Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kisah Walikota Surabaya Doel Arnowo Berjuang Melalui Pena Sebagai Wartawan

REKAYOREK.ID Doel Arnowo dikenal sebagai sosok pejuang Surabaya. Perannya dalam peristiwa, yang menjadi latar belakang peringatan Hari Pahlawan Nasional itu, sangat besar. Salah satu peristiwa itu adalah terjadinya perundingan di gedung Internasio tentang gencatan Senjata antar kedua kubu Pejuang Surabaya dan Sekutu (Allied Forces).

Saat itu Doel Arnowo berada di lokasi kejadian di sekitar Jembatan Merah, saat seorang Komandan, Brigadir AWS Mallaby terbunuh dan selanjutnya memicu bara peperangan besar di Surabaya yang terkenal dengan Pertempuran 10 November 1945.

Sebagaimana dikutip dari https://jatim.idntimes.com/ bahwa suatu perundingan di gedung Internasio berjalan alot dan berlangsung lama. Namun akhirnya menghasilkan pembentukan Kontak Biro, sebagai penghubung dan pelaksana hasil-hasil perundingan.

AWS Mallaby menjadi salah satu perwakilan Inggris. Sedangkan Doel Arnowo bersama Roeslan Abdulgani hadir mewakili Indonesia. Sementara Mallaby berada di luar gedung. Terhadap peristiwa tewasnya AWS Mallaby, Doel Arnowo diduga mengetahui.

Itulah sekilas tentang Doel Arnowo tentang peristiwa Basar di Surabaya. Pada pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Surabaya belum terbebas dari pendudukan Belanda. Demikian juga Indonesia secara umum.

Sampai akhirnya penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949, yang isinya tentang pengakuan Pemerintah Belanda atas Kedaulatan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pasca penandatanganan pada 27 Desember 1949, pada tahun 1950 Doel Arnowo naik menjadi Walikota Surabaya. Ia menjabat sebagai walikota terhitung mulai 1950 hingga 1952. Doel Arnowo terpilih menjadi Wali Kota Surabaya karena dianggap mampu dan menguasai perihal tata kelola kota.

Doel Arnowo terpilih menjadi Wali Kota Surabaya. Foto: ist 

Selama masa jabatannya, Doel Arnowo mulai berbenah dan membangun berbagai infrastruktur Surabaya. Cak Doel jugalah yang memprakarsai dibangunnya tugu pahlawan, sebagai peringatan peristiwa 10 Nopember.

Tidak hanya Tugu Pahlawan sebagai simbol kejuangan dan nasionalisme, Doel Arnowo juga melakukan perubahan nama nama jalan dari yang berbau kolonial (Belanda) menjadi Nasional (Indonesia).

Berdasarkan pemberitaan oleh media media pada masa itu sebagaimana diarsip oleh delpher.nl bahwa perubahan nama nama jalan itu berlangsung dalam bulan Maret 1950. Jika tidak ada perubahan nama jalan dirasa akan kontradiksi dengan predikat kota Surabaya yang selanjutnya berjuluk Kota Pahlawan. Yaitu Kolonial vs Nasional. Karena nama nama jalan dianggap berbau kolonial.

Karenanya kesan Kolonial itu dirubah menjadi Nasional melalui perubahan nama nama jalan. Begitu banyak yang telah diperbuat walikota Doel Arnowo demi berkembangnya dan jati diri Kota Surabaya.

Surat kabar Berdjoeang

Perjuangan Cak Doel Arnowo, yang kemudian menjabat sebagai Walikota Surabaya ke 4 (1950-1952), sangat intelek. Yaitu sebagai wartawan. Di masa perjuangan Doel Arnowo menjadi anggota Biro Kontak. Doel pandai berdiplomasi. Ia juga menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Karesidenan Surabaya.

Karena kemampuan diplomasi itu, Doel mendirikan penerbitan yang diberi nama “Berdjoeang”. Melalui penerbitan itulah, Doel juga berjuang. Ia menyuarakan upaya upaya untuk meraih kemerdekaan. Doel sangat kritis sehingga sempat dipenjarakan.

Berikut profil Doel Arnowo yang dikutip dari Tirto.id.

Doel Arnowo lahir pada tahun 30 Oktober 1904 di Kampung Genteng, Surabaya. Ayahnya bernama Arnowo bekerja sebagai pegawai perusahaan ekspor gula milik Belanda.

Keluarga mereka memiliki kekayaan yang cukup dalam standar kelas ekonomi menengah ke atas.

Ayah Doel Arnowo sendiri tidak lulus sekolah dasar, tetapi ia berambisi memasukkan anaknya ke sekolah Belanda. Karena Doel Arnowo menentang keputusan tersebut, maka Doel Arnowo dipaksa menyelesaikan sekolahnya di HIS.

Setelah lulus dan menambah dua tahun belajar di sekolah menengah teknik Belanda, Doel Arnowo memutuskan untuk berhenti dari sekolah karena ayahnya telah meninggal.

Sebagai pemuda, Doel Arnowo adalah pengkritik paling keras pada masanya, ia memiliki simpati dan keprihatinan kepada masyarakat sekitar.

Doel Arnowo juga sempat bekerja di Kantor Pos Surabaya selama tiga belas tahun. Selama bekerja, ia menyempatkan diri untuk membaca dan mempelajari berbagai ilmu yang dapat membentuk dirinya.

Kemudian setelah itu, ia bergabung dengan PNI dengan tujuan agar dapat berkumpul dengan kaum terpelajar yang bercita-cita tinggi.

Pada tahun 1933, pemerintah memanggilnya dan menawarinya pilihan antara bekerja pada pemerintah atau memilih jalan pergerakan. Doel Arnowo pun memilih jalan pergerakan, karena sudah menjadi bagian dari dirinya.

Sebagai aktivis pergerakan, Doel Arnowo memutuskan untuk meniti karier di bidang kewartawanan. Bahkan ia sempat membeli mesin cetak dan menyusun penerbitannya dengan nama “Berdjoeang”.

Surat kabar Berdjoeang. Foto: ist

 

Melalui penerbitannya, Doel Arnowo mencetak kamus Marhen untuk bahan ajar para anggota dan pengikut PNI. Buku tersebut memuat banyak hal-hal radikal yang bersifat politis.

Hal tersebut membuat kamus Marhaen disita oleh pemerintah kolonial, kemudian memenjarakan Doel Arnowo selama delapan belas bulan.

Pada tahun 1950-1952, Doel Arnowo menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, di mana pada masa itu, ia juga yang menjadi penggagas pembangunan monumen Tugu Pahlawan di Surabaya yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1952.

Surat kabar perjuangan “Berdjoeang”. Foto: ist

 

Di masa pemerintahan Doel Arnowo, nama nama jalan yang berbau kolonial diubah menjadi nasional yang menggambarkan kekayaan alam dan budaya Indonesia pada Maret 1950.

Doel Arnowo juga merupakan Rektor Universitas Brawijaya yang pertama, yakni pada tahun 1963-1966. Doel Arnowo meninggal dunia di RSUD dr Soetomo, Surabaya pada 18 Januari 1985.@PAR/nng

Komentar
Loading...