Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Al Ghazali, Teoritisi Etika Lintas Zaman

Oleh: Rosdiansyah

SELAMA berabad-abad sejak masa Sokrates sampai para filsuf modern, masalah kebajikan selalu menjadi perhatian. Seseorang berbuat baik selalu mempunyai alasan kenapa ia melakukan perbuatan baik itu. Diantara alasan yang acap dikemukakan para filsuf adalah adanya model ideal yang menjadi acuan seseorang untuk berbuat baik. Alasan ini lebih utama daripada sekadar melihat karakter atau tabiat pribadi dalam melakukan kebajikan.

Itulah keunggulan manusia dibanding mahluk lain. Para filsuf modern lebih siap menerima bahwa keunggulan manusia bisa mengambil bentuk yang berbeda-beda. Ada banyak cara untuk menjadi baik, masing-masing dengan serangkaian kebajikan yang ditunjukkan. Misal, kehidupan seniman, yang diatur oleh kebajikan dalam kreativitas; kehidupan seorang militer, yang diatur oleh kebajikan keberanian; kehidupan seorang pekerja sosial, yang diatur oleh kebajikan kasih sayang—semua ini mewakili bentuk-bentuk kebajikan dalam kehidupan yang baik yang sama-sama valid meski tidak sepadan.

Meski demikian, karakter personalitas dalam keseharian masih sering menjadi perhatian publik, ketimbang menilai seseorang berdasar pada kebajikan yang telah diperbuatnya. Ada masalah etik dalam filsafat yang selalu diperbincangkan. Kita berbicara tentang pentingnya bagaimana kita seharusnya hidup dan menghubungkannya dengan pentingnya seperti apa orang yang seharusnya kita tiru.

Dalam konteks pembentukan etika pribadi, sosial dan lingkungan, peniruan atau acuan menjadi sangat penting. Sebab, acuan berperilaku atau berbuat sesuatu untuk kebaikan publik akan berdampak pada keseharian kita. Di awal pembahasannya dalam buku ini, Sophia Vasalou, mahaguru filsafat teologi Universitas Birmingham, sangat menekankan hal itu. Dalam perkembangan kita sejak usia dini sampai dewasa, kita lebih suka pada rekan atau lingkungan yang sesuai dengan keinginan kita daripada sohib atau lingkungan yang bertentangan melulu.

Warisan sejarah filsafat Yunani dan Romawi menunjukkan hal itu. Ketika Plutarch, Lucilius dan Seneca mengupas tentang kebaikan seseorang, mereka menjabarkannya untuk menjadi rujukan publik. Para filsuf itu mengurai karakter figur yang bisa menjadi teladan dalam kehidupan. Hingga muncul anggapan, bahwa keteladanan berdasar karakter yang dirujuk itu bisa menjadi unsur penting dalam teori etika.

Padahal, selain karakter figur bisa berbeda, juga dapat berubah seiring perubahan zaman. Tidak kekal, tak abadi. Dalam tradisi monoteistik, hal itu tak bisa diterima, sebab kebaikan serta kebajikan universal harus mengacu pada keabadian. Penulis buku ini menegaskan, bahwa buku karyanya itu bukan bertujuan memperbincangkan aspek-aspek kepercayaan, melainkan murni mengeksplorasi pandangannya yang sangat tertarik pada pertumbuhan serta perkembangan kebaikan serta kebajikan yang diajarkan dalam agama.

Menariknya, kehadiran Tuhan dalam pembentukan etika untuk manusia ternyata punya sejarah eksplorasi jauh di masa filsuf Yunani. Pythagoras telah menyebut dalam warisannya, bahwa kita harus mengikuti Tuhan. Dan Plato meletakkan dasar normatif hakikat mengikuti Tuhan sebagaimana dikemukakan Pythagoras itu. Yakni, menjadi adil, suci, penuh kebijaksanaan. Bahkan karya Aristoteles yang bertajuk Etika Nicomachean secara implisit memberi ruang kebahagiaan manusia pada ”Divinisasi”, yakni bertumpu pada ketuhanan.

Islam, tulis Vasalou, sangat unik dan mencerahkan. Syariah menjadi pusat dari pembentukan perilaku, tabiat dan mindset. Konsep tugas, kewajiban, perintah, dan larangan hidup berdampingan dengan berbagai konsep dan nilai yang ada dalam ajaran Islam. Gagasan tentang bagaimana muslim harus berperilaku, apa yang harus dilakukan muslim, telah menjadi tema-tema penting dalam karya-karya muslim yang menjadi rujukan literatur serta buku pegangan teologi. Karya-karya ini berdampingan dengan gagasan tentang tipe muslim seperti apa yang harus diupayakan seseorang.

Dalam berbagai karya muslim di wilayah teologi, filsafat maupun sufi, merujuk kepada sifat-sifat Ilahi sangatlah penting. Ajaran Islam menekankan itu dan banyak hadis maupun literatur Islam klasik, ungkap Vasalou, menunjukkan bahwa karakter manusia terbaik tidak dapat dipisahkan dari upaya perenungan tentang sifat serta karakter Tuhan. Maka, menjadi berbudi luhur berarti meniru sifat-sifat kebaikan, welas asih serta kasih sayang dari Tuhan.

Buku ini, tegas Vasalou, fokus membedah karya pemikir agama dan filsafat paling tajam dalam sejarah Islam, intelektual abad ke-11 Abū Ḥāmid al-Ghazālī (wafat 1111). Al-Ghazālī berada di titik penting dalam pengembangan gagasan, di mana berbagai aliran dan pengaruh bertemu dan mulai mengalir satu sama lain secara kuat. Yang pertama adalah aliran dan pengaruh yang berasal dari budaya filsafat Yunani. Yang kedua adalah aliran yang mengalir dari teks-teks suci Islam dan ekspresi-ekspresi spiritual yang dipraktekkan.

Dengan mengacu pada kedua sumber ini, al-Ghazālī menyusun konsep etika yang menempatkan kualitas karakter sebagai pusat kajian. Ini adalah salah satu pokok bahasan utama dari karya intelektual Al Ghazali yang sangat masyhur, Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Karya ini juga menjadi pokok bahasan dalam sejumlah karya pendek yang mendukungnya, termasuk Mizān al-‘amal (Neraca Amal) dan Al-Maqṣad al-Asna fī Sharḥ Maʿānī Asmāʾ Allāh al-Ḥusnā (Menjelaskan Nama-Nama Allah yang Paling Indah). Menurut Vasalou, ketiga karya Al Ghazali itu menjadi karya di bidang etika yang penting.

Vasalou menjelaskan pembacaannya terhadap ketiga karya Al Ghazali tersebut. Menurut Vasalou, ketika kita melihat orang-orang yang baik secara moral, maka kita merasakan ketertarikan yang kuat kepada mereka. Tuhan memiliki pengaruh yang sama pada kita, namun pengaruh Tuhan yang jauh lebih kuat mengingat seberapa jauh karakter-Nya melampaui standar kesempurnaan yang dapat dicapai manusia.

Asma Allah yang dikaji oleh Al Ghazali bisa menjadi rujukan umat manusia dalam bersikap, berperilaku serta berpikir. Ketika kita terpukau oleh rasa hormat dan kagum pada sifat-sifat-Nya yang indah, maka pikiran kita selanjutnya adalah bahwa kita ingin meniru sifat-sifat itu untuk kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat yang indah ini sesuai dengan nama-nama formal Tuhan sebagaimana yang dirinci dalam teks suci Qur’an. Al Ghazali memberi inspirasi kepada pembacanya, bahwa Asma Allah merupakan rujukan etika bagi kehidupan manusia.

Asma Allah mencakup banyak istilah yang kita kenal sebagai kebajikan standar, seperti “penyayang,” “sabar,” “adil,” atau “bijaksana”. Meskipun, mengingat perbedaan Tuhan yang absolut dengan kita yang nisbi, maka kebajikan-kebajikan kita ketika dipraktekkan dalam keseharian, tidak akan berarti hal yang sama dalam kebajikan Tuhan yang maha segala-galanya.

Ala kulli hal, kitab karya Vasalou ini memang benar-benar mengupas secara mendalam tiga karya Al Ghazali yang sesungguhnya sudah akrab bagi muslim yang mempelajarinya selama berabad-abad. Bedanya, Vasalou berhasil mengungkap bagaimana pondasi etika dalam karya Al Ghazali itu sebenarnya bisa menjadi rujukan bagi umat manusia dalam mempraktekkan kebajikan demi kemaslahatan bersama.@

*) Penulis adalah akademisi

Komentar
Loading...