Titik Nadhir #40

Menyambangi Pujangga Besar

Oleh: Jendra Wiswara

Hari berikutnya di Klaten kulalui dengan perasaan was-was. Setiap malam aku merasakan ketegangan antara tidur dan terjaga. Anehnya, aku tidak memiliki kesempatan tidur, atau berpikir untuk tidur dengan nyenyak. Di tengah-tengah keriuhan suara batin yang bercampur aduk, kudapati teriakan-teriakan marah, penuh ketakutan, sorak-sorai suka cita, umpatan, dan guyuran air ludah, juga kumandang kalimat Alhamdulillah. Namun tetap saja aku merasakan ada yang hampa, apa ya?

Kuruntut semua perjalananku, tiada sesuatu pun yang salah. Lalu mengapa sekarang aku malah merasakan sesuatu itu mengganjal di hati. Semakin aku melupakannya, perasaan itu kian memberingsut memasuki kalbu. Saat menggenggam uang pinjaman, barulah kusadar ternyata biang keladinya adalah uang.

Memegang uang tiga ratus ribu seakan memiliki separuh harta di dunia. Pada saat itu dunia serta segala kemewahan dan keindahannya menjelma bagai raksasa. Setan-setan saling berbisik dalam bentuk menakutkan, yakni berupa uang. Mereka berupaya memerangiku. Ditampakkan padaku nafsu dalam bentuk yang terkadang tunduk kepada apa yang aku inginkan. Semua metode mujahadah yang aku jalani semasa perjalanan, seolah dengan mudah dikalahkan oleh yang namanya uang. Benar kata orang, semakin lama materi dunia menguasai makin mendekatkan orang itu pada kehancuran diri.

Aku bertambah geram manakala uang telah mengendalikan jalan hidupku. Aku semakin malas mengerjakan sesuatu padahal sebenarnya aku dapat dan sanggup untuk melakukannya. Aku bimbang. Pendirianku telah terkotori oleh kelemahan duniawi. Tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh segala sesuatu yang menyilaukan mata.

Pembosanan kian menghujam, cepat merasa jemu, untuk melakukan yang biasa kulakukan padahal tujuan belum juga tercapai. Inilah aku, seorang dari jauh, yang terlena oleh kekaguman terhadap duniawi.

Kalau biasanya aku bersikap cuek dan seadanya, kini dengan berpegang pada uang sebagai penyokong hidup, aku semakin dibuat susah. Susah karena aku bingung bagaimana membelanjakannya, susah karena aku juga takut kehilangannya, susah karena aku merasa lupa dengan segala hal di sekelilingku.

Selama tiga hari mondar-mandir di Klaten, tiada sesuatu pun yang kudapat selain kesombongan dan kekhawatiran. Selama dalam perjalanan, ini termasuk pemberhentianku paling lama dan menyita waktu. Pun setiap kali beribadat di masjid, hatiku selalu tergerak-gerak menyalahkan semua bualan ustadz yang sedang berceramah di atas mimbar.

Dalam momen yang begitu dramatis ustadz mengucapkan kata-kata yang sama lagi. Saat nama Tuhan dipanggil-panggil untuk kelima atau keenam kalinya, aku malah tertawa terkekeh-kekeh dan bergegas pergi.

Rupanya aku telah dikuasai oleh hawa nafsuku sendiri. Aku tak tahu siapa yang telah mengutukku. Aku berani bersumpah pasti salah satu dari orang itu, atau salah satu dari uang berupa lembaran lima puluh ribu yang telah menyebabkan pendalamanku berkurang seratus prosen.

Urusan kemunafikan masyarakat berkelas dan orang-orang bermuka alim tak perlu aku berikan perhatian. Aku sudah sering melihat orang-orang semacam ini. Memang golongan mereka tak mengenal aku dan sementara aku tidak perlu mengenal mereka. Saat itu hampir-hampir aku dibuat tak sanggup berdiri untuk mengangkat jiwaku yang telah kropos. Aku tak punya adrenalin lagi untuk melanjutkan perjalanan. Aku kini benar-benar seorang diri.

Akhirnya sebuah bayangan muncul disertai kata-kata yang mengutusku untuk membelanjakan uang sebagaimana mestinya, maksudnya biar tidak berlama-lama dalam penyesalan diri. Kebetulan, pikirku, aku tidak mempunyai celana panjang. Tapi di mana aku harus membelinya. Di Klaten jarang kutemui penjual celana selain di pasar.

Kutanya orang-orang di sekeliling, dan katanya aku bisa mendapatkannya di Pasar Rebo. Pasar ini terletak di sebelah timur ke arah Trucuk, Klaten. Namanya juga Pasar Rebo, konon, pasar ini buka hanya pada hari Rabu saja. Aku segera bertolak ke sana. Jaraknya tidak jauh hanya 5 kilometer. Sebelumnya aku sudah pamit pada keluarga Maryono untuk meneruskan perjalanan. Dan selama dua hari aku hanya muter-muter di Klaten.

Menuju Pasar Reo, kukelilingi persawahan hingga kudapati sebuah tempat yang ramai akan penjual dan pembeli. Inilah Pasar Rebo.

Kulihat beberapa orang hilir mudik mencengram dagangannya. Seorang pembeli nampak kebingungan menaikkan kamping-kampingnya ke atas pick up untuk kemudian dibawanya pulang. Mataku terpaku pada seorang penjual pakaian di jalanan. Kutawar sebuah celana model petani berwarna hitam dimana bagian atasnya tiada memiliki kancing kecuali ikatan tali simpul.

