Bahu Laweyan #59

Bertemu Gendro Swara Pati 
Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk belum bisa menutup matanya sejak terbangun dari mimpi. Nampaknya dia banyak pertimbangan. Duduk bersila di depan sajadah, jari jemarinya begitu fasih bergerak seakan sedang berhitung. Mulutnya komat kamit. Dari lisannya keluar kata-kata Allah. Namun pikiran dan hatinya tidak bersama Allah.

Kamar penginapan itu seolah berubah menjadi titik berat dalam hidup Nunuk. Bayangan Sahid yang baru ditemuinya dalam mimpi terus mengganggu pikirannya. Pria itu datang dalam mimpi yang tak dinyana-nyana dan membawa pesan cukup rumit. Apakah itu sekedar mimpi layaknya bunga-bunga tidur, ataukah itu mimpi nyata yang bakal menjadi kenyataan. Sukar membedakan.

Perlahan Nunuk memperdengarkan suara Sahid dalam mimpi. Suaranya agak berat. Dia mulai berpikir lagi, apa sebabnya Sahid mengunjunginya dalam mimpi. Nunuk sedikit tenang saat membayangkan wajah Sahid. Apa boleh buat. Wajah itu sudah lama didambanya. Sejak terakhir bertemu di hutan, Nunuk selalu dihinggapi rasa rindu mendalam. Namun ketika menimbang-nimbang kata-kata Sahid, Nunuk malah dihinggapi dilema. Tidak mengiyakan juga tidak membantah, sekalipun tidak percaya sepenuhnya.

“Ini cuma mimpi. Mimpi adalah bunga tidur. Mungkin Mas Sahid muncul dalam mimpiku karena aku memendam rasa rindu. Mungkin ini kebetulan saja. Haruskah aku menjalankan perintah Mas Sahid?” Nunuk bertanya-tanya dalam hati.

Punggung Nunuk yang tadinya menunduk, kini ditegapkan kembali. Mencoba fokus pada satu titik. Sayangnya tidak bisa. Pandangan tetap lurus ke depan. Menembus dinding-dinding kamar. Merangsek keluar menuju cakrawala luas. Lalu berhenti di sana.

“Bagaimana bila mimpi itu benar?” Nunuk menebak-nebak.

Pada dinding-dinding cakrawala, Nunuk tiba-tiba menemukan keyakinan besar atas mimpinya. Apapun keyakinannya, benar atau tidak, Nunuk dapat merasai kepercayaan tinggi terhadap Sahid dalam mimpi tersebut.

Nunuk lalu teringat cerita Iksan soal mimpi. Saat itu mereka masih menjadi suami istri. Menurut Iksan, semua orang di dunia pernah bermimpi. Bahkan Rasulullah pernah bermimpi dan menakwilkan makna mimpinya..

Salah satunya ketika Nabi melihat manusia berbaju gamis. Ada yang sampai ke dada dan ada yang sampai lebih bawah dari dada. Kemudian Umar bin Khattab melewati dengan memakai gamis yang ia seret. Kepada para sahabat Nabi menjawab, “itulah agama!”

Dalam hadist disebutkan bahwa mimpi manusia ada tiga macam, pertama mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah. Kedua mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari syetan. Dan ketiga mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan atau khayal seseorang.

Entah mimpi Nunuk masuk kategori mana. Masih bingung dia mengurai mimpinya. Di satu sisi ada hal baik datang padanya. Yakni ketika bertemu dengan Sahid. Namun dari pertemuan itu ada pesan rumit yang diterimanya. Antara menakutkan dan menyedihkan. Sementara di sisi lain, dia memang selalu membayangkan dapat segera bertemu suaminya.

Namun yang dia yakini, bahwa mimpi bertemu suaminya dianggapnya hal paling nyata. Permunculan Sahid terasa benar oleh Nunuk. Waktu dia terbangun dari tidur, hal pertama yang dia sadari adalah mimpi tersebut dapat mengayunkan suasana malam itu. Nunuk terbangun dan buru-buru jatuh dalam renungan. Berkaca pada diri sendiri. Lalu, tersenyum puas.

Nunuk meyakini, mimpi bertemu Sahid sangat jarang dialami. Apalagi Sahid termasuk Wali Allah. Bagaimana pun ulama adalah pewaris para Nabi. Dari ulama, manusia diantarkan menuju hidayah Allah dan cinta kepada Rasulullah.

Apakah Nunuk akan menjalankan perintah Sahid seperti dalam mimpi? Bisa jadi, bisa juga tidak. Sebab mimpi tersebut bagi Nunuk masih tersirat, sulit untuk mewujudkannya. Yang bisa dilakukan Nunuk hanyalah melanjutkan perjalanan ke jalur Selatan seperti yang sudah direncanakan. Itu artinya rencana dia sama dengan pesan dalam mimpi. Nunuk juga tidak akan mencari keberadaan Gendro Swara Pati. Karena hal itu pasti sulit dilakukan. Tetapi dia tetap berjalan ke arah Selatan dan singgah ke Pangandaran.

Terkait mimpi bertemu Sahid, Nunuk tidak menceritakan pada Dewi. Biarlah itu menjadi rahasianya. Sebagaimana pesan Iksan padanya, jika bermimpi bertemu ulama atau wali, jangan sampai orang lain tahu. Biarlah mimpi itu menjadi hikmah tersendiri. Sebab bila mimpi itu diceritakan pada orang, maka akan menimbulkan riya’ dan sum’ah. Itu adalah penyakit hati. Perbuatan ingin dipuji dan perbuatan memperdengarkan perkataannya yang secara dhohir untuk Allah akan tetapi mempunyai tujuan untuk selain untuk Allah, adalah tidak baik. Barangsiapa yang berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka Allah akan membuka serta memperlihatkan aibnya kelak pada hari kiamat.

Waktu memasuki adzan Subuh. Suaranya menggema dan bertalu-talu. Tak terasa sudah dua jam Nunuk duduk di atas sajadah. Buru-buru dia membangunkan Dewi.

“Mbak Dewi, sudah waktunya sholat Subuh,” Nunuk menyentuh lengan Dewi dan menggoyang-goyangkan pelan.

Wanita itu segera membuka matanya.

“Assalamualaikum, Mbak Nunuk.”

“Waalaikumsalam,” dijawab Nunuk.

“Sudah bangun dari tadi toh.”

Nunuk mengangguk.

Perempuan bahu laweyan itu lantas memberi waktu pada Dewi pergi ke kamar mandi membasuh muka dan berwudhu. Tak lama setelah itu, keduanya berdiri tegap menghadap kiblat untuk sholat berjamaah.

Usai sholat, mereka siap-siap check out dari penginapan. Dewi memutuskan pulang. Sementara Nunuk meneruskan kembali perjalanannya.

Sebelum berpisah, Dewi sempat mengajak Nunuk sarapan pagi. Sayangnya, ajakan itu langsung ditolak.

“Saya hari ini puasa, Mbak!” Seru Nunuk.

“Tadi Mbak Nunuk sahur pakai apa?” Tanya Dewi.

“Cuma air putih saja,” sahutnya.

“Waduh, kenapa tidak membangunkan saya?”

“Tidak apa-apa, Mbak. Saya tidak mau merepotkan Mbak Dewi.”

“Ya sudah kalau begitu. Ini buat bekal selama perjalanan Mbak Nunuk,” Dewi menyerahkan sejumlah uang pada Nunuk. Lagi-lagi tawarannya ditolak.

“Mbak Dewi lupa ya. Saya tidak boleh membawa uang,” Nunuk mengingatkan.

“Masya Allah, Saya lupa. Maaf. Kalau begitu nanti pas lewat Tuban, Mbak Nunuk jangan lupa mampir ke rumah ya. Ini saya tulis alamatnya.”

“Insya Allah.”

Mereka berpelukan. Lantas berpisah.

Keduanya sempat melambaikan tangan, lalu saling memunggungi. Berjalan ke arah berlawanan. Baru beberapa langkah, Dewi buru-buru menengok ke belakang. Sepertinya dia tak tega melihat istri Wali Allah tersebut melakukan perjalanan seorang diri berjalan kaki keliling makam Walisanga. Namun alangkah terkejutnya Dewi, begitu menoleh ke belakang, dia tidak mendapati sosok Nunuk.

Raut wajahnya yang tadi dipenuhi senyuman, berubah serius dan penuh tanda tanya. Secepat itukah Nunuk melangkah, sampai-sampai sosoknya menghilang begitu saja dari pandangan mata.

Seketika itu Dewi teringat kejadian saat pertama kali melihat Nunuk. Perempuan itu seperti orang linglung. Tiba-tiba muncul di tengah-tengah banyak orang. Cerita Nunuk pada Dewi, dia diantar Kyai Sepuh dengan melakukan perjalanan kilat.

Dan sekarang, Dewi melihat kejadian serupa. Dia tak bisa menebak. Hanya geleng-geleng kepala dan diakhiri dengan senyuman.

Tak lama, Dewi pun menyusul Nunuk, menghilang dari pandangan mata dengan menaiki kendaraan yang mengantarnya pulang ke rumah.

***

Seperti biasanya, Nunuk berjalan santai. Mengikuti arah mata angin. Hanya ditemani bayangannya saja. Dia tidak melangkah secepat kilat sebagaimana yang dikira Dewi. Langkahnya pelan dan landai. Tidak ada waktu yang dikejar, kecuali waktu sholat.

Jika lelah, Nunuk berhenti dan beristirahat. Lalu melanjutkan lagi.

Hari ini suasananya panas sekali. Nunuk harus berhenti beberapa kali untuk berteduh dari terik mentari. Terlebih saat itu dia dalam kondisi berpuasa. Perjalanan menuju Pangandaran cukup berat. Dari Cirebon dia harus melintasi Kuningan, Majalengka, Ciamis, Banjar hingga Pangandaran.

Setidaknya butuh beberapa hari baginya tiba di tempat tujuan. Nunuk terpaksa menginap di rumah-rumah warga karena kondisinya yang sempat drop. Ya, beruntung sepanjang perjalanan banyak orang baik membantunya. Nunuk dipersilahkan singgah dan menginap di rumah warga. Dijamu dengan panganan khas desa. Bahkan diperlakukan bak tamu agung.

Meski perjalanannya sangat berat, tetapi pengalaman bertemu banyak orang dengan beragam budaya dan adat istiadatnya, membuat perjalanan Nunuk terasa mudah. Dia seperti memiliki banyak saudara di setiap persinggahan.

Hingga tibalah Nunuk di perbatasan Pangandaran. Seketika gambaran sosok bengis dan kejam menyeruak di benaknya. Dia langsung teringat pesan suaminya dalam mimpi. Bahwa dia harus membebaskan seorang anak perempuan dari cengkeraman Gendro Swara Pati.

“Apakah di wilayah ini Gendro Swara Pati bermukim. Bagaimana aku melacak keberadaannya?” Nunuk bertanya dalam hati.

Di perbatasan sebelum masuk Pangandaran, Nunuk berhenti. Sedikit ragu melanjutkan perjalanan. Diteguknya air putih yang dibawanya sebagai bekal. Sekedar melepas dahaga sekaligus meredam pikirannya yang mulai kalut.

Dalam keadaan itu, bayang-bayang masa lalu menghampiri. Bayangan itu membentuk gumpalan hitam pertanda penderitaannya tanpa batas.

Matanya tetap fokus mengawasi sekelilingnya. Gerak geriknya menunjukkan kegelisahan sangat tinggi. Dia bicara lunak dalam relung hati terdalam. Betapa masa lalu itu telah merusak keindahan dan kenikmatan hidup yang menjadi haknya. Bahkan hak-hak orang lain juga dia rusak. Betapa berdosanya Nunuk mengenangkan kejadian demi kejadian di masa lalunya. Dan kini dia bakal dihadapkan kembali pada kenangan pahit tersebut.

Tanpa terasa airmatanya meleleh. Tentu saja Nunuk mengerti pertanda itu. Ya, betapa hinanya dirinya mengenangkan saat-saat raga dirasuki Gendro Swara Pati. Nunuk tak berkutik hingga melakukan perbuatan dosa besar. Walau begitu tak ada kata-kata buruk terucap dari mulutnya.  Kegelisahan tak membuat keyakinannya padam. Justru dia menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit.

“Ya Allah, bila di tempat ini adalah tujuanku untuk menolong sesama, maka segerakanlah. Ya Allah, bila dengan ini aku menjadi perantaraMu melawan kekuatan gaib yang membelenggu anak manusia, maka tolonglah hambaMu yang tidak berilmu ini dengan hidayahMu. Bismillahirrahmanirrahim,” doa Nunuk sebelum akhirnya tanpa ragu melangkahkan kedua kakinya.

Selama hampir dua jam Nunuk berjalan. Dia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada kekuatan buruk menyertainya. Cerita Sahid dalam mimpi, meski makhluk jahat itu tidak dapat lagi merasukinya, setidaknya Nunuk masih bisa merasakan keberadaan Gendro Swara Pati. Itu jika mereka berdekatan satu sama lain.

Sehari dilalui tanpa insiden. Perasaan cemas memang ada, tapi bukan perasaan hadirnya kekuatan gaib. Hari berikutnya juga begitu. Dari satu kampung ke kampung lain yang disinggahi, Nunuk tidak merasakan apa-apa. Khusus di Pangandaran, Nunuk tidak buru-buru keluar dari wilayah tersebut. Dia sengaja ingin menetap lama di kampung-kampung penduduk sekaligus melacak keberadaan Gendro Swara Pati.

Hampir seminggu Nunuk berjalan tak tentu arah. Singgah dari satu kampung ke kampung. Dan selama itu sosok yang dicarinya tidak terlihat.

Sempat terbetik dalam benaknya, barangkali mimpi tersebut memang bunga tidur dan tidak akan menjadi kenyataan.

“Apakah mimpi itu cuma kebetulan? Apakah mimpi itu bunga tidur?” Nunuk mulai ragu dan bertempur dengan pikirannya sendiri.

Nunuk sendiri tak tahu apakah yang bakal terjadi jika bertemu Gendro Swara Pati. Dalam hatinya, Nunuk sebenarnya berharap tidak sampai bertemu makhluk jahat tersebut. Namun setiap kali membayangkan pengalaman buruknya, dia merasa tidak sampai hati membiarkan Gendro Swara Pati berpindah raga ke anak kecil. Pesan Sahid dalam mimpi, meski belum terbukti, sedikit banyak menyadarkan Nunuk untuk selalu waspada. Pesan-pesan Sahid menimbulkan banyak pikiran.

Memasuki hari ke 9, mimpi belum terbukti. Nunuk masih berada di Pangandaran. Hingga akhirnya dia memutuskan perkara penting. Yakni melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini menuju wilayah Jawa Tengah yang lokasinya berbatasan.

Namun langkah Nunuk terhenti saat hendak keluar dari Pangandaran. Di sebuah desa terkhir yang dilewati, Nunuk merasakan kekuatan jahat. Semakin mendekat, kekuatan itu tidak asing baginya. Kekuatan sama yang pernah merasukinya. Itulah Gendro Swara Pati.

Entah makhluk itu merasakan hal sama seperti yang Nunuk rasakan atau tidak. Yang jelas di situlah Nunuk harus berhenti. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah rumah sederhana. Paling pojok. Tepat di depannya ada tikungan. Rumah itu menjadi perhatian Nunuk.

Nunuk berjalan dengan gontai. Rumah-rumah lain dilewati tanpa curiga sedikit pun kecuali satu rumah tadi. Semakin mendekat, semakin berat langkahnya. Belum sampai rumah yang dituju, dari tikungan tadi muncul seorang anak perempuan. Anak itu seolah mencegat langkah Nunuk. Usia anak itu sepantaran Aisyah.

Keduanya saling berpandang-pandangan. Anak tersebut langsung berdiri terpaku saat melihat kedatangan Nunuk. Dia tak lagi sekelilingnya. Fokusnya hanya pada Nunuk.

Sepintas anak itu kelihatannya ramah, lugu, dan manis. Tapi sebenarnya dia bengis. Ya, begitulah saat raganya sedang dirasuki jin jahat. Nunuk melihat mata anak perempuan itu tiba-tiba berubah menjadi merah seperti darah. Nampaknya dia sangat marah dengan kehadiran Nunuk.

Anak itu mendekati Nunuk. Begitupun sebaliknya. Nunuk tak gentar untuk mendekatinya. Semakin dekat jarak antara keduanya, Nunuk dapat merasakan kekuatan jahat yang pernah bersemayam dalam tubuhnya selama bertahun-tahun.

Ketika mereka berhadap-hadapan, Nunuk tidak menunjukkan sikap melawan. Takut, tidak. Justru Nunuk merasa kasihan melihat anak semuda itu raganya dirasuki makhluk halus. Bila dibiarkan lama-lama, makhluk itu bakal membuat anak tersebut celaka. Bukan itu saja, orang lain akan dibuat celaka juga. Nunuk tidak bisa membayangkan bila anak itu harus menanggung dosa seumur hidup atas perbuatan yang tidak dilakukannya.

“Assalamualaikum, Dik,” sapa Nunuk ramah disertai senyuman. Dia sengaja uluk salam ditujukan pada raga anak tersebut.

Tidak ada jawaban. Anak itu hanya memandangi Nunuk dengan tatapan mata kosong. Kedua tangannya dikepalkan. Seperti hendak menyerang.

“Kenapa kau ada di sini, Nuk!” Seru anak itu dengan suara tinggi.

“Gendro, kau masih saja berbuat dzalim pada manusia. Tidak bosankah kau mencelakai manusia. Perbuatanmu itu sungguh dilaknat Allah.”

Keduanya saling mengenal. Yang sedang berbicara dengan Nunuk bukan anak perempuan itu, melainkan Gendro Swara Pati, jin jahat yang haus darah manusia.

“Pergi kau, Nuk. Aku sudah tidak ada urusannya denganmu, Nuk. Aku sudah tidak lagi berada di ragamu. Jangan ganggu aku lagi,” perintah Gendro Swara Pati.

“Aku akan pergi jika kau pergi dari raga anak ini,” jawab Nunuk dengan lantang.

“Aku tidak akan pergi. Aku belum mendapatkan tumbal dari anak ini,” ucapnya.

“Gendro, perbuatanmu benar-benar tidak dapat dimaafkan. Kau harus pergi dari raga anak tidak berdosa ini, atau…”

Belum selesai Nunuk mengucapkan kata-katanya, langsung ditimpali Gendro. “Atau apa, Nuk? Apakah kau mampu melawanku.”

“Aku tidak mampu melawanmu. Bismillahirrahmanirrahim. Hanya Allah yang bisa membinasakanmu,” sahut Nunuk, kali ini dengan nada pelan.

Begitu Nunuk mengucap kata itu, tiba-tiba tubuh Gendro Swara Pati bergetar hebat. Dia merasakan panas. Entah darimana datangnya. Hawa panas itu pernah dirasakan Gendro saat dia bertemu Sahid di tengah hutan. Belum lagi Gendro pernah mendapat tamparan panas dari Sahid yang membuatnya terguling-guling dan hingga kini tamparan itu masih membekas di wajahnya.

“Panas…panas…” Gendro mundur beberapa langkah saking tak kuat menahan panas, kedua tangannya meraba-raba seluruh tubuh seperti menggigil kedinginan, “Kau apakah aku, Nuk?” teriaknya.

“Gendro, aku minta kau pergi dari anak ini. Bismillahirrahmanirrahim…” ucap Nunuk mendekati Gendro Swara Pati.

Nunuk sebenarnya tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Dia tak tahu cara mengusir jin. Yang dia tahu hanya membaca Bismillahirrahmanirrahim, dan hal itu sudah membuat Gendro Swara Pati seperti terbakar. Mungkin bukan lisan Nunuk yang membuat tubuh jin itu kepanasan. Melainkan kalbu Nunuk yang disinari cahaya Ilahi. Sebagaimana Sahid, hati Nunuk telah terbebas dari belenggu nafsu untuk kemudian bertamu ke hadiratNya.

Dengan hati yang suci itu, Nunuk mampu berjalan menuju Allah. Dan perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan menuruti nafsu dan syahwat. Hal itu sudah dilakukan Nunuk sepanjang perjalanannya. Betapa banyak keanehan demi keanehan yang dialaminya. Dan karena kesuciannya itu, Nunuk mewarisi ilmu kaum arif. Karena Nunuk terbebas dari kotoran kelalaiannya, maka membuatnya dapat menyingkap berbagai rahasia.

“Kekuatan apa ini? Bagaimana kau bisa…?” Gendro semakin blingsatan. Tubuhnya makin terbakar hebat.

Melihat keadaan itu, Nunuk langsung meraih tangan anak tidak berdosa itu. Anehnya, saat Nunuk mencengkeram tangan anak itu, Gendro Swara Pati langsung berteriak hebat.

“Aduh…panas…panas…” seketika suaranya menghilang dan anak itu jatuh pingsan dalam dekapan Nunuk. [bersambung]

bahu laweyanbukunovel
Komentar (0)
Tambah Komentar