Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary
PARA sayid Ba ‘Alawi adalah sebuah komunitas yang hadir di Nusantara bersamaan dengan kedatangan para Wali Sanga, bahkan sebelum Wali Sanga.
Menurut catatan beberapa sejarawan leluhur Wali Sanga adalah Sayid Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath Ba ‘Alawi. Beliau seorang sayid Ba ‘Alawi yang berasal dari Hadhramaut dan kemudian hijrah ke Gujarat India. Dengan demikian, Wali Sanga adalah para sayid Ba ‘Alawi.
Kemudian kehadiran para sayid Ba ‘Alawi ini dari masa ke masa bertambah dengan kedatangan gelombang berikutnya dari keturunan saudara sepupu leluhur Wali Sanga, yaitu keturunan al-Faqih al-Muqaddam Sayid Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath Ba ‘Alawi dan keturunan Sayid Abdurahman bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath Ba ‘Alawi.
Gelombang ini datang pada masa penjajahan Eropa di Nusantara. Tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah mereka sampai saat ini, karena sebagian dari mereka tidak terkonsentrasi dalam satu tempat, dan juga karena tidak ada sensus yang cermat tentang keberadaan mereka.
Jumlah mereka banyak dan mencapai jutaan jiwa, baik yang terdata maupun yang tidak terdata. Lebih penting dari sekedar jumlah jiwa di Tanah Air, para sayid Ba ‘Alawi datang ke kepulauan Nusantara dengan membawa agama Islam, baik sebagai padagang maupun sebagai pendakwah agama Islam.
Lambat laun, agama Islam yang mereka bawa telah mempengaruhi masyarakat asli di Nusantara hingga akhirnya mayoritas dari mereka memeluk agama Islam. Sebuah prestasi yang besar, Islam tersebar di kepulauan Nusantara secara damai dan alami, dan sekarang Indonesia merupakan negara Islam yang paling banyak jumlah kaum Muslimnya di dunia.
Oleh karena para sayid Ba ‘Alawi merupakan keturunan Nabi Muhammad saw., maka mereka menerima agama Islam secara langsung dari leluhur mereka sendiri, tanpa melalui perantara pihak luar. Kenyataan itu yang menjadi kekhasan mereka.
Artinya, mereka yang ada sekarang beragama Islam karena mengikuti ayah mereka, dan ayah mereka dari ayah mereka dan seterusnya sampai Nabi saw.
Meskipun para sayid secara umum menerima ajaran Islam lewat jalur leluhur mereka sendiri hingga Nabi Muhammad saw., namun pengamalan ajaran Islam di tengah mereka mengalami dinamika dan improvisasi, sehingga muncul perbedaan pengamalan Islam antara kelompok sayid yang satu dengan kelompok sayid yang lain.
Untuk lebih jelasnya, para sayid keturunan Nabi Muhammad saw. tersebar di berbagai belahan dunia, dan para sayid Ba ‘Alawi hanya satu bagian dari seluruh para sayid itu.
Pengamalan para sayid Ba ‘Alawi, misalnya, tidak sama dengan pengamalan para sayid yang berada di Irak, Maroko, dan lainnya, sementara mereka semuanya adalah Muslim dan menerima ajaran Islam dari leluhur mereka—agamanya sama dan sumbernya sama tapi pengamalan mereka berbeda.
Kenyataan itu menunjukan bahwa telah terjadi dinamika dan improvisasi dalam ajaran dan pemikiran di tengah mereka sehingga pengamalan mereka terhadap agama Islam berbeda-beda.
Beradaptasi dan berhijrah itu mereka lakukan semata-mata demi menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Para sayid Ba ‘Alawi yang berada di Hadhramaut dan Nusantara tidak dikecualikan dari keadaan tersebut. Leluhur mereka, Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir berhijrah dari Basrah ke Hadhramaut dan berketurunan di sana, kemudian sebagian dari mereka berhijrah ke Nusantara.
Dalam rantauan itu, terjadi dinamika dan improvisasi dalam ajaran dan pemikiran mereka karena faktor-faktor di atas. Perbedaan pengamalan para sayid tidak berarti sebuah penyimpangan dari ajaran Islam yang prinsipal. Selama mereka mengimani rukunrukun iman dan menjalankan rukun-rukun Islam, maka mereka adalah umat Islam.
Diantara beberapa buku yang ditulis oleh beberapa tokoh Ba ‘Alawi yang dapat dijadikan representatif untuk membaca konsep pemikiran, sudut pandang serta mazhab Thariqah Alawiyyin ini diantaranya:
Kitab Al-Kibrit al-Ahmar karya Syekh Abdullah Alaydrus bin Abubakar as-Sakran, kitab Al-Burqah al-Masyiqah karya Syekh Ali bin Abubakar as-Sakran, kitab Risalah Muawanah karya Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, Iqdu al-Yawaaqit al-Jawhariyyah karya Habib Idrus bin Umar Alhabsyi, dan lainnya dan terakhir al-Manhaj as-Sawi Syarah Ushul Thariqah lis-Sa’dah Ali Ba’alawi karya Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smieth.@
*) Pengasuh Majlis Dalail Khairat Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam & Pimpinan Ponpes Dirasat al-Qur’an wal Hadits Dalail Khairat Tabalong