Titik Nadhir #39

Menjadi Satria Bisma

Oleh: Jendra Wiswara

Aku kini tak sendiri lagi dalam meraih kebahagiaan. Di puncak Merapi kusebar SMS sebanyak-banyaknya ke teman-teman bahwa aku telah berhasil menaklukkan gunung Merapi. Sombong, iya, tapi sedikit. Aku merasa mendapat suatu kemenangan. Kendati demikian aku tak lantas berbangga diri.

Suatu pikiran sederhana telah merobek-robek semangatku dan memunculkan satu kejanggalan, memang, makin besar kemenangan, makin dekat orang pada kelenaan, dan kelenaan adalah pangkal tewas.

Yah, aku harus mengambil separuh dari semua kemenangan ini. Selanjutnya kemenangan itu akan kutinggalkan di puncak Merapi. Biarlah orang lain silih berganti mereguknya, dan aku akan kembali ke bawah menemui Pak Sarju.

Dalam perjalanan ke bawah sesuatu menimpaku. Aku kesandung, tubuhku terhempas di antara bebatuan. Seketika meninggalkan luka di punggung, kaki, dan lengan. Nyeri dan perih. Beruntung masih selamat. Sebuah batu besar telah menyelamatkanku dari jurang. Kuteruskan perjalanan sambil merasakan perih luka akibat cucuran keringat.

Lama menuruni gunung, akhirnya kutemui empat pendaki yang hendak berangkat ke puncak. Kami berhenti sejenak untuk sekedar tegur sapa. Mereka berasal dari Jawa Barat. Dari mereka lantas aku diberi obat-obatan untuk lukaku. Sebelum berpisah kutinggalkan pesan kepada mereka agar berhati-hati. Mereka mengiyakan.

Tak berselang lama, aku pun tiba di perkampungan Selo. Rumah Pak Sarju tidak seberapa jauh. Di basecamp pendakian aku sempat melihat beberapa pendaki sedang melakukan persiapan ke puncak. Seorang dari mereka melihatku dan bertanya, “Berapa jauh, Mas, puncak dari sini?”

“Tidak seberapa jauh kok, paling 4-5 jam. Semoga selamat saja,” nasehatku.

Di depan rumah, Pak Sarju telah menanti. Kuuluk salam seperti biasa.

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam,” sambutnya, “akhirnya anak selamat. Kok cepat, Nak!”

“Iya, pak, di sana saya cuma sendiri. Yang penting saya sudah sampai puncak. Lagipula lama-lama di atas tidak mungkin sebab bekal yang saya bawa tidak cukup.”

“Yo wis ndang mandi sana, terus minta ibumu makan,” kata Pak Sarju.
“Inggih, Pak!” Balasku dengan Kromo.

Malamnya kami, aku dan Pak Sarju duduk di ruang tamu. Dengan ditemani kopi racikan sendiri, kami saling bertukar pikiran. Baru kutahu kalau Pak Sarju seorang kejawen. Setiap kata-kata yang mengalir dari bibirnya mengandung makna filosofi yang dalam. Kukira ia dulunya seorang dalang, tapi setelah kutanya ternyata kakeknya yang seorang dalang.

Dia sendiri mengaku hanya petani biasa. Pantas dari cara bicara dan bertutur, Pak Sarju seakan paham betul mengenai liku-liku kehidupan manusia. Banyak hal yang kutangkap dari pembicaraan malam itu bersama beliau.

Menurut Pak Sarju, Jawa kita ini dulunya hanya satu titik kecil di tengah-tengah samudra. Setiap bangsa waktu itu mempunyai kebesarannya. Mereka tak lagi membutuhkan raja-raja bermodel memerintah, tapi raja yang mengayomi. Pernahkah kau lihat ada petani dalam cerita wayang?

Kujawab dengan mengangkat pundak, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Setahuku petani dalam cerita wayang tidak pernah ada. Yang ada hanya raja-raja, para satria, dan para pandita.

Tapi Pak Sarju menyebut, ada petani dalam cerita wayang. Biasanya makin dekat pekerjaan seseorang pada tanah, makin tak ada kemuliaan pada dirinya, makin tidak terpikirkan dia oleh siapa pun. Itulah petani.

“Kamu tahu dengan cerita mengenai Satria Bisma?” Tanya Pak Sarju.

Aku menggeleng.

“Satri Bisma itu tewas di medan perang. Diceritakan dia hidup kembali dan hidup kembali setiap kali mayatnya menyentuh bumi atau tanah? Dia hidup lagi, berperang lagi, mati lagi, dan juga hidup lagi serta merta menyentuh tanah lagi. Dia abadi. Abadi selama bersinggungan dengan bumi. Bumi adalah petani, petani, dan petani.”

“Apa hubungannya raja dan petani?” Tanyaku penasaran.

