Bahu Laweyan #61

Strategi Nunuk 

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk pelan-pelan menyeruput minumannya. Air teh itu memasuki kerongkongannya. Hilanglah rasa hausnya. Nunuk mengalihkan pandangannya dari luar ke penghuni rumah. Sesekali dia menengok sekilas. Memastikan kondisi di luar sana. Jin jahat itu rupanya masih ada. Terus mengawasi. Bersama teman-temannya.

Sayup-sayup terdengar teriakan Gendro Swara Pati yang hanya bisa didengar oleh Nunuk.

“Tunggu pembalasanku, Nuk!”

Nunuk tak peduli. Dia mendengarkan. Cuma pura-pura tidak dengar. Minumannya diseruput lagi. Hingga nyaris habis.

Lalu, waktu menoleh sekilas di luar sana, Gendro dan bala tentaranya bersiap pergi. Meloncat tinggi-tinggi dari satu rumah ke rumah lain. Dan menghilang.

Seiring perginya jin-jin jahat itu, Nunuk kembali fokus pada penghuni rumah.

“Sepi ya di sini,” Nunuk membuka obrolan.

“Beginilah suasana desa,” sahut Nur.

Wiwid menimpali, “Tadi ibu katanya mau cerita soal setan.”

Eh, iya. Di luar sana tadi ada setan,” Nunuk menjelaskan dengan gaya bahasa sederhana, selayaknya berbicara dengan anak-anak.

“Setan apa, Bu?” Wiwid penasaran.

“Ya banyak. Tadi ibu melihat beberapa dari mereka.”

“Ibu lihat wujud mereka?”

Nunuk mengangguk.

“Mereka mau masuk rumah?”

Nunuk menggeleng. Ditanya seperti itu sebenarnya membuat risih. Pertanyaan Wiwid  mengesankan bahwa Nunuk seperti dukun. Sementara Nunuk yang berusaha menjawab seadanya menjadi serba salah. Tidak dijawab takut mengecewakan anak kecil. Dijawab, dia kok jadi seperti dukun.

“Insya Allah, tidak masuk rumah,” jawab Nunuk demi memuaskan hati Wiwid.

Merasa lega dengan jawaban itu, Wiwid lantas pamit masuk kamar. Mengunci pintu. Dan, belajar.

Tinggal Nunuk dan Nur. Keduanya terpakukan pada lantai rumah. Terpukau lantai dari marmer itu. Silau. Pemilik rumah pasti setiap hari menyapu lantai. Sampai-sampai bisa dibuat bercermin. Di lantai itu, Nunuk dapat melihat bayangannya sendiri. Lalu berubah menjadi bayangan orang-orang terkasih. Itu hanya ada dalam benaknya.

Malam itu ada banyak cerita hendak dia sampaikan. Namun Nunuk belum bersedia mengawali cerita. Bahwa tujuannya datang ke Pangandaran bukan tanpa disengaja. Bila misinya langsung diceritakan, Nunuk khawatir penghuni rumah ketakutan. Biarlah Nur yang bercerita terlebih dulu. Dia sekedar menimpali.

“Ya, begitulah Wiwid, Mbak. Selalu penasaran. Setiap bertanya selalu ingin mendapat jawaban,” kata Nur.

“Saya maklum kok, Mbak. Namanya anak-anak. Rasa penasaran mereka sangat tinggi,” tukas Nunuk.

“Apa benar Mbak Nunuk bisa melihat makhluk halus?” Giliran Nur yang penasaran.

Sekarang obrolan orang dewasa dimulai. Serius. Tidak ada kata-kata kiasan.

Nunuk sempat terdiam. Lidahnya kelu. Antara mau menjawab dan tidak.

“Saya tidak tahu, Mbak,” Nunuk menggeleng.

“Maksudnya makhluk halus itu tidak pernah ada,” Nur setengah memastikan setengah takut, berharap memang tidak ada makhluk halus di rumahnya.

“Saya tidak tahu mengapa bisa melihat mahluk-makhluk itu sejak tiba di sini!” Serunya.

