aksara Jawa. Adapun ruang lingkup pembelajaran di zona Eropa ini adalah untuk meniti jejak peradaban masa lalu di kawasan itu. Tepatnya dari Aksara Jawa ke Aksara Latin.
Berawal Dari Gedung De Javasche Bank (Museum BI), para mahasiswa ini diperkenalkan dengan jejak peninggalan Arsitektur kolonial Abad 20. Di tempat ini mereka mendapat preview tentang penulisan press release.
Press release adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan perusahaan kepada media agar media memiliki angle dan arah penulisan sebagaimana dikehendaki oleh perusahaan pembuat rilis.
Dalam preview itu, Nanang mengingatkan agar mahasiswa mengenali apa yang akan ditulis dan selanjutnya menulis apa yang sudah dikenali. Di sana, mereka diajak mengenali jejak budaya, yang ada di zona Eropa sebagai salah satu objek yang perlu dikenali dan berikutnya bisa menjadi bahan tulisan.
Dari Gedung eks Javasche Bank, mereka menelusuri Alun alun ala Eropa, yang kini dikenal sebagai Taman Sejarah. Dulunya Taman ini adalah Willemplein, yang menjadi bagian dari Balai Kota dalam konsep sebuah Kota Eropa. Di kawasan ini dulu pernah ada Balai Kota, square Willemplein dan Gereja.
Dari Taman Sejarah, perjalanan menuju ke jalan Gelatik, yang dulu merupakan komplek perumahan pejabat Balai Kota, yang keberadaan fasilitas ini masih bisa disimak. Yaitu dari nama jalan lama, Stadhuis steeg (gang Balai Kota). Bangunan bangunan yang masih berdiri disana adalah tipikal rumah rumah dari Abad 18-an. Bukan bangunan perkantoran seperti umum di jalan Rajawali.
Di perempatan jalan Gelatik dan Mliwis, para mahasiswa diajak memperhatikan peta lama kawasan Kota Bertembok Surabaya tahun 1750-an di mana pada gambar itu teridentifikasi kawasan Kampung Jawa dan Madura, yang secara literatif dulu warganya bicara Bahasa Jawa dan Madura, yang jika menulis menggunakan Aksara Jawa.
“Saya réng Mêdurê, belajar Hanacaraka”, celetuk salah satu mahasiswi yang mengaku orang Madura dan pernah belajar Hanacaraka.
Pernyataan mahasiswi itu menguatkan data sejarah bahwa orang Madura bicara Bahasa Madura dan menulis menggunakan Aksara Jawa.
Namun Lama kelamaan Aksara Jawa, yang digunakan orang Madura dan Jawa tergantikan oleh Aksara Latin seiring dengan berkembangnya peradaban Eropa. Wujud perubahan Aksara dari Jawa ke Latin ini, ditunjukkan pada penggunaan Aksara Latin pada nama sebuah pabrik lemoen legendaris JC Van Drongelen and Helffach dan Kantor asuransi Nederlandsch-Indische Levensverzekering- en Lijfrente-Maatschappij. Kedua nama entitas ini wujud nyata Budaya literasi Eropa yang telah menggantikan Aksara Jawa.
Seorang warga Belanda Desmond Koot dalam Facebooknya menulis “Javanese was actively used by the Javanese people for writing day-to-day and literary texts from at least the mid-16th century CE until the mid-20th centuryjuf. CE, before it was gradually supplanted by the Latin alphabet”.
Dalam facebooknya, Desmond Koot menyertakan gambar yang bercerita tentang seorang gadis yang disuruh belanja di pasar dan cerita itu ditulis dalam Aksara Jawa, yang berbunyi: “Iki lho ndhuk duwit, Tukuo lenga ing warung kana. Aja lali wadhahe plastik. Lengane aja wutah”.
Karenanya sebuah komunitas Aksara Jawa Surabaya Puri Aksara Rajapatni memasang beberapa spanduk menggunakan Aksara Jawa sebagai bentuk kampanye aksara Jawa agar pengunjung Kota Lama Surabaya bisa belajar budaya lokal sebelum masuknya bangsa Eropa.
Banyak pengunjung Kota Lama Surabaya tidak mengetahui peradaban intelektual tradisional ini, termasuk para mahasiswa yang masuk golongan Gen Z.
Karenanya di dalam jelajah Kota lama Surabaya, khususnya di zona Eropa, mereka diajak mengenali jejak peradaban itu dan menulisnya apa yang mereka kenali. Proses ini menjadi proses belajar sambil melakukan “learning by doing”.
Diharapkan jejak budaya literasi Dari Aksara Jawa menjadi Aksara Latin di zona Eropa ini menjadi angle yang bisa dijadikan konten press rilis oleh mahasiswa.
“Mereka bebas menentukan cerita dari apa yang mereka lihat selama jelajah Kota Lama Surabaya”, kata Muhammad Rizqi, san dosen.
Mereka tidak hanya diajak Mengenal budaya lokal Jawa, mereka juga diajak ke kawasan Pecinan dengan segala ciri khasnya yang ditata oleh pemerintah Kota untuk mendukung Konsep Kota Lama Surabaya. Misalnya di Jalan Kembang Jepun dimana sudah bertebaran Aksara Hanzi (Tiongkok) dalam bentuk papan nama toko dan Kantor. Perbedaan etnis dan kebangsaan itu menjadi potret Multikulturalisme Surabaya. @PAR/nng