“Kamu lihat petani adalah seorang kacung yang bisa diperintah dan dipermainkan. Tapi sebenarnya dia seorang yang berjiwa besar. Tanpa petani bangsa ini tidak akan merdeka. Petani adalah sejati-jatinya raja,” Pak Sarju berhenti, dia menatapku dengan sungguh-sungguh dan kemudian meneruskan, “jangan kau jadi burung cucakrowo yang bersahut dan tidak bersambut dalam sangkar. Jangan jadi dalang tiada cerita. Tanpa anak wayang pun dalang masih bisa, tapi tanpa cerita…anak wayang pun dia sendiri tidak. Seorang petani, wong cilik, rakyat jelata, memang mereka bukan dalang, tapi setidaknya mereka memiliki anak wayang yang bisa untuk diceritakan. Seorang raja tanpa anak wayang bukanlah siapa-siapa. Aku, kamu, bisa saja menjadi dalang sesuai dengan apa yang kau bisa. Tapi ingatlah, jika kau melakukannya tanpa cerita, tanpa anak wayang kau pun bukan apa-apa. Meski kau bukan dalang, kau pun dapat melakukan pekerjaanmu dengan sungguh-sungguh asal tidak mencelakai orang lain. Kamu bisa menjadi Satria Bisma selama hatimu kau tujukan kepada rakyat dan umat.”

Penjelasan Pak Sarju benar-benar membuka pikiranku.

Aku tak sanggup bertanya lagi. Semua yang diutarakan oleh beliau sudah kupatri dalam benak, dan akan selalu kuingat sampai mati.

Malam itu kami menghabiskan obrolan hingga lupa waktu. Cerita-cerita Pak Sarju terasa lebih mengesankan pribadi yang gelisah, tidak pasti, meraba-raba, dan agak kacau. Dia telah tenggelam dalam arus berbagai macam pikiran dunia yang entah diterimanya sepenuhnya atau sepotong demi sepotong.

Duduk di ruang tamu sambil menghisap lintingan rokok dari daun jagung yang dikeringkan, dan tentunya tembakau murahan, kami kembali ngobrol. Tangan dan mulut Pak Sarju tidak hemat dalam menggunakan kata-kata, sehingga orang-orang menjadi segan di dekatnya. Aku juga mengikutinya.

Esoknya Pak Sarju mengajakku ke kebunnya. Rupanya hari itu Pak Sarju sedang panen. Kubantu dia memetik buah-buahan. Dua keranjang penuh akhirnya terisi buah-buahan.

Selama dua hari aku mendekam di bawah kaki gunung Merapi. Bagai seorang pertapa, di sini seketika aku menjadi sosok Satria Bisma seperti yang dikatakan Pak Sarju.

Setiap hari aku pergi ke ladang. Di mana-mana yang tergelar tanaman beraneka macam. Kampung Selo memang berada di kaki pegunungan Merapi. Kebanyakan penduduknya bertani dan berternak. Di kebun ini kedua orang tua Pak Sarju telah memperkenalkan dunia pertanian kepadanya sejak masih kecil.

Setiap pukul sembilan pagi, cerita Pak Sarju, ia bersama bapaknya naik gunung mencari kayu bakar. Setelah itu ia diajari bercocok tanam, dari mencangkul, menyirami, memetik buah-buahan, hingga menjual ke pasar. Sayang esoknya aku harus minta pamit untuk ke Klaten.

Sebelum pergi Pak Sarju berpesan kepadaku agar hati-hati di jalan.

“Hati-hati di jalan. Maaf bapak tidak bisa memberi apa-apa.”

“Tidak apa-apa, Pak. Semua kebaikan sampeyan sudah cukup. Insya Allah kapan-kapan aku akan mampir ke sini lagi.”

Kami berpisah. Kupacu motor dengan kencang mendekati Klaten. Selama di Klaten aku diterima baik oleh keluarga Maryono. Bahkan di sini aku tak pernah merasa kelaparan. Keluarga Maryono menyediakan panganan berlimpah. Mungkin sudah kebiasaan mereka ketika kedatangan tamu dari jauh bermacam-macam suguhan panganan disajikan.

Seperti pesan Maryono, di Klaten dia memiliki banyak saudara. Terpaksa aku harus mampir menyampaikan salam dia ke saudara-saudaranya di setiap desa Klaten, mulai Desa Ngaglik, Desa Blanciran, dan Desa Troso.

Sekali lagi di tempat-tempat ini aku menjadi Satria Bisma. Beberapa kali aku disuruh menginap di rumah mereka. Di sini aku diajak ke sawah. Kulihat saudara Maryono adalah seorang petani sejati. Nampak dari celana tanggung dan capingnya. Kakinya busik terkena lumpur sehari-hari dan tak mengenal sabun. Baru kali ini aku merasakan beratnya menjadi petani. Selain terik panas memadati kulit kepala, hasil yang didapatkan juga tidak seberapa.

