Bahu Laweyan #60

Misi Nunuk

Oleh: Jendra Wiswara 

Dengan sosoknya yang keibuan, Nunuk mengusap wajah anak perempuan itu. Mengusap-usap pipinya. Membelai rambutnya. Lalu mencium keningnya. Wajahnya diperhatikan dengan seksama. Makin jelas. Usianya masih muda. Tak jauh beda dengan Aisyah.

Dia belum juga bangun.

“Cah ayu,” panggil Nunuk, “Ayo bangun, Nak,” suara Nunuk lirih dan kembali mengusap pipinya.

Belum ada tanda-tanda matanya terbuka.

“Cah ayu,” panggil Nunuk lagi.

Rupanya Gendro Swara Pati telah menghempaskan jasad anak perempuan itu dengan hebat. Gendro Swara Pati memang jin kuat. Kekuatan sangat besar itu didapat dari manusia-manusia yang telah dibunuhnya. Tumbal adalah makanan sekaligus sumber kekuatannya.

“Cah ayu,” Nunuk masih terus memanggil.

Anak itu belum juga siuman.

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Asyahu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah…hayya ‘alashshalaah…hayya ‘alalfalaah…qad qaamatish-shalaah, qad qaamatish-shalaah…Allaahu Akbar…Allaahu Akbar…Laa ilaaha illallaah…” Nunuk membisiki bacaan iqomah di telinga anak itu.

Nunuk termasuk hamba-hamba Allah yang alim. Sejak dinikahi Iksan dan kemudian Sahid, ketaatannya sebagai hambaNya begitu dalam. Sebagaimana halnya Sahid. Meski dia tidak tahu apa yang sedang dilakukannya, tetapi segala tindak tanduknya selalu ada yang menuntun. Karenanya Nunuk mampu berbuat di luar nalar manusia.

Selama melakukan perjalanan keliling, ketaatan Nunuk makin kuat, baik dalam ibadah maupun laku spiritual. Dia sudah berjanji akan menyebut nama Tuhannya dan memujaNya terus menerus. Cukuplah Allah baginya. Tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya dia bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Dialah satu-satunya Tuhan yang dia serahi urusan-urusannya. Dialah Tuhan kursi yang lebih agung dari seluruh makhluk. Dan Arsy itu adalah makhluk yang tidak diketahui keagungan dan hakikatnya kecuali hanya Allah SWT yang tahu. Dia beriman atas apa yang terkandung dalam Al-Qur’an tanpa menyamakan dengan sesuatu yang sudah lazim.

Tak berselang lama, mata anak itu mulai terbuka. Nampak penderitaan baru saja berlalu dari hadapannya. Dia berusaha bangkit namun tubuhnya tidak membiarkan. Terlalu berat. Dia memandang sekelilingnya. Matanya menatap ke atas. Langit biru cerah tanpa awan.  Kelopak matanya kemudian berpindah ke perempuan asing yang sedang menahan tubuhnya dengan kepalanya rebahan di lengan Nunuk.

“Kamu sudah siuman, Nak,” ucap Nunuk dengan wajah yang sangat teduh, dan keteduhan wajah itu mampu menghalangi kegundahan setiap orang yang melihatnya.

“Ibu siapa? Kenapa aku bisa berada di sini?” Anak perempuan itu bertanya.

“Ibu kebetulan lewat sini. Namamu siapa, Cah Ayu?” Jawab Nunuk sekaligus bertanya.

“Wiwid Lestari,” sahutnya.

“Apa kamu bisa bangun, Nak?”

Wiwid mengangguk. Berusaha dia bangun tapi tubuhnya sedikit semoyongan. Nunuk mencoba membantu.

“Alhamdulillah,” ucap Nunuk.

“Terima kasih, Bu!” Seru Wiwid.

“Sama-sama.”

Nunuk sempat menanyakan rumah Wiwid. Anak perempuan itu menunjuk salah rumah di pojok tikungan.

“Mari ibu antar ke sana.”

Wiwid tidak mengiyakan, hanya mengangguk. Keduanya berjalan. Nunuk menggandeng tangan Wiwid. Menahan agar tubuhnya tidak terjatuh. Maklum, setelah siuman tubuh Wiwid masih terlalu lemah.

Melihat kondisi Wiwid, Nunuk tidak tega. Dia mengenangkan kembali pengalamannya semasa muda. Dulu, Nunuk sering jatuh pingsan mendadak. Bapaknya sempat bingung. Saat diperiksa ke dokter, tidak ditemukan tanda-tanda penyakit. Bapaknya Nunuk tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Karena keseringan pingsan, akhirnya Nunuk dikira punya tekanan darah rendah. Sehingga tubuhnya gampang drop. Padahal raganya sedang diganggu makhluk jahat. Kondisi pingsan Nunuk cukup aneh. Setelah siuman, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Persis yang dialami Wiwid. Kondisi itu dialami Nunuk selama bertahun-tahun. Hingga menjelma menjadi seorang gadis dan dipersunting laki-laki yang kemudian menjadi tumbal-tumbalnya. .

Setiba di rumah, Nunuk dan Wiwid disambut oleh seorang perempuan yang datang tergopoh-gopoh dan menunjukkan sikap was-was saat melihat keduanya datang. Dari usianya, perempuan itu seumuran dengan Nunuk. Rupanya dia ibunya Wiwid.

“Aduh, Wiwid, kamu pingsan lagi ya. Kamu benar-benar menyusahkan orang,” hardik perempuan itu.

“Tidak ada yang disusahkan, Mbak!” Seru Nunuk sembari membawa Wiwid duduk di ruang tamu.

“Terima kasih, Mbak. Maaf kalau anak saya menyusahkan.”

Nunuk menggeleng.

“Wiwid anak yang baik,” balas Nunuk dan diangguki oleh lawan bicaranya.

“Kalau boleh tahu, Mbak ini dari mana?”

“Saya musafir. Kebetulan saja lewat dari sini. Nama saya Nunuk.”

“Saya ibunya Wiwid. Saya Nurjanah. Panggil saja Nur. Maafkan anak saya, Mbak,” ucapnya.

Keduanya sejenak terdiam. Nunuk memperhatikan sekeliling rumah. Matanya mengawasi tanpa berkedip. Tidak ada yang aneh. Suasananya sama dengan rumah-rumah lain. Dia juga tidak mendapati nuansa kekeramatan di situ. Tak ada kekuatan gaib yang dirasakan Nunuk. Artinya, Gendro Swara Pati tidak berada di rumah. Entah kemana perginya makhluk jahat itu. Nunuk meyakini Gendro Swara Pati akan kembali. Mungkin sedang mengumpulkan kekuatannya atau meminta bantuan bala tentaranya.

“Ya beginilah Mbak Nunuk rumah kami. Seadanya,” Nur membuyarkan perhatian Nunuk.

Eh, iya Mbak. Melihat rumah ini jadi ingat kampung halaman,” kata Nunuk basa-basi.

“Memangnya rumah Mbak Nunuk di mana?”

“Rumah saya di pegunungan. Gunung Penanggungan. Sudah lama saya pergi dari rumah untuk berjalan keliling.”

“Mbak Nunuk keliling ke mana?”

“Ya sekedar ziarah ke makam para wali!” Serunya.

“Bagaimana bisa sampai di sini, Mbak. Tadi naik apa?” Nur rupanya penasaran dengan sosok perempuan di hadapannya. Maklum, rumah itu jarang didatangi tamu. Sehingga begitu bertemu tamu atau orang asing, dia lantas bertanya banyak hal. Akan tetapi pertanyaan yang dilontarkan Nur bukanlah sebuah kecurigaan melainkan sekedar mengobati rasa penasarannya.

“Saya berjalan kaki, Mbak,” sahut Nunuk.

“Ya Allah, ada tamu sampai lupa membuatkan minuman. Wid, kalau kamu sudah bisa jalan ke dapur, tolong ibu Nunuk dibuatkan minuman ya,” perintah Nur pada anaknya.

“Tidak usah repot-repot, Mbak. Kalau Wiwid masih lemas sebaiknya tidak usah dipaksakan,” jawab Nunuk.

Ah, biasa kok Mbak. Wiwid memang gampang pingsan. Setelah siuman dia akan baik-baik saja.”

