Titik Nadhir #38

Tersesat di Gunung Merapi

Oleh: Jendra Wiswara

Sesuatu telah membangunkanku pagi-pagi sekali. Rengekan bocah kepada ibunya dari kamar sebelah membuat kesadaranku bangkit. Kulihat Ari masih terlelap. Sebelum bangkit menuju kamar mandi, seorang teman dari jauh mengirim SMS. Namanya Maryono.

Bunyinya begini: “Sekiranya di Yogya, tolong bawakan oleh-oleh blankon. Kalau tidak keberatan, tolong sekalian mampir ke Klaten. Di sana ada keluargaku. Sampaikan saja salamku padanya.”

SMS diakhiri dengan alamat keluarga nama Maryono di Klaten. Maryono adalah temanku dari Nganjuk. Dulu kami pernah bersama-sama menimba ilmu dari satu kyai ke kyai lain. Ke mana-mana kami selalu berdua. Alhamdulillah, dia masih ingat aku. Untuk membeli blankon–kendati harganya hanya dua puluh ribu–tetap saja harus menggunakan uang. Sementara uangku tinggal lima belas ribu.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang itu-itu saja–kaos kemarin yang belum dicuci serta celana pendek kesayangan–kubangunkan Ari.

“Pren, sudah pagi. Ayo bangun!”

Ari menggeragap dari tidurnya. Matanya dibuka sambil berkata:

“Ada apa, Coy?”

“Aku mau jalan lagi,” mendengar kata-kataku dia segera bangkit.

“Mau kemana setelah ini?” Setelah duduk ia menyalakan sebatang rokok, menemaniku sesaat.

“Entahlah, mungkin Klaten. Ada pesan dari teman untuk ke Klaten. Tapi sebelumnya ada sesuatu yang mau kusampaikan ke kamu.”

“Apa?”

“Sebenarnya aku malu mengatakannya, hanya sa…,” belum selesai kata-kataku, dia segera memutusnya.

“Uang ya.”

Aku mengangguk.

Belum sempat menyampaikan jumlah uang, tiba-tiba Ari merogok sakunya dan memberiku selembar lima puluh ribu.

“Sori coy, aku hanya punya ini. Minggu-minggu ini aku sedang mengalami kesulitan. 86 tidak lancar. Lagi pula aku belum gajian.”

Sebenarnya aku hendak meminjam tiga ratus ribu sebagai bekal perjalanan. Namun melihat penderitaan Ari, kuurungkan niat. Aku tahu dia pasti punya simpanan, hanya mungkin dia lebih membutuhkan ketimbang aku. Sebelumnya sempat kutawarkan handphone Nokia milikku, sebaliknya Ari malah mengguruiku. Katanya, aku tidak boleh menjualnya karena sewaktu-waktu aku membutuhkannya.

“Jangan kamu jual, Coy. Siapa tahu ibumu menghubungimu. Kalau kamu jual, ibumu pasti merasa was-was dengan keberadaan anaknya. Kamu akan sulit dihubungi. Bagaimana bila nanti terjadi apa-apa dengan kamu.”

Ah, benar juga. Tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Akhirnya kuputuskan tidak menjual handphone apapun masalahnya. Sebelum pamitan, kuterima uang pemberian Ari. Segera aku meluncur ke Malioboro mencarikan pesanan Si Embah: blangkon.

Benar tebakanku, harga blangkon lima belas ribu. Sisa uangku masih cukup untuk membelinya, sedang uang pemberian Ari akan kusimpan sebagai bekal di perjalanan.

Pukul sembilan pagi, aku mampir di kos-kosan Sari. Meski keadaan ekonomiku tidak membaik, aku tidak mau nanti dikatakan seorang yang sombong–jauh-jauh ke Yogya tidak mampir menemuinya.

Sewaktu mendatangi Sari, ia baru saja pulang dari kampus. Tampak gadis itu sudah banyak berubah. Sejak keluar dari pondok pesantren di Ponorogo, ia mulai hidup mandiri. Bagaimana aku mengenalnya, kukira tidak perlu kusebutkan alasannya. Yang jelas Sari semakin cantik.

Dulu sewaktu kecil aku sering menggendong dan menciuminya. Dan setelah melihat pertumbuhan Sari yang begitu cepat, maka satu-satunya orang yang berhak menggendongnya kelak adalah suaminya.

Pertemuan kami berjalan seperti biasa. Dari sekedar hello hingga merembet ke masalah pekerjaan. Tidak ada yang spesial. Cuma satu yang membebani pikiranku, yakni ketika Sari curhat mengenai cowoknya. Waktu itu Sari baru putus dengan kekasihnya. Sepanjang obrolan ia tak henti-hentinya menyebut nama cowoknya seakan-akan dialah dewa penyelamat.

Menyedihkan. Jauh-jauh ke Yogya aku hanya disuguhi problema yang menggelitik batin. Sepintas aku berpikir, mungkinkah aku layak menjadi sosok psikiater. Mengingat aku sering mendengar curhatan orang-orang di sekelilingku. Setiap bertemu teman lama, mereka selalu curhat padaku. Dan konyolnya, aku malah bersedia mendengarkan curhatan mereka.

Aku bukannya tidak mau memberi solusi, soalnya aku sendiri juga sedang dihadapkan pada masalah asmara yang pelik. Ada baiknya mereka mendekatkan diri kepada Tuhannya, meminta tolong padaNya. Hal ini pula yang seringkali kusampaikan kepada teman-teman. Sekiranya mereka bersedia mendengarkan kata-kataku, aku sangat bersyukur. Jika tidak, itu hak mereka.

Pukul sebelas siang aku bertolak menuju Klaten. Perjalanan kutempuh dalam waktu satu jam. Sebelumnya Klaten sempat kulewati saat ke Yogya. Jadi, aku kembali lagi.

Memasuki kota Klaten, aku sedikit dibingungkan dengan jalan memutar semacam by pass. Semua kendaraan dari arah barat dilarang melewati jalur kota, melainkan harus memutar. Kuuikuti saja arah jalan. Sekian jam berjalan belum kutemui kota Klaten. Apa mungkin aku salah jalan?

Sebaliknya jalur yang kutempuh semakin menjauh dari jalan protokol, hingga menembus pelosok pedesaan. Tiada tanda atau arah jalan kutemui. Begitu pula ketika berada di perempatan jalan, aku diberi tiga pilihan: belok kanan, kiri atau terus.

Kuputuskan untuk terus. Entah jalan ini akan sampai ke mana. Setelah sekian jam berkendara, lambat laun aku baru sadar ternyata aku sedang menuju Selo, Magelang. Dari kejauhan nampak olehku sebuah gunung menyemburkan asap. Semakin mendekat gunung tersebut mulai kukenal. Itu kan Merapi. Aku masih sangsi.

Motor kulambatkan, berhenti di tengah sawah dan bertanya kepada seorang peladang. Ternyata benar, gunung di depanku adalah gunung Merapi. Lelaki tua itu bilang, seharusnya aku belok kanan jika hendak ke Klaten, tapi justru aku mengambil rute yang salah. Jadi ceritanya: aku tersesat.

Kalau gunung Merapi sudah dekat dalam pandangan mata, berarti jarak Klaten dari Merapi sangat jauh.

Ya Allah, bagaimana bisa aku tersesat di sini. Kemana Kau akan membawa hambaMu ini. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku memang masih bisa putar balik, namun keinginantahuanku terhadap gunung Merapi membuatku mengurungkan niat. Mungkin Allah mempunyai maksud lain dari ketersesatan ini. Semoga saja demikian. Kuteruskan perjalanan menuju Merapi.

Bagi sebagian orang mendaki gunung Merapi merupakan petualangan yang menantang. Untuk berpetualang di sana para pendaki dapat melaluinya dari beberapa jalur pendakian. Ada tiga jalur yang terkenal saat ini untuk mencapai puncak Gunung Merapi, yaitu Jalur Kinahrejo atau Kaliadem dari sisi selatan, Jalur Babadan melalui lereng barat, dan Jalur Selo atau Plalangan dari sebelah utara puncak Merapi.

Ketiga jalur tersebut memerlukan stamina atau ketahanan fisik dan mental yang prima dan ketiganya mengandung resiko bahaya bila tidak berhati-hati. Banyak penduduk yang meyakini bahwa sisi depan Merapi sesungguhnya adalah menghadap ke Kinahrejo oleh karena itu, mendaki melalui jalur tersebut berarti datang dari depan. Jalur ini relatif berat karena pendaki langsung berhadapan dengan medan yang terjal dengan sudut lereng antara 30–45 derajat.

Bagi pemula jalur ini tidak disarankan. Jalur Babadan adalah jalur “tembak langsung” yang ditempuh dari sisi barat. Tembak langsung artinya sejak mulai melangkah arahnya langsung ke puncak dan terjal. Oleh karena itu, tidak ada variasi suasana atau pemandangan yang akan mengalihkan perhatian dari kepenatan.

Jalur ini untuk sementara sangat tidak disarankan karena aktifitas vulkanik gunung Merapi dalam dua dekade ini mengambil tempat di lereng barat. Boleh jadi ketika dalam perjalanan akan dihadang oleh guguran lava atau hujan abu. Seperti kejadian yang menimpa dua pelancong dari Belanda yang menjadi korban pada Juli 2001, satu orang meninggal dunia dan seorang lagi luka parah. Itu karena mereka nekat mendaki dari sisi barat dan diterjang guguran lava panas. Sementara jalur Selo atau Plalangan melalui sisi utara, jalur ini tergolong paling aman dan nyaman untuk mencapai puncak dan menjadi jalur tradisional bagi banyak pendaki. Oleh sebab itu, jalur ini yang direkomendasikan.

Dan aku memilih Selo karena keterpaksaan. Selo sendiri adalah sebuah desa kecil. Dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat baik dari arah Magelang maupun dari kota Boyolali. Kota ini memiliki kekhasan tersendiri karena udaranya yang sejuk.

Dari sini aku dapat melihat dua buah gunung yang mengapit kota ini, yaitu gunung Merbabu dan gunung Merapi. Kedua gunung tersebut dapat didaki melalui kota ini dengan catatan untuk mendaki gunung Merbabu lebih sulit dari Selo karena jalurnya yang terjal, dan berbeda sekali dengan gunung Merapi.

Sebelum mendaki biasanya pendaki melaporkan rencana perjalanan berikut persiapannya ke basecamp pendakian yang letaknya tepat di pinggir jalan. Namun aku tidak bisa melakukan hal itu, karena tidak memiliki persiapan memadai.

Kuputuskan untuk mendatangi perkampungan penduduk. Ketika aku berkunjung ke rumah salah seorang penduduk, dari sini aku mendapat pencerahan bahwa mendaki Merapi sebenarnya tidak membutuhkan persiapan matang, apalagi jika mereka seorang berpengalaman. Mengingat jarak puncak Merapi dari Selo tidaklah begitu tinggi. Paling cepat pendaki dapat menempuh rute selama 4-5 jam.

Kalau ada pendaki yang membawa persiapan matang, itu pun karena mereka menyempatkan berkemah atau menginap beberapa hari. Sedang aku tak butuh menginap. Sampai puncak saja sudah senang, setelah itu dapat langsung turun.

Dan kebetulan pemilik rumah yang kusinggahi adalah seorang petani kebun. Setiap dua hari sekali Pak Sarju–demikian namanya–mencari kayu bakar bersama anaknya di hutan gunung Merapi. Momen inilah yang kemudian kumanfaatkan untuk mengikutinya mendaki puncak Merapi tanpa melalui basecamp perijinan.

Hari itu aku menginap di rumah Pak Sarju. Sebenarnya aku malu menginap di rumah dia, mengingat aku cuma akan merepotkan saja. Namun ketika dia mengetahui maksud serta tujuanku, termasuk masalah kehabisan bekal di perjalanan, Pak Sarju beserta keluarganya bersedia menerimaku dengan tangan terbuka.

Mereka bahkan sama sekali tidak meminta upah atas kebaikannya. Sebaliknya aku malah diberi makan dan pinjaman pakaian penghilang rasa dingin. Mereka tidak peduli nama, asal-usul, ataukah rumahku. Yang mereka lihat aku tak lebih sebagai orang yang tersesat dan butuh pertolongan. Melihat kebaikan mereka, aku jadi ingat Lik Man.

Perjalanan menuju puncak Merapi kulanjutkan keesokan harinya.