Nur mulai curiga kehadiran makhluk halus itu berkaitan dengan kondisi anaknya. Selama ini Nur tidak pernah terbuka pada orang lain mengenai kondisi Wiwid. Perempuan itu berusaha menganggap semua baik-baiknya. Kalau pun ada masalah, Nur berusaha menutup-nutupi. Selain itu Nur juga tidak tahu yang menimpa anaknya. Setahunya, Wiwid kerap memperlihatkan prilaku tidak sewajarnya anak-anak normal.

Setelah berusaha menguatkan diri, Nur akhirnya menceritakan kondisi Wiwid pada Nunuk. Agak kikuk dia.

“Saya merasa apa yang diceritakan Mbak Nunuk soal makhluk halus itu ada kaitannya dengan Wiwid,” kata Nur.

Nunuk mendengarkan saja.

“Dua tahun belakangan saya sering memperhatikan Wiwid tidak seperti anak-anak pada umumnya. Wiwid sering marah tanpa alasan. Jika marah, saya dan suami sampai takut. Wajah seperti berubah menyeramkan.”

“Apakah banyak perubahannya?”

“Banyak sekali. Sejak itu Wiwid tidak mau berangkat mengaji. Katanya ngaji bikin panas sekujur tubuhnya. Jika dipaksa ngaji, Wiwid selalu marah. Dia juga tidak mau shalat. Setiap kali diajak shalat sering jatuh pingsan. Karena itu kami tidak mau memaksakan kehendak pada Wiwid. Saya dan suami sampai bingung melihat kondisi anak kami. Saya tidak tahu apakah ini normal atau tidak,” ujar Nur.

“Apakah Mbak Nur sudah berkonsultasi ke beberapa orang?”

Nur menggeleng.

“Sejauh ini hanya Mbak Nunuk yang tahu. Saya tidak berani menceritakan kondisi Wiwid pada orang lain. Secara fisik kondisi Wiwid baik-baik saja. Pikirannya juga baik dan seperti yang Mbak Nunuk lihat tadi,” ucapnya.

Nunuk hanya mengangguk.

“Saya dan suami tidak tahu mengatasi masalah ini. Jujur, saya sangat khawatir dengan kondisi Wiwid.”

Nunuk mengangkat gelasnya untuk kesekian kali. Meletakkan di ujung bibir. Meneguk dan meneguk lagi.

Kemudian pandangannya kembali ditujukan pada Nur. Titik pusat pandangnya adalah mata perempuan yang sayu dan seperti mengharap pertolongan. Dia tetap belum juga bicara. Kedipan matanya mengisyaratkan bahwa perempuan bahu laweyan itu akan mengutarakan isi hatinya.

Dengan menceritakan keberadaan Gendro Swara Pati, Nunuk sedikit banyak akan mengungkap masa lalunya. Begitu terungkap, keburukan demi keburukan akan terungkap. Siapkah Nunuk? Tentu dia siap. Sebatas tidak menyangkut aib, maka cerita keburukan masa lalunya akan dibongkar. Kadarnya saja yang dibatasi.

Nunuk memandang setiap permasalahan yang dilaluinya merupakan bagian dari pelajaran hidup. Tak ada sesuatu kesulitan apapun di dunia selain menjadikan sebagai pelajaran. Semua kesulitan menjadi mudah bila dilalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sebaliknya ketakutan hanya akan menjadikan awal kebodohan yang membodohkan semua. Persis kebodohan yang selama ini dilakukan Nunuk saat Gendro Swara Pati merasuki tubuhnya.

Nafas panjang dihembuskan Nunuk sebelum mulai bicara. Ada kelegaan sekaligus kekhawatiran. Dalam kondisi seperti ini Nunuk harus menceritakan sebuah kebenaran meski dirasa pahit.

“Mbak Nur,” kata Nunuk lirih, “sebenarnya tujuan saya kemari bukan tanpa disengaja.”

Kaget Nur. Alis matanya diangkat. Nur mulai penasaran dengan kata-kata berikutnya yang disampaikan Nunuk. Matanya tak berkedip. Rasa penasaran membuat tubuhnya kaku.

“Maksud Mbak Nunuk apa?”

“Yang menimpa Wiwid pernah juga menimpa saya,” Nunuk berhenti bercerita.

Suasana lengang. Terdengar jelas detik jarum jam dinding. Hanya saja dalam kepala Nur dan Nunuk terjadi kesibukan masing-masing. Berbaris panjang untaian kata-kata hendak diurai Nunuk. Berbaris panjang pertanyaan yang hendak ditanyakan Nur.

Setiap kali menceritakan masa lalu, kepalanya serasa pecah. Hampir gila rasanya. Nunuk khawatir ketakutan masa lalu menghampiri dan akibatnya tidak bisa ditanggung. Namun bila hal ini tidak diceritakan, si penghuni rumah tidak akan mengetahui kebenarannya.

Pikiran-pikiran ketakutan itu pada akhirnya membuncah dan meninggalkan tawa sendirian. Maka, bangunlah Nunuk dari tempat duduknya. Berjalan mendekati pintu. Memandang dinding cakrawala tanpa batas. Membelakangi lawan bicaranya.

“Dulu, sewaktu muda saya pernah melalui masa-masa sulit. Perjalanan hidup seorang Nunuk sangat tidak pantas untuk diceritakan.”

Nur diam. Duduk sembari memandang Nunuk yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya.

“Saya mau menceritakan hal ini pada Mbak Nur hanya karena Wiwid.”

“Kenapa dengan Wiwid, Mbak?” Tanya Nur buru-buru menyibak misteri yang selama ini menjadi tanda tanya.

“Tubuh Wiwid saat ini dirasuki makhluk halus yang haus darah manusia.”

“Apaaaa!!??” Nur berteriak kencang. Suaranya menggema membuat ramai seiisi ruangan.

Nunuk dengan santai menoleh ke arah Nur. Dia berjalan gontai dan kembali mengambil tempat duduknya.

“Tidak mungkin anak saya dirasuki makhluk halus,” Nur masih tidak percaya.

“Saya dulu tidak percaya dengan yang saya alami. Hingga suami-suami saya…” dalam titik itu Nunuk tidak melanjutkan cerita.

“Suami-suami Mbak Nunuk kenapa?”

“Semua menjadi korban dari keganasan Gendro Swara Pati.”

“Siapa Gendro?”

“Jin jahat yang pernah menghuni raga saya. Dialah penyebab suami-suami saya tewas. Gendro termasuk jin jahat yang haus darah manusia. Mereka yang menjadi tumbalnya adalah para suami. Gendro butuh tujuh nyawa manusia. Siapapun yang dirasuki jin jahat tersebut dianggap pembawa sial. Perempuan terkutuk. Mereka disebut bahu laweyan.”

“Astagfirullah,” Nur mengucap istigfar.

“Ketujuh suami Mbak Nunuk meninggal semua gara-gara Gendro Swara Pati.”

Nunuk menggeleng.

“Tidak semua. Hanya enam orang.”

Nunuk getir meneruskan ceritanya. Momen itu benar-benar menjadi tidak menyenangkan baginya. Mengusik masa lalu sangat menyakitkan. Nunuk sebenarnya agak ragu. Namun dia tetap harus menceritakan. Tentu ada beberapa hal tidak patut untuk diceritakan.

“Mbak Nur, saya telah menikah sebanyak sembilan kali,” tegas Nunuk.

“Sembilan kali,” Nur geleng-geleng.

“Enam suami saya tewas. Satu berhasil selamat karena saya buru-buru menceraikannya agar tidak menjadi tumbal Gendro Swara Pati. Suami kedelapan bernama Iksan. Alhamdulillah jin jahat itu berhasil diusir. Dia seorang ulama. Akan tetapi setelah bertahun-tahun berlalu, jin itu kembali datang. Bukan menyerang saya melainkan hendak menyerang anak-anak kami. Kami khawatir. Demi menyelamatkan anak-anak, akhirnya kami berpisah. Suami memboyong anak-anak tinggal di pondok pesantren di Kediri.”

