Bahu Laweyan #64

Dikuntit Orang Gila

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk melanjutkan perjalanan. Pergilah dia dari rumah yang menjadi saksi pertarungan antara dirinya dan ribuan jin. Nunuk berkeyakinan Gendro Swara Pati tidak akan kembali. Ini terakhir kalinya dia melihat jin bengis itu. Doa Nunuk, semoga Wiwid dan ibunya senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Kini, di angan-angannya sudah terbayang jalan membentang nun jauh. Satu persatu langkah kakinya dijejakkan ke bumi. Lambat dan pasti. Tak terasa, Nunuk telah jauh meninggalkan Pangandaran. Kini di depannya terbentang Provinsi Jawa Tengah.

Satu persatu jalan dilewati. Waktu demi waktu dilalui tanpa meninggalkan cerita. Dan ceritanya yang disajikan sama seperti sebelum-sebelumnya. Perjalanan yang membosankan. Sudah diketahui arahnya. Kadang begini, kadang begitu. Tak terbayangkan berapa kali Nunuk merasakan kepayahan. Bukan satu, melainkan bertubi-tubi. Perjalanan itu seperti tidak ada ujungnya. Namun Nunuk tetap patuh pada keadaan.

Bahkan kadang keadaan membuatnya senang, kadang sebaliknya. Mengenangkan semua perjalanan yang dilaluinya, ada kalanya Nunuk merasa kesepian. Pada saat orang-orang sedang gegap gempita merasakan kehangatan berkumpul, bertegur sapa satu sama lain, Nunuk justru berada dalam keterasingan. Bagai daun keladi terendam air, perasaannya terkadang mengering tidak basah.

Nunuk seperti tinggal di dunia tanpa penghuni. Padahal tiap kota yang dilalui selalu ramai. Penuh hiruk pikuk. Bagaimana pun, perasaan keterasingan itu selalu ada. Sejak berkhalwat selama 6 tahun di hutan, Nunuk sebenarnya sudah lama merasakan keterasingan. Salah satunya kehilangan cinta keluarga. Terutama cinta ketiga buah hatinya. Dan ketika cinta yang dirindukannya kembali, ketika hatinya mulai pulih, dia malah dihadapkan pada pilihan sulit. Pergi lagi. Berkelana untuk waktu yang tidak pasti.

Keinginan Nunuk mengasingkan diri dari dunia, boleh jadi adalah keputusannya yang lahir dari bisikan syahwat tersembunyi. Tentunya terlepas dari urusan asmaranya dengan Sahid. Sementara Sang Pemberi Kuasa telah menetapkan untuk mencari kehidupan dunia. Sedangkan keinginan mencari kehidupan duniawi padahal telah ditetapkan untuk pengasingan diri, merupakan kemunduran dari cita-cita yang mulia. Jadi tergantung bagaimana orang menjalani. Apakah semata-mata untuk gagah-gagahan ataukah benar-benar mencari ridhoNya. Memang menggantungkan diri pada yang Haq membutuhkan sikap penerimaan yang keras. Namun terkadang usaha-usaha yang keras tidak mampu menerobos dinding takdir. Bisa jadi itu merupakan sebuah kelalaian dalam apa yang diwajibkan padanya. Itu tanda-tanda butanya mata hati. Ya, tidak ada gunanya betapapun banyak energi yang dicurahkan untuk sebuah niat dan tujuan, jika semua itu tidak sesuai dengan keputusanNya.

Nunuk tidak bisa meletakkan setiap keinginan di atas kehendakNya, yang telah mengatur alam kasat dan tidak kasat mata serta menetapkan semua takdir. Yang bisa dilakukan Nunuk hanyalah memfokuskan niatnya pada Dzat Yang Agung di balik semua penampakanNya.

Sembari berjalan, Nunuk mulai merangkai-rangkai ceritanya. Banyak cerita. Dari mulai yang terkenang dengan baik hingga tidak baik. Semua cerita itu datang dalam pikirannya. Sayangnya, banyak cerita dalam ingatannya terlalu menyedihkan bahkan mengerikan untuk dikenang. Kalau sudah begitu, Nunuk memilih untuk diam. Duduk dan menyapa keramaian kota, di antara lalu lalang orang, lalu mulutnya menebar mantra-mantra yang ditujukan pada Sang Kekasih.

Nunuk meyakini bahwa Sang Kekasih akan memenuhi doa dari setiap yang dipilihNya. Bukan sesuatu yang dipilih hambaNya, atau pada saat yang Nunuk inginkan. Sejatinya, Sang Kekasih sedang menguji makhluk untuk tidak ragu terhadap janjiNya, meski janji itu tidak terlaksana. Hal itu supaya orang-orang seperti Nunuk tidak memadamkan cahaya hatinya. Dengan tidak padam cahaya hati, maka Dia akan membuka pintu, sehingga Sang Kekasih bisa dikenali. Di situlah cahaya ruh. Pengetahuan tentang DiriNya merupakan sebuah karunia. Dia mencipta dan memelihara di dalam dan sekitar ciptaan.

Begitulah jalan hidup Nunuk. Tak pernah menolak takdir. Seorang istri yang taat pada suami. Sekaligus murid yang baik. Nunuk paham, bahwa segala yang diperintahkan padanya akan membawa kebaikan.

Meski begitu, Nunuk tetap harus berhati-hati baik dalam setiap langkah dan kata. Dia lebih memilih berdiam daripada menghabiskan kata-kata tidak berguna. Dia memilih berhenti berjalan, apabila langkahnya menimbulkan keragu-raguan.

Banyak orang ditemui Nunuk. Tetapi hanya satu yang membuat Nunuk keheran-heranan. Siapakah dia?

Selama berhari-hari berjalan, sejak meninggalkan Pangandaran, orang itu selalu ditemuinya.

Awal pertemuan dengan orang itu tidak disangka-sangka. Waktu itu Nunuk tiba di Cilacap. Dia berhenti di sebuah perempatan jalan. Nunuk duduk di bahwa pohon rindang. Saat itu siang bolong. Cuaca sedang panas-panasnya. Dari jauh Nunuk melihat seorang pria setengah baya bertelanjang dada berjalan di pinggir perempatan.

Tubuhnya terlihat masih kekar untuk ukuran orang seusianya. Sempat dia berhenti dan duduk lalu tiduran di trotoar. Dia tidak menghiraukan keadaan sekitarnya. Dia tidak peduli tubuhnya penuh debu. Pria itu hanya mengenakan celana pendek. Rambutnya panjang dan acak-acakan. Nampak tidak pernah disisir. Perawakannya sedikit mengerikan. Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi kotoran. Sehingga menyerupai dandanan orang gila.

Tidak lama pria itu bangun. Tersenyum sendiri. Lalu ngomong sendiri. Setelah itu pergi melangkahkah kaki dengan riang. Seperti tidak ada kebohongan-kebohongan dalam hidupnya. Gambaran-gambaran semu diganti dengan kejujuran, dengan keindahan dan kebaikan. Semua itu terurai dalam kesederhanaannya, dalam kesuciannya, dalam kehalusannya dan dalam kenikmatannya.

Dari kejauhan sayu-sayup terdengar pria itu mendendangkan lagu-lagu. Tertawa riang. Lalu menghilang ditelan keramaian kota. Dalam hati Nunuk berseru, “Apa yang membuat dia seperti itu. Apakah tekanan hidup! Mungkinkah tekanan hidupnya lebih berat ketimbang aku!”

Setelah itu Nunuk bangkit dan melanjutkan perjalanan. Menuju kota satu ke kota lain. Nunuk berjalan selama berhari-hari. Betapa banyak kepedihan dan derita yang ditanggungnya. Tetapi keadaan itu bisa diatasi oleh Nunuk. Sepertinya dia mulai terbiasa dengan keadaan. Semua dijalani dengan penuh keikhlasan. Waktu istirahatnya banyak dihabiskan di musholla dan masjid. Setelah itu dia berjalan lagi. Begitu seterusnya.