Sebelum pagi menjemput, dan ketika burung-burung belum berkicau alias masih berada dalam sarangnya, Pak Sarju sudah membangunkanku. Kala itu udara dingin pegunungan kurasakan semakin menusuk-nusuk persendian. Aku menggigil dibuatnya. Pagi sekali kami sudah meninggalkan perkampungan Selo menuju puncak sembari diterangi sorot lampu senter.

Dalam perjalanan Pak Sarju memberitahuku sebuah rumah nun jauh di sana. Rumah tersebut berada di jalur Kinahrejo atau Kaliadem. Di rumah itulah tinggal seorang juru kunci yang terkenal bernama Mbah Marijan.

“Itu rumahnya Mbah Marijan.” Pak Sarju berhenti dan menunjukkan padaku.

“Pernahkah sampeyan ke sana?”

“Pernah.”

Tanpa melewati basecamp, kami melanjutkan perjalanan dengan memotong jalan melalui perkampungan penduduk. Selama satu jam perjalanan yang kulihat hanyalah hutan-hutan yang sudah mulai gundul. Demikian pula jalan tanah bercampur akar–akar pohon sedikit mengganggu perjalanan. Kami terpaksa melompatinya, kadang menyingkirkan ranting-ranting agar tidak menganggu.

Kendati demikian keindahan alam di sekelilingnya dapat kunikmati. Dari kejauhan nampak lampu kerlap-kerlip kota Boyolali, hal ini semakin menambah pemandangan alam kian menakjubkan. Dalam perjalanan tersebut kami jarang berhenti. Kalau pun berhenti paling hanya lima menit. Tak kusangka meski usia Pak Sarju sudah tua, tapi fisiknya masih kuat. Aku tidak bisa membayangkan berapa beban yang akan dipikul Pak Sarju bersama anaknya sewaktu membawa kayu bakar. Jujur aku sempat kuwalahan meladeninya.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Pak Sarju berhenti. “Nak, bapak berhenti sampai di sini saja. Kalau anak mau meneruskan perjalanan ikuti saja jalur ini. Jalur ini akan membawamu ke puncak Garuda. Bapak dan anak bapak akan menunggu di sini sambil mengumpulkan kayu bakar.”

“Memangnya berapa jam lagi sampai puncak, Pak?”

“Kalau bapak perhatikan kecepatanmu, mungkin tidak sampai tiga jam.”

“Kalau aku betah berlama-lama di sana bagaimana, Pak?”

“Biasanya bapak mencari kayu bakar sampai tiga jam. Kalau anak di sana lama, nanti bapak tunggu di rumah saja. Yang pasti anak kan sudah jauh-jauh ke sini. Sayang kalau tidak sampai puncak. Biasanya anak-anak muda paling senang mendaki puncak Merapi. Ya, bapak doakan semoga anak selamat sampai bawah.”

“Terima kasih, Pak!”

Hari sudah pagi. Matahari menyambut dengan menyingsingkan sinarnya di atas kepalaku. Cakrawala timur kian menguning. Detik demi detik komposisi warna di ufuk timur berubah secara perlahan dari rona kuning menjadi merah kekuning-kuningan dan semakin cerah bersama waktu. Dalam separuh perjalanan akhirnya kucapai undakan pertama yang dikenal dengan Bukit Selokopongisor. Dua puluh menit berikutnya sampailah di undakan kedua yang dikenal dengan Bukit Selokopoduwur.

Tak butuh waktu lama, aku sudah mencapai undakan ketiga yang bernama Bukit Gajahmungkur. Tidak jelas hubungannya dengan gajah, tetapi mungkin karena undakan ini adalah punggungan yang menukik tajam dan berakhir di Pasar Bubrah atau pasarnya lelembut. Dari sini kurasakan angin berhembus dengan kencang. Pohon-pohon tinggi mulai jarang kutemui. Kiranya aku sudah mendekati puncak Garuda.

Pemandangan yang kutemui hanya berupa hamparan batu. Pasar Bubrah sendiri adalah puncak dari rangkaian punggungan Gajahmungkur dan Pusunglondon sebelum mencapai puncak sesungguhnya, yang juga dikenal dengan Gunung Anyar. Untuk mencapai puncak aku dapat menempuhnya kurang dari 1 jam melewati batu sediment bekas letusan gunung.

Sebenarnya Gunung Anyar pada awalnya merupakan kubah lava yang terbentuk antara tahun 1902 – 1911 yang ketika itu dikenal dengan Kubah Timur.

Alkisah, menurut sahibul hikayat, bagi orang yang bening hatinya akan mendengarkan hiruk-pikuk suara bagaikan suatu hari pasaran yang sedang bubrah atau bubar. Tetapi bila dicermati dengan benar, Pasar Bubrah adalah lokasi pertemuan angin dari dua arah yang berbeda, masing-masing dari celah lereng timur dan lereng tenggara yang kemudian menimbulkan desisan yang terkadang panjang terdengar hiruk-pikuk.

Lokasi ini adalah puncak kelelahan dan selalu dijadikan tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Anyar atau puncak Garuda dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Dalam peta jaraknya hanya 700 meter tetapi harus ditempuh antara 45-60 menit karena perjalanan akan meniti bebatuan yang runcing dan mudah menggelinding. Oleh karena itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Tiba di puncak Merapi berarti tiba di puncak kebahagiaan. Betapa tidak, saat itu pendaki telah menginjakkan kakinya di posisi tertinggi dari lantai Yogyakarta. Gunung Merapi sendiri memiliki ketinggian 2914 Mdpl, dengan pesona kawah yang masih aktif.

Menuju puncak, medannya sudah rusak dan rawan longsor sehingga sangat berbahaya untuk melakukan pendakian. Selain terjal dan mudah longsor, pun angin kencang yang bertiup tiada hentinya. Maka, tak jarang aku harus berjalan dengan merangkak karena beberapa tempat yang terjal, dimana seolah-olah keterjalanan itu melarangku untuk mendekati puncaknya.

Setelah melalui berbagai rintangan akhirnya aku tiba di puncak Garuda. Di sini aku dapat melihat pemandangan yang menakjubkan, di mana kawah merapi berada di depan mata tiada henti-hentinya mengeluarkan asap. Tampak pula di sebelah utara, gunung Merbabu yang menantang untuk ditaklukkan. Tunggu, suatu hari aku akan menaklukkanmu, sesumbarku.

Lalu di seberang Barat dan Timur, tampak gunung Lawu dan gunung Sindoro-Sumbing seperti gundukan-gundukan hijau. Jika cuaca cerah pemandangan akan lebih mengasyikkan lagi, karena pemandangan kota Magelang dan Boyolali dapat terlihat dengan jelas.

Melongok ke arah timur laut, aku juga dapat melihat Klaten. Ah, kau, jauh benar dari sini.

Di puncak suhunya mencapai 5 derajat sampai -8 derajat. Cukup membuat badan menggigil. Belum lagi aku hanya mengenakan celana pendek kesayangan, sehingga hawa pegunungan dengan mudah merayap memasuki pangkal pahaku. Untuk sesaat aku bersujud syukur di atas puncak Merapi. Kukira perjalanan tersesat di gunung Merapi telah membawaku pada kebahagiaan tiada tergantikan.

Kutengok handphone kesayangan, kalender di dalamnya menunjukkan tanggal 21 April. Selama perjalanan baru kali ini aku melihat kalender. Awalnya aku sekedar melihatnya agar dapat memperingati kapan waktu keberhasilanku menaklukkan puncak Merapi. Namun rupanya tanggal 21 April merupakan tanggal yang bersejarah. Dalam keadaan tangan menggigil menahan dingin, seketika aku teringat sosok pejuang emansipasi wanita dari Blora, Jawa Tengah. Bukankah sekarang ini diperingati sebagai Hari Kartini?

Ah, beruntung sekali dapat memperingati Hari Kartini di puncak Garuda. Dirimu bagai sosok yang nasionalis, akan tetapi sekali lagi kau dihadapkan pada kenyataan yang selalu membebani pikiran, yakni kesendirian. Berada di puncak Merapi dan memperingati Hari Kartini tanpa didampingi siapapun, benar-benar menggelisahkan jiwa yang merana. Segera kukirim SMS, meski sinyal di atas lemah.

“Dia adalah bunga penutup abad. Karena kegigihannya mempertahankan harkat dan martabat kaum hawa, dia pun berhasil lolos ujian dimana tergelar taman kebahagiaan di hadapannya dan tentunya seluruh wanita di Indonesia. Suaranya takkan pernah padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Met memperingati Hari Kartini untuk semua wanita.”

SMS pertama kukirim ke Kayla. Dari sang kekasih ini kuterima balasan cukup puitis. Dia bilang padaku: “Mas, terima kasih atas SMSnya. Aku kangen kamu. Aku juga sayang kamu. Kamu yang hati-hati di sana. Bila kita ditakdirkan untuk bersama, aku yakin kita pasti akan hidup bersama kelak. Kamu yang sabar ya sayang.”

Balasan Kayla setidaknya cukup melegakanku.

Jawaban yang memuaskan sekaligus penyemangat datang dari ibu. Beliau membalasnya begini:

“Anakku,” tulis ibu untuk pertama kalinya dalam sebuah SMS. Pasti ibu kesulitan belajar memencet tombol handphone dan ribet mencari-cari pesan SMS. Maklum, ia baru saja memiliki handphone, itu pun dibeli secara kolektif dari kantornya.

Yang ia tahu hanya menekan nomer dan berdering, “begitu lama ibu sulit tidur dan susah makan memikirkanmu. Tidak mudah untuk memahami jalan pikiran dan angan-anganmu. Sekarang ibu sudah dapat memikirkan: ibu merestui perjalanan panjangmu, Tole, dengan tulus dan sejujur hatiku.”

Kubalas SMSnya:

“Insya Allah, setelah aku temukan apa yang kucari, aku akan pulang dalam pangkuanmu.”

Ibu membalasnya: “Ibu sudah baca SMSmu, dan ibu merestui perjalananmu. Di mana pun kamu berada, ibu akan selalu mendoakanmu. Semoga kau cepat mendapatkan apa yang kamu cari. Cepat-cepatlah pulang sebab ibu sudah kangen kamu, Tole. Oh iya, sekarang kamu ada dimana?”

Sebenarnya aku tidak mau membalas pertanyaan ibu, takutnya ibu terlalu khawatir memikirkanku. Tapi aku juga tak mau berbohong atau membuatnya resah.

Kubalas SMSnya: “Anakmu sekarang sedang duduk di puncak gunung Merapi.”

“Apa ibu tidak salah baca. Apa kamu tidak takut diserang wedhus gembel, Tole? Bagaimana seandainya kamu nanti pulang tinggal nama saja? Apa yang mesti ibu lakukan terhadap kamu?”

Jelas SMS ibu ini menunjukkan kekhawatiran luar biasa. Beliau terlihat sangat terkejut dan shock. Hal ini wajar mengingat gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi yang teraktif di dunia. Mendengar nama Merapi akan terbayang sesuatu yang mengerikan, gunung ini masih aktif mengeluarkan asap berbau belerang dan sesekali menyemburkan lahar panas.

Pada tahun 1998, gunung ini pernah menyemburkan asap wedhus gembel yang melepuhkan kulit manusia, yakni berupa awan panas dan debu dengan suhu 3000 ºC yang meletus hingga ketinggian 3000 meter dari puncaknya. Pada tahun 1994 awan panas telah membunuh 66 orang di lereng sebelah barat daya.

Kubalas SMS ibu: “Ibu tidak perlu khawatir. Anakmu di sini aman-aman saja. Merapi saat ini tidak aktif. Mungkin Tuhan belum membiarkannya aktif karena kedatangan anakmu yang gagah ini,” kataku sengaja sombong sekaligus membangkitkan semangat ibu yang drop.

“Kalau begitu suruh Tuhanmu agar tidak mengaktifkan laharnya, biar kamu bisa pulang dengan selamat sampai di rumah.”

“Insya Allah, Tuhan pasti mengetahui jalan pikiran hambaNya. Mohon doa restu!” Sambutku.

“Ibu merestuimu.”

Hubunganku dengan ibu terputus dengan sebuah nasehat yang menggelitik jiwa: hati-hati ya nak, jangan sampai kamu nyebur ke kawah! [bersambung]

bukunoveltitik nadhir