Wiwid lantas pamit ke belakang, meninggalkan ibunya bersama orang asing. Sementara Nunuk menjadi penasaran dengan ucapan Nur. Sebab ceritanya hampir sama dengan yang pernah dialami semasa muda dulu.

Sepeninggal Wiwid, Nunuk memberanikan bertanya. “Apa benar Wiwid sering pingsan?”

Nur mengangguk.

“Iya, Mbak. Saya juga heran ada apa dengan anak ini. Pernah saya bawa ke dokter untuk dicek kesehatannya. Hasilnya dia baik-baik saja,” keluh Nur.

Yang membuat Nur heran. Setiap kali anaknya pingsan, selalu tidak ingat dengan kejadian yang dialaminya. Nur bahkan tidak curiga sama sekali dengan kondisi anaknya yang dirasuki oleh makhluk halus.

“Saya tidak tahu apa yang menimpa Wiwid. Dia memang sering begitu. Sering pingsan. Kalau sudah pingsan lama bangunnya,” Nur mereka-reka, berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaannya pada Nunuk.

Sayangnya, Nunuk merespon dengan dingin. Perempuan bahu laweyan itu hanya mendengarkan cerita Nur sepotong demi sepotong. Sebaliknya, Nur dengan keluwesannya, bercerita banyak hal mengenai kondisi Wiwid.

Sesekali Nunuk menanggapi dengan manggut-manggut. Sekedar menyenangkan lawan bicaranya. Sekali waktu Nunuk menunjukkan mimik serius. Beberapa menit berikutnya dia tersenyum tapi tidak terlalu berlebihan. Senyum yang agak ditahan. Bisa diartikan itu senyum kesedihan. Batinnya bergejolak. Tidak menyangka jin jahat yang dulu merasukinya kini berpindah ke raga anak perempuan tidak berdosa.

Nunuk agak ragu menceritakan sosok Gendro Swara Pati. Khawatir ibu Wiwid tidak terima. Berontak. Kemudian mengusirnya dari rumah tersebut. Maklum, mereka baru bertemu. Belum saling mengenal satu sama lain.

Kendati Nur telah menceritakan kondisi yang diderita anaknya, Nunuk tetap memilih menyimpan rahasia itu. Entah dia nanti akan menceritakannya atau justru tutup mulut selamanya. Yang pasti kedatangan Nunuk ke Pangandaran untuk membantu Wiwid menghadapi Gendro Swara Pati. Bahkan, jika memungkinkan mengusir jin jahat tersebut.

***

Saking keasikan ngobrol, mereka tidak sadar Wiwid keluar dari dapur sembari membawa minuman. Nampak Wiwid sudah beganti pakaian. Mengenakan pakaian berwarna putih. Rambutnya yang panjang diikat dengan rapi. Bagian bawahnya mengenakan kain batik.

Kali ini pembawaan Wiwid begitu tenang. Mudah melempar senyuman. Dengan sopan dan hati-hati dia menyuguhkan minuman. Tak lama, anak itu duduk di samping ibunya. Tangannya dilingkarkan ke lengan ibunya. Mirip bocah membuntuti ibunya. Lalu, bermanja-manja di sana. Kadang Wiwid tersipu malu saat menatap wajah Nunuk.

Melihat itu, Nunuk langsung teringat anak-anaknya di Kediri. Betapa mereka telah menjelma menjadi anak gadis. Memiliki paras cantik layaknya anak-anak seusianya. Demikian pula dengan Wiwid. Anak itu mewarisi kecantikan ibunya. Dan di saat sedang mengenangkan hal-hal baik, tiba-tiba ingatannya dikembalikan kepada Gendro Swara Pati. Hatinya teriris-iris. Bagaimana mungkin anak secantik ini dirasuki jin?

“Silahkan diminum, Bu!” Seru Wiwid membuyarkan lamunan Nunuk.

Eh, iya, Cah Ayu,” sahut Nunuk.

Sembari menyeruput minumannya, Nunuk iseng bertanya. “Kalau boleh tahu bapak Wiwid ke mana?”

Nur menjawab, “Bapak sedang bekerja di Jakarta. Sebulan sekali pulang. Baru kemarin bapak Wiwid pulang. Sekarang balik lagi.”

“Apa Wiwid punya saudara?”

“Dia anak tunggal,” jawab Nur sembari membelai rambut anaknya.

Wiwid tak menjawab. Bahkan tak berusaha menjawab. Itu obrolan orang dewasa. Meski pertanyaannya sepele, Wiwid tidak berhak untuk menjawabnya.

“Nunuk masih sekolah?” Nunuk bertanya dengan menghadapkan wajah ke Wiwid. Berharap anak perempuan itu yang menjawab.

Karena ditanya, Wiwid kemudian menjawab. “Masih, Bu!” Singkatnya.

“Sekolahnya jauh dari sini?”

“Dekat. Di madrasah tsanawiyah. Tak jauh dari sini, Bu. Jaraknya paling 300 meter.”

“Naik apa ke sekolah?”

“Jalan kaki bareng teman-teman,” sahutnya.

Tanya jawab seperti itulah yang diingini Nunuk. Sebab dengan begitu dia bisa mengenal lebih dekat sosok Wiwid yang kini menjadi misinya datang ke Pangandaran. Dari Wiwid maupun ibunya, Nunuk mendapat banyak cerita soal Gendro Swara Pati meski mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Bagi Nunuk, jin jahat itu harus segera diusir. Jika dibiarkan berlama-lama, dikhawatirkan akan menganggu kejiwaan Wiwid. Persis yang dulu dialami Nunuk. Dia dan bapaknya tidak tahu dalam raganya telah dirasuki jin jahat. Hingga waktu itu tiba, Nunuk menikah dengan pria pilihannya. Di situlah awal mula petaka. Satu persatu suaminya menjadi tumbal keganasan Gendro Swara Pati.

Kala itu Nunuk tidak tahu bagaimana melawan kekuatan jin jahat tersebut. Dia belum mengenal Iksan, belum juga bertemu Sahid. Hingga Nunuk pun larut dalam cengkeraman Gendro Swara Pati. Kehidupan yang dijalani menjadi gelap gulita. Suram. Semuanya akibat pengaruh jin jahat yang bersemayam di raganya.

Pasca kematian suami-suaminya, macam-macam julukan disematkan padanya. Orang-orang menyebutnya perempuan sundel, perempuan pembawa sial, perempuan terkutuk, perempuan haus darah, hingga perempuan bahu laweyan.

Karena itu, Nunuk tidak mau hal serupa menimpa Wiwid. Yah, beruntung keberadaan Gendro Swara Pati dapat dideteksi sebelum Wiwid mengakhiri masa lajangnya. Kalau sampai itu terjadi, pasti banyak lelaki tidak berdosa menjadi tumbalnya. Nunuk tidak yakin sosok Wiwid akan kuat menjalani kehidupan semacam itu. Menerima keadaan dalam keterpaksaan sama saja bunuh diri. Menenggelamkan diri dalam ruang nista.

Misi Nunuk, sebagaimana pesan Sahid, adalah membebaskan Wiwid dari belenggu jin jahat. Nunuk memang tahu cara Iksan mengusir Gendro Swara Pati. Namun untuk mempraktikannya, tidaklah mudah. Atau, barangkali Nunuk akan mengikuti cara Sahid yang terkesan seadanya itu. Ah, membayangkannya saja tetap susah. Bagaimana tidak, Wali Allah itu mampu memanggil dan mengumpulkan ribuan jin di tengah hutan dan membuat semuanya tunduk. Bahkan Sahid sempat menampar Gendro Swara Pati hingga terguling-guling dan meninggalkan bekas. Cara Sahid tentu sulit dilakukan bahkan oleh siapapun.

“Tidak bisa aku melakukan cara seperti Mas Iksan dan Mas Sahid. Mereka orang-orang pilihan. Allah telah memilih mereka untuk membebaskanku dari belenggu Gendro Swara Pati. Sementara kini aku dihadapkan pada keadaan berbeda. Aku di posisi Mas Iksan dan Mas Sahid. Tapi aku bukan siapa-siapa. Bukan orang berilmu seperti mereka. Bagaimana caraku menolong Wiwid?” Batin Nunuk.

