REKAYOREK.ID Inskripsi Jawa Kuna pada lapik arca Joko Dolog di Surabaya tidak hanya indah dan rapi secara fisik, tapi luar biasa sebagai pesan peradaban yang layak dimajukan dalam konsep pemajuan kebudayaan.
Bagai sebuah keajaiban dalam karya literasi tulis dari era lampau, abad 13, dimana inskripsi Jawa Kuna ini dapat terukir indah dan rapi melingkari batu cadas yang super keras. Ia mendiami bukit kecil di bawah rindangnya pepohonan beringin yang membawa teduh dari panasnya kota Surabaya.
Musim kian berganti musim, dirinya menjadi saksi perubahan dalam pembangunan kota Surabaya. Kini di sebelahnya, telah berdiri bangunan berotot kawat bertulang besi yang bernama kempi.
Di sekitarnya bukanlah lagi berjajar roda roda pedati yang terbuat dari kayu jati. Tetapi hasil dari kemajuan teknologi yang menghasilkan otomotif mulai dari suzuki hingga merci. Wajah Surabaya memang sudah berganti. Namun, Ia tetap bersemedi dengan sikap sempurnanya Bhumisparsa mudra, yang melambangkan memanggil bumi sebagai saksi, dimana tangan kirinya berada di atas pangkuan, sedangkan tangan kanan menelungkup di atas lutut.
Pada lapik Arca Joko Dolog ini terdapat prasasti dengan aksara Jawa Kuna dalam bahasa Sanskerta. Namanya prasasti Wurare. Prasasti ini berisi 19 bait dan mengandung lima makna sejarah yang berkembang pada masa itu. Yakni mengenai perebutan kekuasaan terhadap pembagian tanah Jawa menjadi Janggala dan Panjalu, yang sebelumnya pernah dalam satu kesatuan bernama Kahuripan.
Kedua wilayah Panjalu dan Jenggala ini akhirnya dapat disatukan kembali oleh Raja Wisnuwardhana. Prasasti yang dibuat pada 1211 (1289 M), juga menceritakan tentang penobatan Raja Kertanegara sebagai Buddha Mahaksobhya.
Pesan yang tersurat pada inskripsi, mengenai penyatuan kedua wilayah: Panjalu dan Jenggala, harus menjadi dasar dalam memelihara Indonesia yang wilayahnya jauh lebih luas dari Kahuripan yang kemudian menjadi Panjalu dan Jenggala.
Penggerak Budaya Surabaya, A. Hermas Thony, dalam moment sebuah produksi film dokumenter tentang Aksara Jawa di lokasi Joko Dolog berkata bahwa dari Surabaya ada pesan penyatuan dua wilayah yang bertikai yang terjadi pada beberapa abad silam.
“Pesan persatuan itu hendaknya jadi motivasi manusia Indonesia sekarang untuk membangun masa depan. Termasuk masa depan kota Surabaya yang masyarakatnya heterogen”, kata Thony di sela sela syuting film dokumenter.
Selain pesan menjaga persatuan, ada juga pesan yang nyata nyata menjadi dasar pelestarian. Yaitu pelestarian aksara. Aksara Jawa, baik aksara Jawa Kuna maupun Jawa baru yang dikenal dengan Hanacaraka (Carakan).
Untuk pelestarian Aksara, Puri Aksara Rajapatni Surabaya, memperkenalkan Aksara Jawa di lingkungan Joko Dolog. Ini menjadi kegiatan Puri Aksara Rajapatni dalam menyambut dan mengisi bulan Sura 2024. Menurut pendiri Puri Aksara Rajapatni, Ita Surojoyo, ini adalah wujud aksi Mapag Sura.
“Mapag Sura, di tahun baru ini semoga kita semua bisa menjadikan masa lalu sebagai sebuah pelajaran berharga, dan mampu merawat masa sekarang layaknya hadiah istimewa serta menjadikan masa depan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik setiap hari. Menjadi hati yang mampu menjulang tinggi tapi tidak tercerabut dari akar”, jelas Ita Surojoyo.
Aksara Jawa adalah aksara secara formal masih diajarkan di sekolah dan dipakai di masyarakat meski pengajaran dan pemakaiannya sangat terbatas dan langka. Karena fakta fakta inilah, maka momen bulan Sura menjadi tonggak mengingatkan kepada semua atas pelestarian nilai nilai yang tersimpan di Arca Joko Dolog.
“Hati kami tersentuh memandangmu, Untuk sadar melestarikanmu, Agar tak punah dari ganasnya alam, Juga tangan, tangan jahil, merusakmu…uh….uh……”,
Itulah sebagian lirik dari lagu Sound of Borobudur, yang sangat relevan dengan sosok Arca Joko Dolog yang perlu dilestarikan.
Sebagai bagian dalam tradisi Jawa, khususnya dalam bulan Sura, makan bubur Sura juga penting.
“Satu Sura biasanya aku bikin bubur Sura, kalau di Yogyakarta ya mubeng Beteng”, pungkas Ita dalam memaknai bulan Sura.@nanang