Masjid Warisan Langit, Tetap Dijaga Eyang Sunan
Semua berawal dari penemuan masjid secara misterius. Penduduk menganggap masjid itu adalah masjid tiban. Namun belakangan diketahui masjid itu termasuk masjid bersejarah yang menyimpan karisma. Dan termasuk peninggalan Wali Sanga, pionir penyebaran Islam di pulau Jawa. Banyak keunikan dari masjid-masjid purba ini. Salah satunya adalah tiang penyangga soko tatal milik Sunan Kalijaga.
REKAYOREK.ID Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban. Artinya masjid yang jatuh dari langit. Namun H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), telah melakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban tersebut.
Ternyata, semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”.
Soal berpindah-pindah sang masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Soko Tatal
Sebuah kisah tentang Masjid Agung Demak. Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah pradondi kiblat –silang pendapat untuk menentukan arah kiblat –dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkan secara ainul yaqin.
Dalam Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Melaya, karena ia putra Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Lalu, menurut sahibul kisah, ia tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung Demak, tak pelak lagi, diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Tiang di barat laut merupakan karya Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara karya Sunan Ampel, dan yang didirikan di timur laut karya Sunan Kalijaga.
Tiang tersebut diletakkan pada empat penjuru mata angin berukuran besar dengan tinggi 17 meter. Keberadaan soko guru tersebut memiliki filosofi empat pilar utama ajaran Islam.
Seorang pengurus Masjid Agung Demak, menuturkan bahwa sebutan Soko Guru bagi empat tiang tersebut lantaran mengisyaratkan empat pilar utama dalam ajaran Islam. Yakni Alquran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan tinggi tiang yang mencapai 17 meter juga memiliki arti bahwa tiap orang Islam berkewajiban menunaikan solat lima waktu, yang jika dijumlah semuanya menjadi 17 rekaat. Masing-masing subuh 2 rakaat, dhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat, dan isya 4 rakaat.
Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat ddari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.
Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingunan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini dimasuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada –ia melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu.
Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’.
Tiang seperti ini hanya terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
Cuma sampai sekarang tidak ada data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak. Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di pintu masuk yang disebut Lawang Bledheg. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1, kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428 Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Dalam catatan Dinas Purbakala Jawa Tengah, masjid yang kini menjadi benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah masjid kuno pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa.
Konon pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, yang secara garis keturunan bersambung ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan, masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan, ia dibangun pada 1498 Masehi.
“Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak,” kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati.
Dulu, di majid ini pernah digelar sidang Wali Sanga untuk mengadili Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, Cuma ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal. Lalu jenazah Syeh Siti Jenar –usai dieksekusi Sunan Kudus –dimakamkan di Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’ –Majid Demak dan Ampel –Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa., walau kini dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari masjid ini adalah azan pitu, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. “Inilah satu-satunya kota di tanah Jawa yang namanya berasal dari bahasa Arab,” kata Prof. Dr. R.Ng. Poerbatjaraka (1884-1964), ahli bahasa dan kebudayaan Jawa.
Kudus, secara kontemporer lebih dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan Wali Sanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal masjid tersebut didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, lebih popular sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak diperdagangkan daging sapi.
Menurut penduduk, larangan menyembelih dan memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi.
Tapi tafsir ini sangat meragukan. Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari dan jam tertentu.[]
*) Diolah dari berbagai sumber