Nunuk tak kurang-kurang rasa herannya. Misi yang dijalaninya sangat berkelok. Tak berani Nunuk melangkah lebih jauh dari apa yang dia mampu. Sedangkan kemampuannya terbatas. Maka, hal pertama yang dilakukannya adalah meminta pemilik rumah supaya diijinkan menginap.

Nunuk sebenarnya ragu meminta hal itu pada Nur. Sebab selama perjalanannya berkeliling, dia tidak pernah sekalipun meminta sesuatu pada orang. Meminta ijin menginap di rumah orang, tak pernah dilakukannya. Bila di tengah perjalanan kemalaman, Nunuk memilih menginap di masjid atau langgar. Dari situ orang-orang berbaik hati menawarkan tempat mereka untuk disinggahi. Bahkan jika Nunuk singgah di rumah orang dan tidak ditawari menginap, dia akan langsung pamit dan meneruskan perjalanan.

Cuma, dalam kasus ini berbeda. Nunuk harus menginap di rumah itu. Dia tak mau sesuatu menimpa Wiwid. Siap atau tidak siap, Nunuk harus menghadapi Gendro Swara Pati. Apapun resikonya.

“Maaf, Mbak Nur bila saya lancang. Ada sesuatu yang hendak saya sampaikan. Hanya saja saya malu karena kita baru kenal,” Nunuk berkata pada pemilik rumah.

“Oh iya, ada apa Mbak Nunuk?”

“Sebetulnya saya tidak pernah meminta hal ini pada orang. Sekali ini saja saya meminta tolong pada Mbak Nur,” basa basi Nunuk.

“Apa itu, Mbak?”

“Apa sekiranya saya diperbolehkan menginap di sini,” pintanya.

“Oala, Mbak Nunuk kok seperti itu. Tidak perlu sungkan. Kami justru senang bila Mbak Nunuk menginap di sini. Terserah Mbak Nunuk mau menginap berapa lama. Pokoknya bebas. Anggap saja rumah sendiri.”

“Terima kasih, Mbak Nur.”

“Tidak usah berterima kasih, Mbak. Saya malah senang Mbak Nunuk mau menginap di sini. Sebab saya punya teman ngobrol. Saya sendiri jarang main ke tetangga,” tukas Nur.

Satu misi telah terlaksana. Nunuk bisa tinggal selama dia mau. Dengan begitu istri Wali Allah itu dapat mengawasi dan menjaga Wiwid dari kebuasan Gendro Swara Pati. Bahkan misi utamanya, mengusir jin jahat tersebut untuk selama-lamanya. Persis seperti yang dilakukan Sahid kepadanya dulu.

***

Di tengah kelegaan hati Nunuk. Dari kejauhan sosok hitam, tinggi, dan besar, sedang mengawasi. Sosok itu memiliki mata merah seperti darah. Memiliki taring dan cakar. Perawakannya bengis. Gendro Swara Pati sudah datang. Dia duduk di atap rumah-rumah warga. Lalu berpindah-pindah seenaknya. Nunuk dapat merasakan kekuatan gelap semakin mendekat. Dia tiba-tiba memalingkan pandangannya keluar rumah.

Jika Gendro Swara Pati menatap tajam, maka Nunuk tak mau kalah. Sorot matanya juga tajam mengawasi gerak-gerik jin jahat yang sewaktu-waktu masuk ke raga Wiwid. Nunuk segera memposisikan dirinya sebagai tameng di rumah itu, terutama tameng bagi Wiwid.

Anehnya, kali ini Nunuk tidak hanya merasakan kehadiran Gendro Swara Pati. Rupanya dia dapat melihat sosok gaib tersebut dengan mata telanjang. Bahkan Nunuk mampu melihat sosok makhluk halus lainnya di sekeliling Gendro Swara Pati. Entah darimana datangnya kemampuan ujug-ujug itu. Apakah Nunuk takut? Tidak. Sebelumnya dia pernah melihat ribuan jin dengan berbagai wujud menakutkan di tengah hujan. Nunuk diperlihatkan oleh Sahid. Sejak itu dia mulai terbiasa dengan makhluk gaib. Bahkan selama menjadi musafir, dia sering melihat keanehan-keanehan dalam bentuk nyata. Akan tetapi semua keanehan yang dialaminya tak urung selalu diabaikan. Sebab hal itu dirasa tidak penting.