Begitu tiba di wilayah Kebumen, Nunuk dikejutkan lagi oleh sosok pria gila yang ditemuinya di Cilacap. Betapa jauh perjalanan yang dilaluinya, kenapa bisa bertemu lagi dengan pria itu. Saat itu Nunuk sedang istirahat di depan sebuah pasar. Tanpa sengaja lewatlah pria gila itu dari seberang jalan.

Sosoknya sama. Bertelanjang dada, rambut panjang awut-awutan, dan mengenakan celana pendek tanpa alas kaki. Nunuk heran. Padahal sewaktu di Cilacap, dia berjalan berlawanan arah dengannya. Dan sekarang dia bertemu lagi dengan orang gila itu. Dari beribu-ribu pandangan, Nunuk kini mengarahkan pandangan hanya terhadap pria gila tersebut. Sebuah pandangan yang dapat menyalakan semangat dan kemuliaan baru.

“Apakah ini sebuah kebetulan? Bila ini sebuah kebetulan, betapa sucinya keadaan yang kualami,” bati Nunuk berseru.

Nampak pria gila itu masuk ke sebuah pasar. Lalu keluar lagi dengan membawa bungkusan panganan. Dilahapnya makanan itu. Nunuk memantau dari kejauhan setiap gerak geriknya. Cara dia makan tidak menunjukkan kegilaan. Sopan sekali. Ada santunnya. Cari duduk juga santun.

Pria itu terlihat cuek dengan orang-orang yang hilir mudik di depannya. Lalu ada orang yang memberinya uang. Pria itu tidak mempedulikan. Tetap konsentrasi dengan makanannya. Seseorang memberinya segelas air. Tidak ada ucapan terima kasih atau melihat wajah si pemberi. Pria itu tetap tidak peduli dan terus melahap makanannya.

Setelah makanannya habis, pria itu meraih gelas air tadi dan langsung meminumnya hingga habis. Tidak ada kekhawatiran sedikitpun dalam dirinya. Pria itu seperti paham dengan perkara-perkara duniawi yang hanya digunakan sebatas kebutuhan darurat saja. Sebuah kebutuhan yang tetap dan tidak dapat ditolak. Sejatinya, dia begitu taat pada junjunganNya. Hawa nafsu ditentang. Dia begitu percaya pada Dzat yang mengatur segala urusan.

Karena segala urusan sudah ada yang mengatur, maka dia mengambil yang menjadi kebutuhannya saja. Di saat lapar, pria gila itu tinggal masuk pasar dan kembali membawa sebungkus makanan. Di situ juga tersedia air minum tanpa dia minta. Dia tahu bahwa yang mengatur segala urusan tidak akan membiarkan hambaNya tersedak. Jadi, air minum itu datang dengan sendirinya melalui orang-orang yang tidak dikenalnya atau yang merasa iba dengannya atau melalui malaikat yang berubah wujud menjadi manusia.

Pria gila itu sudah selesai melahap makanannya. Dia bangkit. Celingukan ke sana kemari. Jari telunjuknya menunjuk ke atas setinggi dadanya. Antara meneruskan perjalanan ke arah kiri atau kanan. Dia menimbang-nimbang. Pilihannya jatuh ke kiri. Sekali lagi arah tujuan pria gila itu berlawanan dengan Nunuk. Mungkin pria gila itu kembali ke Cilacap. Mungkin di sana rumahnya. Ya, tidak mungkin ada kebetulan kedua kalinya.

Setelah memperhatikan pria gila itu pergi menjauh dan hilang dari pandangan mata, Nunuk meneruskan perjalanannya. Kali ini berjalan menuju Purworejo. Di wilayah ini, setelah berhari-hari melangkah, Nunuk bertemu dengan pria gila itu lagi. Mereka berpapasan ketika melewati sebuah pedesaan yang sepi dan jauh dari keramaian. Anehnya, pria itu berjalan dari arah berlawanan. Seolah-olah dia pernah melintasi wilayah yang hendak dituju Nunuk.

