Perspektif Postmodernism Dalam Legitimasi Apple
Oleh: Fikri Mahbub
SIMBOLISASI di dunia modern ini tampak menjadi tipuan nyata kebudayaan sosial masyarakat. Dunia yang dianggap baru ini mengemukakan suara yang selama ini dianggap dapat merubah pola kehidupan manusia seutuhnya. Perubahan gaya hidup yang signifikan misalnya, dapat mempengaruhi spektrum sosial tentang kehidupan yang mapan.
Beberapa dekade belakangan manusia pada umumnya menganggap brand tertentu di dunia tekhnologi menjadi lambang kehormatan, kesejahteraan kehidupan, kemapanan strata sosial dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Mendukung upaya kapitalisasi yang kian digandrungi.
Jika kita mengambil contoh salah satu brand besar dunia tekhnologi abad 21 ini semacam Apple, kita akan setuju mengatakan jika brand ini merupakan raksasa yang dilabeli dengan brand kaum Borjuis yang tidak cocok jika digunakan oleh golongan proletariat.
Namun belakangan meski dianggap berada di kelas yang berbeda, Apple mampu mendobrak paradigma masyarkat luas dengan harus memiliki Apple meski pada taraf harus memaksakan kehendak menepikan kebutuhan primer sebagian orang.
Guna menentang paradigma kemoderenan itu kemudian muncullah narasi besar untuk mengkritik pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme itu sendiri yang biasa disebut Postmodernisme. Sebuah teori yang muncul pada abad 20 an di Eropa.
Kritikan itu menyasar kepada arti kebermanfaatan suatu benda, bukan lagi menyoal tentang nilai benda. Hal itu disuarakan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya yang berjudul For a Critique of The Political Economic of The Sign. Dalam buku itu Jean mengenalkan konsep Sign Value atau nilai tanda sebagai pelengkap atas teori yang diutarakan oleh Karl Marx tentang Use Value atau nilai guna.
Dalam artian, Jean mengatakan jika dalam sebuah benda yang memiliki nama beken juga terdapat suatu makna yang ditanamkan dalam pemahaman sosial. Dalam hal ini Apple mewakili status sosial dan kelas sosial ekonomi penggunanya.
Secara tidak langsung Apple menyampaikan pesan semiotiknya sendiri untuk penggunanya, bahwa Sign Value lebih diutamakan dariapda Use Value. Bahwa benda yang ditawarkan merupakan representasi dari kelas sosial yang tinggi dan memiliki nilai gengsi yang tak bisa didapatkan dari brand lain.
Realitas ini yang dikatakan oleh Jean Baudrillard sebagai hyper realitas, yaitu Simulacra tingkat tiga, dimana gambar atau nilai tanda bertabrakan dengan realitas atau nilai guna.
Lebih jauh lagi dalam postmodernisme, kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari anggapan kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Lebih gampangnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender dan group etnis masing-masing.@
*) Praktisi Hukum dan Pengamat Sosial