“Mereka baik-baik saja kah?”

“Alhamdulillah, mereka baik-baik saja.”

“Bagaimana dengan suami berikutnya?”

“Suami kesembilan berhasil mengusir Gendro Swara Pati.”

“Siapa dia?”

“Namanya Sahid. Orang Demak,” singkat Nunuk.

“Bagaimana Mbak Nunuk bertemu dengan suami kesembilan?”

“Dia yang menemukan saya dan saya memang sudah menunggunya selama 6 tahun.”

“Saya tidak mengerti, Mbak!”

“Panjang ceritanya. Yang jelas Mas Sahid seorang berilmu. Linuwih. Ulama besar.”

Nur manggut-manggut mendengarkan cerita Nunuk. Sebuah cerita yang tidak lazim. Aneh, kira-kira demikian.

“Lalu bagaimana Mbak Nunuk bisa datang kemari?”

“Saya kemari atas petunjuk Mas Sahid. Dia yang memerintahkan supaya saya pergi ke Pangandaran mencari keberadaan Gendro Swara Pati. Sudah berhari-hari saya mengelilingi Pangandaran.”

“Mengapa Mbak Nunuk tidak bersama Mas Sahid?”

Nunuk menggeleng.

“Panjang ceritanya. Kapan-kapan akan saya ceritakan,” tandasnya.

Nur patuh. Tidak bertanya lagi. Kali ini menunggu wejangan berikutnya dari Nunuk.

“Jadi sekarang di raga Wiwid ada jin jahat itu?”

“Sekarang tidak ada. Gendro Swara Pati berada di luar sana. Sewaktu Wiwid pingsan, Allah telah menolong saya mengusirnya.”

“Berarti Mbak Nunuk sanggup mengusirnya?”

Wallahua’lam, Mbak.”

Jawaban Nunuk menjadi teka-teki bagi Nur. Dipandangi tamunya itu dengan harap-harap cemas. Nampaknya ibu satu anak itu menunggu jawaban kepastian, bukan jawaban ngambang. Sedangkan yang ditunggu tak kunjung memberi jawaban. Nur sendiri tidak bisa memaksa Nunuk untuk memberi jawaban kepastian.

Malam semakin bergulir menuju larut. Nur melihat gelas tamunya sudah kosong. Mungkin gelas itu harus diisi lagi, supaya Nur mendapat jawaban kepastian dari tamunya.

Ah, teh Mbak Nunuk sudah habis. Sebentar saya ke dapur dulu.”

Nur berlalu. Nunuk ditinggal dengan pikiran-pikiran dahsyat. Ya, dia masih disibukkan memikirkan cara mengusir Gendro Swara Pati.

Mukanya sedikit pucat. Segala yang menarik padanya sudah lebur. Hampir-hampir dia tak mampu mengurai strategi selanjutnya. Nampak benar dia seperti seorang yang pasrah. Akan tetapi Nunuk tetaplah perempuan tangguh. Dia siap menyerahkan segala jiwa dan raganya untuk menyelamatkan gadis cilik yang tadi sore ditolongnya. Itu nampak jelas dari bibirnya yang tersenyum ikhlas untuk menolong sesamanya.

***

Nur keluar dari dapur. Membawa nampan berisi tiga gelas dan camilan.

“Ini seadanya Mbak Nunuk. Sengaja saya bikin teh dan kopi barangkali Mbak Nunuk mau ngopi sekalian. Untuk menghilangkan rasa kantuk,” kata Nur.

“Terima kasih. Maaf kalau saya merepotkan.”

Ah, tidak. Justru saya senang kedatangan tamu seperti Mbak Nunuk.”

Dibalas Nunuk dengan senyuman.

“Apa Mbak Nunuk mau makan? Saya ambilkan dulu ya.”

Belum sempat Nur beranjak dari tempat duduknya, buru-buru dicegah Nunuk.

“Tidak usah, Mbak. Nanti saja. Kita nikmati saja camilan ini.”

Nur batal ke dapur. Lantas kembali duduk di depan tamunya. Berharap kopi, teh, dan camilan itu cukup menyenangkan tamunya.

“Apa rencana Mbak Nunuk?” Nur bertanya bersunguh-sungguh, tetap meninggalkan perasaan was-was dengan mengawasi wajah tamunya yang tersorot lampu di malam hari. Berharap tamunya dapat melontarkan kata-kata menyejukkan.

“Jujur, Mbak. Saya sebenarnya tidak tahu bagaimana mengusir Gendro Swara Pati,” jawab Nunuk.

“Bukankah tadi sore Mbak Nunuk berhasil mengusirnya?”

Sebelum menjawab, Nunuk geleng-geleng kepala. Menandakan ketidaktahuannya. “Saya tidak tahu, Mbak. Saat itu tangan Wiwid hanya saya pegang. Tiba-tiba dia menjadi seperti kepanasan. Setelah itu dia pingsan.”

Keduanya terdiam. Merenung.

Lalu, Nur melontarkan pertanyaan yang sering membuat jengkel banyak orang. Pertanyaan itulah yang membuat Nur mendapat kepastian dan keyakinan kuat.

“Apakah Mbak Nunuk takut dengan Gendro Swara Pati?”

Sejenak Nunuk memejamkan mata. Pikirannya tak lagi berkecamuk. Gendro tak lagi mengusiknya. Jika sebelumnya hati Nunuk bergoyang-goyang. Kali ini pendalamannya semakin tenang.

“Allah yang berkuasa atas segalanya. Allah yang menghidupkan dan mematikan ciptaanNya. Allah yang memelihara, mengatur, dan menjamin seisi alam. Dialah yang memberi cahaya. Semesta itu sejatinya gulita. Hanya diterangi oleh wujudNya. Bahwa segala sesuatu selain Allah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujudNya. Tidak ada wujud, kecuali wujud yang Mahabenar. Insya Allah, saya tidak takut dengan Gendro Swara Pati,” tegas Nunuk.

“Segala kejadian yang terjadi nanti, hidup dan mati saya serahkan pada Allah. Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadaNya kami kembali. Sebaik-baiknya seorang hamba adalah yang mengakui dan menyadari sifat-sifatNya. Sejahat-jahat seorang hamba merasa seolah-olah memiliki kekuatan, kekuasaan dan kemuliaan. Begitu yang diajarkan Mas Sahid.”

“Gendro Swara Pati hanyalah sekumpulan jin yang merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan. Sebagaimana halnya manusia yang rakus pada kekuasaan. Karena merasa berkuasa, mereka merasa paling benar, merasa memiliki kekuatan dan kemudian menindas sesamanya. Padahal sifat-sifat seorang hamba adalah miskin, bodoh, lemah, hina, dan tidak berdaya,” ucap Nunuk.

Nunuk mengingat pesan Sahid, tidak ada seorang mukmin pun yang terlampau percaya diri bisa menyelesaikan setiap persoalan kehidupannya. Sebab apapun masalah, Allahlah yang menyelesaikan. Itulah bentuk ubudiyah.

“Kita hanya bisa mengandalkan sujud kita, doa kita, dan pengharapan kita. Setiap hembusan nafas kita pasrahkan padaNya. Sebanyak apapun ilmu kita, bila Allah tidak meridhai, tidak akan membawa manfaat. Tidak ada jalan lain selain bersandar kepadaNya untuk mendapatkan segala hajat kita atau segala kebutuhan kita. Jadi, biarlah Allah yang mengatur strateginya,” imbuh Nunuk.

Nur menangis mendengarkan uraian Nunuk. Semakin mantaplah keyakinan Nur pada tamunya.[bersambung]

bahu laweyanbukunovel
Komentar (0)
Tambah Komentar