Tidak ada tegur sapa. Tidak ada saling menatap satu sama lain. Kecuali Nunuk yang hanya mencuri-curi pandang karena rasa keheranannya. Pria gila itu sama sekali tidak memperhatikan Nunuk. Perasaan Nunuk makin campur aduk tatkala pria gila itu mengutip sebuah pantun.

“Jiwaku bergetar dan mataku tak kuasa menahan tangis. Tak pernah kualami hal seperti ini. Aku hanya berbicara dengan diriku sendiri. Dengan maut yang senantiasa mengepakkan sayapnya. Dengan Sang Kekasih yang membuatku terlena sepanjang waktu.”

Nunuk mendengar dengan seksama untaian kata-katanya. Hal itu membuatnya merinding. Pria gila itu menyebut nama Sang Kekasih. Mirip Sahid saat pertama kali bertemu dulu di gunung Penanggungan.

“Jangan terburu nafsu sampai memperoleh ciuman yang kuinginkan. Ah, betapa riangnya hidup ini dengan kehadiranMu. Engkau selalu ada di situ sampai akhir nafasku,” kata pria gila itu yang sayup-sayup terdengar oleh Nunuk setelah keduanya berpapasan.

Kegelisahan mulai menjalar di tubuh Nunuk. Dia mulai yakin bahwa pertemuannya dengan pria gila itu bukan sebuah kebetulan. Nunuk sempat menoleh dan ingin menyapa pria gila itu. Tetapi hatinya ragu. Dia membiarkan pria itu berlalu dan menjauh. Dari kejauhan untaian bait-baitnya masih terdengar dan kemudian menghilang.

Nunuk berhenti di pinggir jalan. Memikirkan berbagai kemungkinan, hingga memunculkan buruk sangka dalam dirinya. Dia merasa perjalanannya seperti dikuntit. Sayangnya perjalanan masih jauh. Nunuk buru-buru menghalau pikiran buruknya. Tidak peduli lagi dengan pertemuan secara kebetulan atau disengaja.

***

Hari berikutnya berlalu dengan cepat. Nunuk kini telah tiba di Yogyakarta. Tidak ada tempat yang disinggahinya kecuali masjid dan musholla. Itu pun hanya sementara. Sekedar melepas lelah.

Hari menjelang malam saat Nunuk tiba di masjid yang konon usianya mencapai ratusan tahun. Saking uniknya, meski sudah larut, tetap saja banyak orang berdatangan. Biarpun mereka datang hanya lima atau sepuluh menit. Yang jelas hari itu Nunuk akan singgah di tempat itu sembari memulihkan tenaga yang sudah habis. Nunuk memerlukan waktu untuk tidur sebentar.

Nunuk terbangun saat jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kondisi mulai pulih. Dia celingungkan ke sana kemari. Hanya beberapa perempuan yang dilihatnya sedang tertidur pulas. Saat hendak pergi mengambil air wudhu, alangkah terkejutnya Nunuk ketika mendapati sosok pria gila yang pernah ditemuinya berdiri di depan pintu masuk masjid dengan posisi membelakangi. Sosoknya sama. Bertelanjang dada. Mengenakan celana pendek tanpa alas kaki. Rambutnya panjang dan awut-awutan.

Dari kejauhan Nunuk menatap dengan pandangan curiga. Tetapi buru-buru perasaan itu ditepis. Dia tidak mau perasaannya menimbulkan ketakutan-ketakuan yang berujung perbuatan tidak baik terhadap orang lain. Nunuk ingin menyingkirkan semua kebingungannya, semua kedengkiannya, semua ketakutannya, semua kekhawatirannya. Bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat memberikan kebaikan bagi hati selain pengasingan spiritual. Dengannya, hati dapat memasuki wilayah tafakkur sejati. Karena itu hati seperti cermin. Memantulkan apa yang dihadapi dan dinginkan. Jika hati ikhlas menerima Nur Ilahi, maka dia akan menerima kebenaran sejati. Jika hati dipenuhi perselisihan dunia, yang ada hanya godaan-godaan fana.

Bagi Nunuk, pertemuan dirinya dan pria gila itu untuk kesekian kalinya bukan sebuah kebetulan. Semua sudah diatur dan didesain. Seperti hidung menghadap ke bawah, itu bukan kebetulan melainkan sudah ditakdirkan. Banyak peristiwa di luar nalar yang dapat mengantarkan manusia menyadari kekuasaanNya.

Hingga sampailah Nunuk pada sebuah kesimpulan, bahwa pria gila itu bukan orang sembarangan. Dia pasti orang berilmu tinggi. Hanya, penampilannya yang menipu. Orang-orang menganggapnya gila atau justru dia sendiri yang ingin dicap gila dengan menyamarkan diri dari khalayak ramai.

Nunuk pun memberanikan diri mendekati pria gila itu. Awalnya ada perasaan ragu. Dia takut jangan-jangan pria itu memang gila. Jangan-jangan kalau didekati, pria itu akan marah dan melempari Nunuk dengan batu.

Sementara pria gila itu tetap duduk santai. Dengan posisi bersila. Kepalanya menunduk ke bawah. Badannya sama sekali tidak bergerak. Cuma kepalanya yang sesekali melenggak lenggok ke kanan dan kiri. Persis orang berdzikir. Lalu lalang orang tidak dia pedulikan. Mungkin dipikir mereka, orang itu benar-benar orang gila.

“Assalamualaikum, Kyai,” Nunuk uluk salam sembari membungkukkan badan.

Pria gila itu tidak bereaksi dengan sapaan Nunuk. Seolah tak mau diganggu dengan sapaan. Dia benar-benar sedang berasyik masyuk dengan dirinya.

“Assalamualaikum, Kyai,” sapa Nunuk lagi.

Belum ada jawaban. Suara Nunuk tak digubris. Nunuk mengira pria gila itu sedang tertidur. Uluk salam ketiga diucapkan lagi.

“Assalamualaikum, Kyai,” ucapnya lagi.

Pria gila itu tersentak kaget. Tubuhnya kaku. Seperti patung. Kepalanya ditengadahkan ke langit. Matanya terbelalak menerawang jauh. Telinganya dibuka lebar-lebar. Memastikan uluk salam tadi ditujukan padanya.

“Assalamualaikum, Kyai,” kata Nunuk.

Kali ini suaranya sangat jelas. Terdengar dekat. Dan memang ditujukan padanya. Pria gila itu tidak menyangka bakal disapa oleh seorang perempuan. Padahal selama ini dia selalu diacuhkan orang-orang.

Sebentar dia menoleh ke arah Nunuk. Dilihatnya perempuan di hadapannya itu dengan tatapan mata polos yang dihiasi dengan kesucian dan kemurnian jiwa. Buru-buru Nunuk mengulurkan tangan, mencoba menggapai tangan pria gila itu untuk mencium tangannya. Sayangnya, ditolak.

“Bukan muhrim,” jawab pria gila itu.

Nunuk paham dan tidak membalas kata-katanya.

“Kenapa kau menyapaku?” Tanya pria gila itu.

“Sekedar ingin bersilaturahmi pada Kyai,” jawab Nunuk yang mulai mengambil tempat duduk di samping pria gila itu, meski tanpa diperintah.

“Apa kau mengenalku?” Tanyanya lagi.

“Saya beberapa kali melihat Kyai selama di perjalanan.”

“Kamu menguntitku,” tuduhnya. Nunuk kaget. Padahal awalnya dia yang mengira dikuntit. Sekarang dia balik dituduh menguntit.

“Saya bukan menguntit Kyai,” bantah Nunuk.

Meski dituduh menguntit, dalam hati Nunuk yakin bahwa pria itu bukan gila sebagaimana yang selama ini dikira.

“Terus untuk apa kamu menyapaku?” Tanya pria itu.

“Saya ingin berguru pada Kyai,” sahut Nunuk.

“Aku bukan ulama. Carilah gurumu sendiri,” kata pria itu melengos tanpa memperhatikan lawan bicaranya.

“Saya sudah sudah bertemu,” balas Nunuk.

“Aku tidak bisa mengajarimu. Aku bukan guru,” ucapnya.

Nunuk diam saja. Sama sekali tidak keluar ucapan dari bibirnya.

“Jangan bebani dirimu dengan segala yang kau tidak sanggup melakukannya. Alam ini semuanya dalam kegelapan. Akan sulit jika di dalamnya atau di dekatnya atau sebelumnya atau sesudahnya, berjalan dalam kegelapan.”

Kata-kata pria itu mengisyaratkan sesuatu. Nunuk terdiam. Pikirannya terbang melayang.

“Di balik kegelapan itu ada kerlap kerlip, ada bayang-bayang, ada awan tebal. Alam pancaindera takkan sanggup membobolnya. Semua pintu tertutup rapat-rapat. Semua terkurung di dalamnya. Bagaimana bisa membayangkan sesuatu tanpa membobolnya.”

Pria itu berkata dengan penuh makna. Kata-katanya seperti memainkan pikiran Nunuk. Bagai tipu muslihat. Sulit menemukan jalan keluar. Memikirkannya justru membuat Nunuk semakin terhanyut. Sebaliknya, dengan ketenangan hati dan pikiran, hal ini akan dapat menyelamatkannya dan menemukan jalan keluar.

“Tidak perlu dibobol. Biarlah jika terus berada di kegelapan. Toh, kegelapan ada yang menciptakan. Mau diterangi cahaya, mau ditutupi sekalipun, semuanya sama. Dari sesuatu atau di dalam sesuatu atau di atasnya atau di bawahnya, juga sama. Betapa menakjubkannya wujud bila tampak dalam ketiadaan,” balas Nunuk dengan menggunakan bahasa yang sama.

Pria itu manggut-manggut mendengarkan kata-kata Nunuk. Meski keduanya terkesan menggunakan bahasa mantiq dan sulit dimengerti, tetapi keduanya seakan-akan tahu apa yang sedang dibicarakan.

“Sejauh kau berjalan atau sebesar apapun keinginanmu hingga meninggalkan seluruh tanggung jawab, kau tidak akan menemukan ilmu yang kau cari,” jawab pria itu.

“Ilmu Allah memang sangat luas, Kyai. Saya paham tidak bisa mendapatkan semua itu,” balas Nunuk.

“Apa yang kau inginkan?”

“Saya tidak butuh sebanyak itu. Saya hanya butuh satu titik. Di titik ba’,” kata-kata Nunuk langsung membuat pria itu terperanjat. Matanya menatap tajam Nunuk diiringi dengan senyum tipis. Buru-buru dia bangun dari tempatnya. Nunuk mengikuti namun dengan kepala tertunduk.

“Aku tunggu kau di Gresik,” tegasnya dengan penuh keyakinan.

Dia lantas pergi meninggalkan Nunuk tanpa mengucapkan sepatah kata. Hingga sepuluh langkah ke depan atau di saat Nunuk memperhatikan pria itu, dia tiba-tiba menghilang dari pandangan mata. Yakinlah Nunuk bahwa pria yang dijumpainya adalah seorang Wali Allah. Sama halnya dengan Sahid.

Pertemuan Nunuk dan pria itu begitu singkat. Tidak ada perkenalan. Pun, tidak ada perpisahan. Nunuk sendiri tidak berani menanyakan namanya. Pria itu sepertinya juga tidak berkenan memperkenalkan diri. Siapa namanya? Berasal dari mana? Benar-benar misterius. Bahkan ketika dia berkata akan menunggu di Gresik, Nunuk tidak berani bertanya lebih jauh lokasi yang dimaksud. Yang jelas pria itu seakan menegaskan keduanya bakal bertemu lagi.

Begitu halnya dengan Nunuk, dia sangat meyakini bisa bertemu kembali dengan sosok pria misterius tersebut, sebesar keyakinannya bertemu dengan Sahid. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu di alam semesta terjadi sesuai dengan ketetapanNya. Semua sudah dicatat di lauhul mahfudz.[bersambung]

bahu laweyan
Komentar (0)
Tambah Komentar