Butuh setidaknya tiga bulan untuk panen. Pun setelah membajak sawah, satu-satunya perasaan yang tertinggal padaku hanyalah lelah. Tulang punggung serasa dicabik-cabik. Segera setelah membajak aku langsung masuk kamar, tidur dengan perasaan lega tapi sakit punggung terus melilit-lilit.

Betapa bodoh mereka yang selalu merendahkan pekerjaan petani. Tanpa petani kalian bukan apa-apa, sumpahku, malah kau tidak akan menjadi siapa-siapa.

Yang lebih menyedihkan, hasil panenan para petani seringkali diabaikan. Bahkan pemerintah sendiri masih senang impor, sebuah solusi yang hanya mencari jalan mudahnya saja. Mereka sama sekali tidak menghargai jerih payah petani pedesaan. Hobi impor oleh pemerintah ini hanya akan menggembungkan pundi-pundi petani luar negeri sebagai produsen dan segelintir orang di dalam negeri sendiri. Terkutuklah kau. Bukan Tuhan yang mengutuk, tapi aku.

Di Klaten, aku juga bergelimang kotoran sapi. Sebenarnya aku malu menceritakannya, tapi bagaimana lagi semua itu kulakukan demi mendapat pinjaman uang. Sebenarnya malu juga. Sebab aku tidak mengenal mereka. Dan mereka juga sudah terlalu baik padaku. Mereka mau menerima dan menampungku sudah lebih dari cukup. Apalagi kedatanganku hanya menyampaikan salam dari Maryono.

Ya, di salah satu rumah saudara Maryono, aku membantu memelihara sepuluh ekor sapi. Ceritanya aku curhat kehabisan bekal, sementara perjalananku masih panjang. Belum lagi rute baru yang kutempuh kian tidak jelas, yang sewaktu-waktu suatu masalah baru bakal menimpa, apakah itu kebahagiaan atau bahkan masalah paling menyebalkan yakni kelaparan di tengah jalan.

Jujur selama perjalanan berkeliling dari Bali, Lombok, hingga Jawa, inilah satu-satunya rintangan paling besar yang menderaku, yakni meminta–istilah halusnya meminjam. Di sini aku sibuk bergelut dengan nuraniku.

Ternyata pemilik rumah tidak keberatan aku meminjam uang. Pemilik rumah meminjami uang tiga ratus ribu tanpa menanyakan kapan aku harus mengembalikannya. Dan untuk mendamaikan hati mereka kukatakan begini, “Setelah sampai Surabaya, nanti aku transfer uangnya,” kataku.

“Jangan pikirkan itu. Yang penting kamu dapat survive saja kami sudah bersyukur,” kata pemilik rumah.

Karena sudah diberi pinjaman uang, alangkah tidak sopan jika aku langsung pergi. Jadi, kuputuskan untuk menetap beberapa di sana sambil membantu pemilik rumah memelihara ternak sapi.

Jujur, beternak sapi tidak ada enaknya. Yang tidak enak jika setiap hari bergelut dengan kotoran sapi. Baunya menyengat. Baru sekali ini seumur hidup aku memasuki kandang sapi. Sungguh.
Deretan sapi di hadapanku melambungkan suasana yang haru dan kesan pedesaan yang kental. Di dalamnya kulihat seorang laki-laki mengurus umpan, serta membersihkan kandangnya. Bau kotoran dan rumput layu menyesakkan nafas.

Aku tahan rangsangan untuk muntah. Aku pun berusaha menghampiri beberapa ekor sapi dan menepuk-nepuk pada jidat di antara dua tanduk, bicara berbisik pada mereka, bahkan juga tertawa-tawa. Aku perhatikan pengurus sapi dari suatu jarak, ia begitu lincah dengan bertelanjang kaki, basah, kotor, dengan jari-jari kaki menerompet keluar. Rupanya ia sedang menyibukkan diri dalam kandang dan beramahan dengan sapi. Ia melirik padaku dan tersenyum mengundang. Perlahan aku memberanikan diri membantunya.

Tentu saja aku tidak menafikan betapa susahnya menjadi petani dan peternak. Kadang mereka kerap mengalami masa-masa sulit, terutama pada musim kemarau. Pada musim tertentu pakan ternak sangat sulit dicari. Maka, mereka terkadang harus menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk mencari pakan ternak. Tapi itu keadaan jaman dahulu. Jaman sekarang, menurut mereka, lebih mudah. Mereka bisa membeli bibit rumput gajah, dari bibit itu kemudian ditanam di sisi kebun singkong.

Dengan cara menanam sendiri, meski memasuki musim tertentu para peternak tidak akan kehabisan stok rumput gajah. Atau, kalau pun habis mudah saja diperoleh, yakni dengan cara membeli di tempat penjualan rumput.[bersambung]

bukunoveltitik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar