Aksara Jawa Menghiasi Balai Kota
REKAYOREK.ID Bertengger di atas atap gedung Balai Kota Surabaya adalah sebuah untaian aksara Jawa yang berbunyi Balai Kota. Sama dengan tulisan Latin yang berada di atasnya.
Penggunaan Aksara Jawa ini adalah wujud nyata dari kebijakan Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, yang kemudian tertuang pada surat yang diedarkan Sekretaris Kota Surabaya, Ikhsan, dengan nomor 000/20389/436.7.17/2023, tertanggal 19 September 2023.
Isinya adalah tentang penggunaan Aksara Jawa pada kantor kantor di lingkungan kota Surabaya.
Diinstruksikan agar masing masing organisasi perangkat daerah (OPD) memasang papan nama dengan menggunakan Aksara Jawa yang mendamping huruf Latin yang sudah ada sebelumnya.
Menurut Anang Koerniawan, SE.,MM., Kepala Bidang Pengelolaan, Perlindungan dan Penyelamatan Kearsipan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya dalam kegiatan Rakor Aksara Jawa di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan memberitahu bahwa aksara Jawa untuk Balai Kota mulai dipasang pada Sabtu malam (23/9/23) dan pada Minggu (24/9/23) sudah bertengger besar di atap gedung.
Pada Senin (25/9/23) ketika pegawai Pemkot Surabaya berdatangan bisa melihat pemandangan baru di atas atap gedung. Bahkan aksara Jawa, yang berbunyi “Balai Kota” terlihat dari kejauhan (patung Jendral Sudirman).
Seorang penggayuh sepeda paruh baya yang sedang berhenti di pulau jalan di depan Balai Kota tertegun melihat aksara di atas Balai Kota.
“Loh, ada Hanacaraka” kata Mi’an warga Gubeng.
“Suwun pak Wali kota mau memasang hanacaraka”, kesannya singkat.
Nantinya seluruh kantor kantor di lingkungan pemerintah kota Surabaya akan memasang aksara Jawa berdampingan dengan aksara Latin yang selama ini sudah terpasang.
Rakor Penulisan Aksara Jawa
Sementara itu pada Senin pagi (25/9/23) digelar rakor di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya untuk memverifikasi penulisan aksara Jawa.
Dalam rakor yang digelar secara hybrid ini dihadiri oleh Anang Koerniawan (Dispusip), Ita Surojoyo (penulis buku aksara Jawa), Nanang Purwono (Ketua Begandring Soerabaia), Abimarddha Kurniawan (Filolog Universitas Airlangga), Setya Amrih Prasaja (Kasie. Bahasa dan Sastra, Dinas Kebudayaan, DIY, Elisabet Novililiana (pengasuh rubrik aksara Jawa Penyebar Semangat) dan Andi Asmara (Redaktur Majalah Ajisaka Balai Bahasa Jawa Timur).
Karena penulisan aksara Jawa itu berdasarkan pengucapan (voice based), maka nama nama kantor diucapkan atau dibacakan satu persatu untuk mengecek penulisan aksara yang telah dibuat tim berdasarkan transkripsi, yang sebelumnya dibuat oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, sudah benar. Check dan Recheck terus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
“Kami akan rechek untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Jangan sampai ada yang salah dan segera akan kami serahkan ke pemerintah Kota”, kata Ita Surojoyo.
Sementara menanggapi pemasangan aksara Jawa di atas gedung Balai Kota yang sudah bertengger sejak Minggu, 24 September 2023, menurut Ita Surojoyo, tata tulisnya sudah benar. Yaitu menggunakan Javanese Tradisional.
Di penghujung rakor aksara Jawa, Abimardha (Filologi Unair) memberikan alasan mengapa menggunakan Javanese Tradisional. Pertama karena Kebahasaan, terkait kosakata. Kedua karena Aksara, terkait huruf yang jumlahnya lebih banyak dan lengkap. Ketiga karena Makna, penulisan (huruf) mempengaruhi makna.
Sementara itu, Setya Amrih Prasaja menjelaskan bahwa terkait dengan eksistensi aksara Jawa di ranah digital dan standarisasi internasional Unicode, apabila menggunakan yang tradisional, penggunaan aksaranya lebih variatif sehingga semua ragam aksara yang ada di slot Unicode terpakai. Karena yang digunakan sebagai acuan untuk standar itu adalah utilitas atau penggunaan semua aksaranya.
Dari segi bahasa, penggunaan langgam tradisional lebih mengakomodasi kosakata serapan bahasa asing, terutama Sanskerta. Sebab dalam sistem bahasa yang diserap tersebut, satu aksara dapat membedakan arti.
Misalnya, (śūrabhaya) yang ditulis dengan langgam tradisional, dan (surabaya) yang ditulis dengan simplified, tentu lebih mengena yang menggunakan langgam tradisional (śūrabhaya) karena memang begitulah penulisan dalam sumber awalnya, prasasti Canggu (1358) yang dapat diartikan “berani menghadapi halangan/bahaya”. Sementara “sura” berarti ‘dewa’ dalam bahasa Sanskerta, dan “baya” berarti ‘buaya’ dalam bahasa Jawa.@nanang