Oleh: Radhar Tribaskoro
DI sebuah kota tua bernama Leningrad—yang oleh sejarah dipanggil dengan nama-nama berbeda, dan oleh rakyatnya dikenang dengan luka yang sama—lahir seorang lelaki kecil pada musim gugur 1952. Ia menyandang nama yang sudah akrab dalam sejarah darah Rusia: Vladimir. Seperti Lenin. Seperti Vlad sang Penakluk dalam dongeng Eropa Timur. Namanya mengandung ketegasan dan doa.
Ia tumbuh dari reruntuhan. Ibunya hidup nyaris mati selama pengepungan Nazi. Ayahnya pulang dari perang dengan kaki pincang dan dada penuh isak yang tak sempat ditangisi. Vladimir Putin, seperti diceritakan Vladimir Brovkin dalam From Vladimir Lenin to Vladimir Putin, tumbuh dari generasi Rusia yang tidak pernah benar-benar mengenal damai, hanya jeda yang diberi nama perestroika.
Putin bukan Stalin. Ia bukan Lenin. Tapi seperti bayangan yang menyerap warna ruang, Putin hidup dari apa yang ditinggalkan para pendahulunya: rasa malu, kejatuhan, dan ambisi untuk bangkit.
Putin, Anak KGB dan Penjaga Luka
Brovkin mencatat bahwa Rusia adalah negeri yang tak pernah selesai dengan identitasnya. Setiap penguasa menulis ulang sejarahnya. Dan Putin, anak dari KGB, bukan sekadar penerus kekuasaan, melainkan kurator narasi tentang siapa itu Rusia. Ketika ia muncul dari kegelapan birokrasi Petersburg dan duduk di puncak Kremlin, banyak yang melihat wajah dingin yang tak menunjukkan gairah. Tapi di balik dingin itu ada panas yang terpendam.
Putin menyerap rasa kehilangan Soviet bukan sebagai kesedihan, tapi sebagai hinaan. Dan seperti anak yang melihat ayahnya dipermalukan, ia bersumpah: martabat Rusia tak akan diinjak lagi.
Itulah sebabnya, ketika Tucker Carlson menemuinya pada awal 2024, Putin tak banyak bicara tentang invasi atau strategi. Ia malah bercerita tentang abad ke-13, tentang baptisan Vladimir Kievan Rus, tentang kerajaan-kerajaan kuno, tentang Polandia dan Jerman dan petanya yang terus berubah.
Itu bukan sejarah. Itu terapi.
Putin, lelaki yang hidup dalam jantung kekuasaan, sedang menyusun kembali bangunan mental sebuah bangsa yang tercerai, yang mabuk demokrasi palsu tahun 1990-an, yang kalah dalam Perang Dingin bukan karena lemah, tapi karena percaya pada janji orang lain.
Ia sedang mengatakan: “Aku tahu siapa kita.”
Keheningan sebagai Senjata, Kejelasan sebagai Topeng
Wartawan Barat kadang menyebut Putin “tidak bisa dipahami”. Tapi barangkali, seperti kata Brovkin, justru keterbacaan Putin adalah jebakan. Ia terlalu mudah ditebak karena ia tidak pernah menyembunyikan ambisinya: menjadikan Rusia sebagai kekuatan yang dihormati. Ia tak ingin Rusia menjadi superpower dalam pengertian Amerika. Ia hanya ingin dunia berhenti menganggap Rusia sebagai catatan kaki sejarah.
Putin adalah murid KGB yang belajar bahwa kekuatan tidak selalu harus diumumkan. Keheningan bisa lebih menyakitkan daripada serangan. Seperti samurai tua yang tak pernah mencabut pedangnya, tapi selalu menatap seperti bisa membelah siapa pun kapan saja.
Witkoff, utusan Amerika yang datang membawa pujian, menyebutnya “super pintar” dan “bukan orang jahat.” Pernyataan yang oleh sebagian orang dicibir, oleh sebagian lagi diyakini sebagai kebenaran yang tak nyaman: bahwa Putin bukan monster, tapi manusia—manusia yang menyusun kehidupannya di antara reruntuhan moral politik pasca-Soviet.
Ia bisa lembut. Ia mengirimkan lukisan untuk Trump. Ia berdoa untuk keselamatan tokoh Amerika itu. Tapi ia juga bisa sangat dingin, seperti danau beku di Siberia: tampak damai tapi bisa menelan siapa saja.
Putin dan Perdamaian yang Tak Pernah Netral
Ironi terbesar dari Putin bukan pada perang yang ia mulai, tapi pada perdamaian yang ia tawarkan. Ia bukan Khrushchev yang menggedor meja PBB. Ia bukan Brezhnev yang membekukan waktu. Ia seperti aktor Chekhovian, berjalan pelan di atas panggung diplomasi, menawarkan perjanjian dengan wajah tenang, tapi dengan tangan lain menggenggam kekuatan.
Brovkin menyebutnya “penjaga kontinuitas.” Ia tidak menciptakan sistem baru. Ia hanya merestorasi kebanggaan lama: keluarga, gereja, tanah air, dan kekuatan negara. Dalam wawancara bersama Carlson, ia tidak membantah bahwa Rusia sedang berperang. Ia hanya mengulang bahwa Ukraina bukan negara yang berdiri sendiri, bahwa NATO berbohong, bahwa Barat selalu mengkhianati janji.
Dalam narasi itu, Putin melihat perdamaian sebagai kondisi yang bisa dinegosiasikan, bukan sebagai keharusan moral. Dunia boleh berdamai, asalkan tidak merugikan kehormatan Rusia. Ini bukan perdamaian Yesus, ini perdamaian seorang ayah yang akan membunuh demi melindungi keluarganya.
Antara Lenin dan Putin: Siapa yang Lebih Rusia?
Pertanyaan ini muncul dari buku Brovkin sendiri: di antara dua Vladimir ini, siapa yang lebih merepresentasikan jiwa Rusia?
Lenin adalah revolusioner, pemusnah tatanan lama, pelopor utopia. Putin adalah penjaga, pelestari arsitektur kedaulatan. Lenin membenci kekaisaran. Putin mencintai reruntuhannya. Lenin ingin menghapus agama, Putin memeluk Gereja Ortodoks dan memanggilnya sekutu. Lenin mencintai internasionalisme, Putin membela “dunia Rusia” yang tidak mengenal batas.
Kita tahu siapa yang akan dikenang lebih lama. Tapi kita juga tahu siapa yang sedang membentuk masa kini.
Putin, Akhir dan Awal
Kini ia berusia lebih dari 70. Wajahnya masih nyaris tak berubah. Garis-garisnya tetap keras. Senyumnya jarang. Tapi dalam setiap langkah, Putin bukan lagi sekadar presiden. Ia adalah fenomena psikologis dari bangsa yang tak pernah tahu kapan harus menyerah. Seorang filsuf pernah menulis bahwa setiap negara besar memiliki “jiwa”. Dan jiwa Rusia, jika benar ada, telah lama hidup dalam bayangan pria ini.
Ia bukan orang yang sempurna. Tapi dalam ukuran Rusia, ia cukup. Cukup kuat untuk tidak runtuh, cukup kejam untuk bertahan, cukup visioner untuk membuat dunia mendengarkan.
Dan mungkin, itu sudah lebih dari cukup.@