Oleh: Tg. DR. Miftah el-Banjary, MA
PEKAN terakhir Dzulqa’dah 5 Hijriyah, sekembalinya pasukan kaum muslimin memenangkan pertempuran Perang Ahzab, belum lagi hilang letihnya Rasulullah Saw dan para sahabat, turun lagi perintah berperang.
Malaikat Jibril memerintahkan kembali mengangkat senjata untuk mengepung pemukiman Yahudi Bani Quraidzah yang dianggap berkhianat.
Usai melaksanakan shalat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah saw segera memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. “Barang siapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” ujar beliau menutup instruksinya.
Rasulullah saw berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah.
Ketika waktu Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan. Saat itu terjadi perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi saw yang berbunyi, “Barang siapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari pasukan kaum Muslimin tidak melaksanakan shalat Ashar. Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah Isya di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun sebagian lain melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan, “Jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di tempat itu.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw terkait perbedaan pendapat tersebut Nabi Saw tidak mempermasalahkannya. Nabi Saw mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat itu.
Meski nash hadits itu dianggap sangat jelas bagi sebagian para sahabat, tapi tetap saja membuka peluang perbedaan pendapat.
Sebagian memahami teks ungkapan Nabi Saw itu apa adanya, yakni agar mereka shalat Ashar hanya di Bani Quraizhah, bukan di tempat yang lain, meski pun telah lewat shalat Ashar hingga tiba waktu shalat Isya. Pemahaman ini disebut dengan pemahaman “Tekstual”.
Namun pada saat yang sama, ada sebagian lain sahabat Nabi yang justru memahami ‘spirit’ ucapan beliau yang menghendaki agar mereka berjalan lebih cepat supaya tiba di Bani Quraizhah sebelum waktu Ashar lewat. Pemahaman ini disebut pemahaman “Konstekstual”.
Menyikapi dua perbedaan Fur’iyyah, baik ijtihad sahabat yang diambil berdasarkan Tekstual, maupun Kontekstual, Nabi Saw tak menyalahkan salah satu diantara keduanya. Beliau menghormati perbedaaan itu.
Hal ini memberikan isyarat bahwa dalam memahami teks, baik al-Qur’an maupun Hadits, peluang perbedaan pendapat itu memang terbuka, selama pendapat atau ijtihad tersebut didasarkan pada dasar argumentasi yang kuat, bernash, valid dan tentu didasari keilmuan yang mumpuni serta dilandasi semangat mencari kebenaran dalam mengamalkan agama ini sesuai petunjuk Islam.
Pada peristiwa lain, kita bisa lihat toleransi Nabi saw menyikapi perbedaan pendapat. Dalam Fiqih Sunnah-nya (Jilid I/89) pada bab Hal-hal yang Membatalkan Tayamum, Sayyid Sabiq menceritakan ulang hadits dari Abu Said al-Khudri.
Diriwayatkan, suatu ketika dua laki-laki melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air. Maka, mereka pun bertayamum.
Tak lama kemudian, keduanya mendapatkan air—setelah shalat. Lalu, salah seorang di antara keduanya mengulang shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi shalatnya.
Ketika bertemu Nabi saw, keduanya memaparkan perbedaan pendapat itu. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah.“
Adapun kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi saw bersabda, “Anda mendapatkan dua pahala.“ (HR Abu Daud dan Nasai).
Nabi saw membenarkan dua pendapat yang berbeda. Nah, kalau perbedaan pendapat itu bisa terjadi ketika Nabi saw masih hidup, apalagi setelah beliau wafat. Peluang itu pasti akan terbuka lebar.
Sikap umat Islam kita hari ini memanglah seharusnya arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan fiqhiyyah yang masih bersifat fur’iyyah (cabang).
Pilihan hukum dalam hal furu’iyah (cabang) tak harus selalu sunnah atau bid’ah, tapi bisa jadi rajih (kuat) dan marjuh (yang dikuatkan). Mengamalkan yang marjuh bisa menjadi pilihan jika membawa kemaslahatan.
Sebagai contoh sederhana, perbedaan pandangan terkait bilangan shalat tarawih 11 rakaat dan 23 rakaat tidak bisa dikategorikan perkara sunnah atau bid’ah, sebab kedua bilangan tersebut pernah dilakukan di masa Nabi dan pada masa sahabat Nabi Umar bin Khattab.
Contoh lainnya, soal gaya berpakaian. Dalam hadits al-Bukhari dijelaskan: “Dari ibn ‘Umar, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat”.
Di dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim juz 14
Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut di atas dengan menyatakan:
“Sesungguhnya isbal ada pada sarung, baju, dan imamah. Dan tidak boleh isbal sampai di bawah kedua mata kaki jika karena sombong. Namun jika bukan karena sombong maka hukumnya makruh.”
Soal perkara cingkrang atau isbal, bukan pula perkara sunnah atau makruh, sebab point penting yang perlu digarisbawahi dari hadits yang berkenaan dengan isbal yaitu menjauhi sikap sombongnya, bukan pada gaya model berpakaiannya.
Nah, jika kita kembali pada kaidah ikhtilaf ulama, maka tidak ada alasan mengatakan orang yang isbal sebagai perilaku paling “nyunnah” dan orang yang berpakaian tidak seperti kelompok kaum “Tekstual” sebagai gaya pakaian jahiliyyah, bid’ah atau anti sunnah. Wal’iyadzbillah.
Sebab, Nabi Saw sendiri mengajarkan bagaimana seharusnya perbedaan itu disikapi dengan saling menghormati dan membenarkan semua pandangan yang berbeda-beda, selama tidak saling menghujat dan menganggap paling benar.[]
*) Pakar Ilmu Linguistik Arab, Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia