Hidup Sekali dan Untuk Kali Ini Saja

Oleh: TG. Miftah el-Banjary

SEJENAK kita merenungi makna hidup sesungguhnya. Setiap kali ada seorang manusia yang terlahir di muka bumi ini, bayi itu akan selalu menangis. Mengapa?

Sebab, rohnya yang masih fitrah mengetahui bahwa dunia ini hakikatnya kotor dan hina. Jiwanya yang suci terkejut dengan alam baru yang penuh dengan bau duniawi. Sementara orang-orang yang hadir di sekitarnya menyambut dengan tawa bahagia.

Di dunia kita punya nama. Dengan nama itu kita dipanggil dan dengan nama itu pula kita akan dikenal sebagai apa nantinya. Nama itu kadang menjadikan mulia, sebaliknya nama itu pula yang menjadikan hina, sesuai dengan amal perbuatan si pemilik nama.

Bahkan, ada orang yang hidupnya hanya sekedar mencari nama. Nama besar, nama panggung, nama pena, nama di atas ijazah, nama gelar, nama kehormatan, nama di atas sertifikat tanah, nama di atas surat-surat kepemilikan berharga, dan masih banyak atas nama-nama yang lainnya. Dengan nama itulah, kelak setiap orang akan dipanggil dengan tambahan almarhumah atau mendiang.

Hidup memang lah sangat singkat. Tak lebih dari kisaran 60 hingga 70 tahunan. Terkadang, belum mencapai senja, tubuh ringkih penuh derita penyakit mendera. Hidup tak selamanya bahagia, terkadang lebih banyak dihiasi berlinang air mata duka. Lantas, apa yang diperjuangkan mati-matian dari dunia fana ini?

Seseorang akan menyadari kehidupan sesungguhnya, bilamana telah terpisah antara jasad dan roh yang kembali pada asalnya. Jasad kembali berurai menjadi tanah, roh kembali pada pemilik-Nya.

Semacam mimpi, tapi nyata. Bahkan, ternyata kehidupan di dunia inilah mimpi sesungguhnya yang akan baru disadari setiap orang yang mati bahwa dia baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Seperti orang yang terbangun dari tidur panjang dia memicingkan tubuhnya untuk meraba-raba, menerka-nerka sedang dimana dia berada, ternyata dia telah berada di bawah bumi yang sempit, gelap, pengap, hanya berukuran selunjuran tidur orang dewasa. Dimana aku?!!

Saat itulah, dia akan berkata, “Duhai celakalah diriku, semenjak di dunia aku tidak membawa apa-apa, aku disibukkan oleh dunia, dan kini dunia meninggalkan pergi sendiri di tempat yang mengerikan ini dalam kesendirian!”

Si roh menangis tanpa mampu berbuat apa-apa. Sedangkan jasad hanya terkujur membusuk menjadi santapan cacing tanah dan binatang melata. Hanya dua lembar kain kafan yang menemani menjadi usang hancur tak tersisa.

Selanjutnya, roh akan diperjalankan tanpa tahu arah tujuan. Perjalanan panjang kehidupan alam barzakh tanpa amal kebaikan laiknya orang mengarungi bahtera lautan, tanpa kapal tanpa perahu, bahkan tanpa pelampung. Begitu amat mengerikan perjalanan panjang itu.

Bukan setahun dua tahun, keberadaan roh di alam barzakh. Namun, sebelum kiamat terjadi, roh harus menunggu jutaan hingga milyaran tahun. Wallahu ‘alam, hingga, ditiupkan sangkakala yang pertama dan kedua, menantikan hari kebangkitan.

Antara satu tiupan sangkakala pertama dan kedua, menurut Imam Qurthubi ada jarak 40 ribu tahun dalam perhitungan hari akhirat. Perbandingan satu hari di akhirat berbanding 1.000 tahun di hari-hari dunia.

Masa rentang waktu penantian di padang Mahsyar selama 40.000 tahun menurut perhitungan hari di akhirat. Belum lagi, proses pencatatan amal, mizan, meniti jembatan ash-shirat, hingga perjalanan puncaknya memasuki surga atau neraka.
Jadi, apa yang kita persiapkan?

Seseorang pernah bertanya pada Imam Zainal Abidin, “Amalan apa yang boleh menyelamatkan seseorang dari huru-hara di hari kiamat? Imam Zainal Abidin menjawab, “Dengan memperbanyak membaca shalawat pada Rasulillah Saw..”@

*) Pengasuh Majlis Dalail Khairat Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam & Pimpinan Ponpes Dirasat al-Qur’an wal Hadits Dalail Khairat Tabalong

Miftah el-Banjary
Komentar (0)
Tambah Komentar