Di satu sisi Nunuk bersyukur diberi kemampuan melihat makhluk gaib. Di sisi lain, dia tidak sebenarnya menginginkan kemampuan tersebut. Setidaknya dalam kasus Gendro Swara Pati, kemampuan melihat makhluk halus berguna. Karena akhirnya Nunuk dapat mengetahui lawan yang akan dihadapi. Tentu Nunuk tak henti-hentinya berdoa dan memohon pada Allah, agar setelah berhasil mengusir Gendro Swara Pati, dirinya tidak mau lagi memiliki kemampuan melihat makhluk gaib.

Saling menatap antara Nunuk dan Gendro Swara Pati tidak dapat dihindarkan. Bahkan saat tatapannya terhalangi pintu, Nunuk bangkit dari kursi. Dibiarkanlah pintu terbuka lebar-lebar supaya pandangannya tidak terhalangi. Lalu berdirilah dia di depannya. Seolah menunjukkan sikap siaga seandainya jin-jin itu hendak menyerang Wiwid. Kedua tangannya dikepalkan.

“Gendro, jangan sekali-kali kau menganggu Wiwid. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk gadis ini,” batin Nunuk.

Sementara Nur dan Wiwid dibuat heran dengan tingkah laku Nunuk. Perempuan itu tiba-tiba kehilangan fokus dan berpaling pada obyek lain yang tak kasat mata. Saat Nunuk berdiri mematung di depan pintu, Nur dan Wiwid curiga. Bertanya-tanya apa yang terjadi pada Nunuk. Ibu dan anak itu mencoba mengikuti dari belakang. Mereka melihat obyek sama yang dilihat Nunuk. Sayangnya, tidak didapati apapun di sana.

“Mbak Nunuk,” panggil Nur.

“Bu Nunuk,” Wiwid ikutan memanggil.

Tidak ada jawaban. Nunuk masih berdiri mematung.

“Mbaaakkk…Mbaaakkk…Mbaaakkk…,” kali ini Nur memanggil sembari menepuk pundak Nunuk. Rupanya dia khawatir Nunuk kerasukan setan. Sebab dipanggil beberapa kali, tidak ada jawaban.

Dan untuk kesekian kalinya, Nur memanggil dengan nada tinggi.

“Mbaaakkk Nunuuukk, nyebut Mbak, nyebut,” seru Nur menggoyang-goyangkan lengan Nunuk.

Seketika Nunuk baru tersadar. Agak gelagapan dia menjawab panggilan mereka.

“Astagfirullah. Maaf. Tadi saya sedang melamun,” sahut Nunuk mengusap mukanya.

“Saya tadi sempat khawatir. Saya pikir Mbak Nunuk kerasukan,” jawab Nur.

Nunuk membalas dengan senyuman.

“Kalau boleh tahu tadi Mbak Nunuk melihat apa di luar sana?” Tanya Nur.

“Tidak melihat apa-apa kok, Mbak. Mari kita minum lagi,” ajaknya.

Ibu dan anak itu menuruti dan kembali ke ruang tamu. Namun Nunuk sesekali menengok ke belakang dan melihat Gendro Swara Pati masih ada di sana.

“Bu Nunuk bilang tidak melihat apa-apa. Tapi kok seperti itu?” Tanya Wiwid penasaran.

“Seperti itu bagaimana, Nak?” Nunuk melemparkan pertanyaan balik.

“Tatapan ibu tajam. Seperti melihat setan.”

Nunuk tersenyum lagi.

“Nanti saja saya ceritakan. Kita minum teh lagi ya,” ucap Nunuk meraih cangkir teh dan menyeruputnya.

Sembari minum, sesekali Nunuk melemparkan pandangan ke luar rumah. Sepertinya akan terjadi peristiwa besar antara Nunuk dan Gendro Swara Pati.[bersambung]

bahu laweyanbukunovel
Komentar (0)
Tambah Komentar