Bahu Laweyan #10

Kamar Pembantaian

Oleh: Jendra Wiswara

Pak Bondo selalu cerita bahwa istri ketiganya benar-benar perkasa di ranjang. Bahkan dia sendiri sampai kuwalahan meladeni. Pak Bondo bangga menceritakan hal tabu tersebut. Tidak ke semua orang. Hanya orang-orang terdekat saja, termasuk ke istri-istrinya.

Padahal cerita Pak Bondo bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya. Dia tidak sadar, keperkasaan Nunuk di ranjang disebabkan makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya yang selalu haus darah. Pak Bondo tidak sadar dia sedang diincar makhluk tersebut.

Sementara di rumah, Nunuk tidak sabar untuk kembali bertemu suaminya. Harap-harap cemas.

Bayangan bertemu suaminya dan bercinta tiada akhir selalu menghantui.

Apakah Nunuk mencintai suaminya?

“Saya tidak tahu apakah ini dorongan cinta atau dorongan hasrat. Saya tidak bisa membedakan keduanya. Dengan suami-suaminya sebelumnya tidak begini. Yang jelas saya tidak sabar bertemu Mas Bondo. Setiap kali ditinggal ke istri pertama dan kedua, saya selalu kangen berat. Ingin segera dipeluk Mas Bondo. Tapi saya tidak pernah cemburu ke istri-istri Mas Bondo.”

Sepertinya urusan membagi waktu dengan istri pertama dan kedua telah selesai. Sekarang giliran suaminya membagi waktu ke istri ketiga. Nunuk menelpon suaminya. Menanyakan kapan giliran ke rumah.

“Halo mas, kapan kamu ke rumah. Sekarang giliranmu membagi waktu untukku!” Seru Nunuk.

“Iya, hari ini aku ke sana. Ini masih menyelesaikan urusan kerjaan,” balas sang suami.

“Awas kalau tidak ke sini ya. Aku sudah tidak sabar bertemu kamu, Mas,” sahut Nunuk manja.

“Iya, nanti aku pasti ke situ. Kamu siapkan semuanya ya. Seperti biasa.”

“Kamu maunya disiapkan apa, Mas!”

“Pokoknya kamu siap aja.”

Telepon ditutup.

Hari itu Nunuk mulai beres-beres rumah. Segala urusan ranjang disiapkan. Bahkan kamarnya sudah ditebar bunga melati sebagai wangi-wangian.

Harum. Romantis. Tapi di situ sekaligus bakal menjadi tempat pembantaian. Di situ makhluk halus di tubuh Nunuk akan memangsa korbannya hidup-hidup.

Nunuk tidak sadar akan hal itu.

***

Sore. Pak Bondo datang. Membawa sejumlah oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota. Termasuk oleh-oleh setumpuk perhiasan. Pak Bondo sangat perhatian dan mengasihi istrinya.

Tampaknya Nunuk tidak peduli dengan semua itu. Oleh-oleh perhiasan tidak menarik baginya. Yang menarik justru kedatangan suaminya yang langsung disambut dengan pelukan mesra.

Nafas Nunuk memburu dengan hebat. Tidak ada kata-kata manis. Tidak ada waktu untuk melakukan pemanasan. Tangan suaminya langsung ditarik menuju kamar yang sudah disiapkan.

Kamar pembantaian.

Dengan buas Nunuk mencopoti seluruh pakaian suaminya. Seperti anak kecil, pria itu diam saja. Perlakuan istrinya membuat darah muda Pak Bondo mendesir.

Belum pernah dia diperlakukan seperti itu. Pak Bondo bak seorang raja. Duduk di singgasana dan dilayani oleh selir.

Ya, seorang raja tinggal duduk manis. Biar selir yang melayani. Namun sang raja tidak sadar bahwa dirinya akan dijadikan tumbal bahu laweyan.

Pertarungan awal sangat sengit. Nunuk dengan jurusnya, Pak Bondo dengan jurusnya.

Dua-duanya saling mengerahkan jurus masing-masing. Yang menang, tentu Nunuk.

Pak Bondo dibuat tidak berdaya. Lunglai lemas.

Tapi Nunuk kembali mengeluarkan jurus. Sebuah jurus yang membuat suaminya harus bertarung lagi.

Kali ini durasi pertarungan lama. Jurus demi jurus dimainkan. Lalu, sang suami tergeletak lagi.

Nunuk bangkit dan membuat suaminya kembali bertarung.

Sepertinya dalam pertarungan tersebut, Nunuk ingin segera membantai suaminya. Dia tidak memberi waktu bagi suaminya untuk beristirahat.

“Nuk, aku sudah tidak sanggup. Kamu benar-benar luar biasa.”

“Aku kangen Mas Bondo!”

Perempuan bahu laweyan membangkitkan lagi gairah suaminya. Memaksanya untuk kembali bertarung.

Pertarungan diulang-ulangi sampai tiada tersisa. Sampai sang suami tidak berdaya. Sampai tenaga terkuras habis. Tiada tersisa. Sampai…detak jantung berhenti.

Sampai di situ Nunuk berhenti. Hasratnya lamat-lamat hilang. Reda. Dan, Nunuk pun pingsan.

Esoknya Nunuk terbangun dan mendapati suaminya sudah terbujur kaku. Matanya mendelik. Nunuk berusaha menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. Kali ini bukan goyangan hasrat yang muncul dalam dirinya. Melainkan sebuah ketakutan.

Di kamar itu, makhluk halus dalam tubuh Nunuk telah membantai korbannya.

Nunuk menjerit sekeras-kerasnya. Airmata menetes deras.

“Sejak melihat Mas Bondo meninggal, saya baru menyadari bahwa perbuatan saya selama ini akibat dirasuki makhluk halus. Saya sadar sosok bahu laweyan dalam diri saya yang telah menyebabkan Mas Bondo tewas.”

Polisi tiba di lokasi kejadian. Jenazah Pak Bondo segera dievakuasi. Hasil penyidikan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, kecuali kekerasan dalam urusan ranjang. Kekerasan lumrah.

Suami Nunuk dinyatakan meninggal secara wajar. Sebelumnya bertemu Nunuk, Pak Bondo sempat mengkonsumsi obat kuat. Diduga akibat efek obat tersebut, membuat jantung Pak Bondo tidak kuat. Dia kolap dan akhirnya meninggal.

Kematian Pak Bondo langsung viral. Orang-orang langsung mengkaitkan kematian Pak Bondo dengan tumbal bahu laweyan.

Orang-orang sebelumnya pernah mengingatkan Pak Bondo soal bahu laweyan. Namun tidak pernah digubris, dan menganggap itu hanya mitos. Dan sekarang terbukti, Pak Bondo tewas di tangan bahu laweyan meski hal itu tidak bisa dibuktikan secara medis.

Bahu laweyan selalu haus darah, dan akan terus menumpahkan darah korbannya hingga tiada tersisa. Cara matinya pun berbeda-beda.

***

Sejak kematian Pak Bondo, keluarga suaminya tidak pernah menuntut pada Nunuk. Istri pertama dan kedua memang pernah mengingatkan suaminya agar tidak menikahi perempuan bahu laweyan. Sayangnya, peringatan itu tidak pernah ditanggapi.

Istri-istri Pak Bondo paham resiko menikahi perempuan bahu laweyan. Kematian Pak Bondo dianggap malapetaka. Mereka tidak menyalahkan Nunuk, sebab perempuan itu tidak sadar akan perbuatannya. Kalau pun sadar, Nunuk juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab makhluk halus yang bersemayam di tubuh Nunuk telah mencengkram kuat.

Memang seharusnya tidak ada pernikahan. Seorang bahu laweyan tidak boleh memiliki pasangan. Kalau pun dipaksakan, maka jadinya ya seperti Pak Bondo dan suami-suami Nunuk terdahulu.

Karena itu sebelum menikahi Pak Bondo, Nunuk telah menceraikan suami ketiganya agar terlepas dari incaran makhluk jahat tersebut. Nyatanya, cara itu berhasil. Bayu hingga kini masih hidup.

Pasca kematian, kedua istri Pak Bondo tidak mengungkit masalah warisan. Pasalnya, keduanya telah mendapat bagiannya masing-masing. Sebetulnya Nunuk juga mendapat jatah warisan dari Pak Bondo, termasuk rumah magrong-magrong yang ditinggali. Namun rasa bersalah Nunuk atas kematian suaminya mengalahkan segala materi yang ada. Dia merasa tidak layak untuk mendapatkan warisan.

Nunuk kemudian mengembalikan warisan rumah, mobil, dan perhiasan ke istri-istri Pak Bondo. Dia merasa tidak pantas memiliki semua peninggalan suaminya. Nunuk merasa semua warisan itu merupakan hak istri dan anak-anak Pak Bondo.

Kepada istri-istri Pak Bondo, Nunuk menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menjadi istri yang baik bahkan dianggap telah mencelakakan suaminya. Nunuk tidak menyangka pernikahannya akan berakhir seperti itu dan secepat itu.

Sebetulnya dia pernah mengingatkan suaminya agar tidak menikah dengannya, mengingat dia adalah perempuan bahu laweyan. Tapi keinginan Pak Bondo tidak dapat dicegah. Apalagi, Nunuk merasa bapaknya memiliki utang pada Pak Bondo. Keadaan inilah yang memaksa Nunuk bersedia dinikahi.

“Semua harta peninggalan Mas Bondo saya kembalikan keluarganya. Saya menikah dengan Mas Bondo bukan gila hartanya. Keadaan yang telah memaksa saya untuk menikah. Saya tidak mau semua harta itu. Harta itu menjadi hak istri dan anak-anak Mas Bondo. Saya senang bisa membantu bapak melunasi utang-utangnya. Tapi saya juga sedih dengan kepergian Mas Bondo.”

[bersambung]  

bahu laweyancerbungcerpen
Komentar (0)
Tambah Komentar