Penjualnya menawar tiga puluh lima ribu, kutawar dua puluh lima dan aku yang menang. Celana diberikan padaku. Sebelum pergi kutanya kepada penjualnya, sekiranya di daerah tersebut ada tempat-tempat bersejarah yang dapat kukunjungi, dia pun menunjuk ke arah Barat, yakni makam pujangga besar bernama Ronggowarsito.

Aku segera melangkah pergi menuju ke makam yang dimaksud. Dari pasar Rebo, makam Ronggowarsito jaraknya hanya dua kilometer. Sempat aku bolak-balik, nyasar, dan bertanya ke beberapa penduduk, mengingat lokasi makam yang yang sulit karena menjorok ke dalam pelosok-pelosok pedesaan. Akhirnya aku pun tiba di makam murid Kyai Hasan Besari tersebut.

Makam Ronggowarsito terletak di Desa Palar, Trucuk, Klaten. Saat kudatangi kondisi makam mengalami kerusakan parah akibat gempa Yogya beberapa waktu lalu. Sejumlah tiang beton bangunan cungkup-nya patah. Jauh lebih parah lagi adalah kondisi kerusakan yang diderita makam Sunan Bayat di Kecamatan Bayat, Klaten, yang juga sempat kudatangi.

Meskipun makamnya dalam kondisi utuh, namun bangunan cungkup (rumah makam) ukuran besar yang dibangun dan diresmikan tahun 1955 oleh Presiden RI saat itu, Bung Karno, mengalami kerusakan parah di seluruh bagian bangunan. Konstruksi bangunan bagian bawah masih terlihat kokoh. Sedangkan tiang-tiang betonnya sebagian besar lepas dari kesatuan bangunan, meskipun masih berdiri menyangga dinding bagian atas. Bahkan beberapa di antaranya terlihat telah miring. Dinding bangunan juga retak dari atas hingga bawah dan dapat membahayakan karena retaknya cukup menganga lebar.

Di sekitar makam Ronggowarsito terdapat makam-makam pengikutnya. Seorang wanita tua–tak lain juru kunci makam–menerimaku dengan ramah. Memasuki makam Ronggowarsito yang kurasakan adalah aroma anyir dari atas atap. Baunya lebih menyentak ketimbang kandang sapi. Kata wanita tua, bau tersebut datang dari kotoran kalelawar di atas atap makam. Selama kotoran kalelawar tidak jatuh menimpa kepalaku, aku masih dapat menahan diri untuk tidak muntah.

Di sana aku tidak berdoa, kedatanganku cuma sekedar ingin tahu saja. Dan karena keingintahuanku tersebut, maka aku harus berkorban dengan mengeluarkan uang lima ribu kepada sang juru kunci sebagai pengganti uang kebersihan. Dari juru kunci aku mendapatkan banyak cerita mengenai siapa sebenarnya Ronggowarsito. Meski ceritanya tidak lengkap, kutambahi ceritanya dari beberapa referensi sehingga dapat kuuraikan di sini.

Masyarakat Jawa saat ini tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan.

Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta. R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo.

Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Hasan Besari.

Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ronggowarsito memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanujoyo mempengaruhi kepribadian Ronggowarsito dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.

Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan. Hingga kini karya-karyanya dianggap sebagai masterpiece dari sastra Jawa.

Ramalan? Aku melihatnya bukan, tapi orang lain sebagian mengartikannya sebagai ramalan. Banyak pula yang membandingkan Ronggowarsito dengan Jayabaya. Terserah penilaian orang. Yang jelas karya-karya Ronggowarsito adalah sebuah potret akan kekiniannya. Kekinian ketika jawa secara teritori dan budaya takluk setakluk-takluknya pada modal. Pemahaman Ronggowarsito akan budaya Jawa kuno juga memberikan andil dan menempatkan dirinya sebagai seorang pujangga yang mempunyai kemampuan mendalami kejawaan.

Ronggowarsito disebut sebagai pujangga Jawa terakhir. Katanya, ketika orang Jawa membicarakan Ronggowarsito, mereka melukiskannya bagaikan tokoh dunia impian yang bebas cacat. Hal ini masih bersifat absurd, mengingat sampai saat ini belum pernah ada wacana kritis terfadap kesusasteraan Jawa abad XVII sampai XIX.

Salah satu karya Ronggowarsito yang terkenal adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut “zaman edan”. Aku mengutip sedikit beberapa ramalannya, berikut bunyinya: Amenangi jaman edan, ewuhaya ing pambudi, melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersaning Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada.

Bila dibahasakan menjadi: Mengalami zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapatkan bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Sementara Serat Sabda Jati juga tak kalah hebatnya, yakni sebuah serat yang membahas detik-detik sakaratul Ronggowarsito sebelum menemui ajal.

Begini bunyinya: Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon.

Bila diterjemahkan begini: Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

Disusul kemudian: Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon.

Artinya: Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon (bertepatan dengan wafatnya beliau).

Kemudian: Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon.

Yang terjemahannya berbunyi: Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

Membaca serat Sabda Jati Ronggowarsito seperti melihat kematian diri, aku dibuat merinding. Satu hal yang kutinggalkan di makam pujangga besar dari Solo itu, bahwa dia seorang yang pernah hebat di jamannya. Betapa hebatnya manusia seperti Ronggowarsito sampai-sampai ia dapat mengetahui serta meramalkan sendiri kematiannya. Orang lain, mungkin, tidak bisa. Ia sepertinya telah mengobrak-abrik rahasia alam kematian yang selama ini belum terusik oleh siapapun. Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua, seperti halnya hidayah yang diturunkan Tuhan kepada Ronggowarsito.[bersambung]

 

bukunoveltitik nadhir