Titik Nadhir #42

Cocor Merah

Oleh: Jendra Wiswara

Esok siangnya aku bertolak ke Semarang. Menurut orang perjalananku lebih cepat bila melewati Boyolali, Salatiga, hingga Ambarawa. Kupacu motor dengan segenap tenaga dan pikiran yang memberangus antara jalanan dan roda-roda besi lainnya.

Dengan banyaknya peristiwa luar biasa beberapa hari ini, aku pun tak sanggup untuk mengenangkannya. Pun aku tak punya waktu menengok ke belakang. Tidak ada yang istimewa dari perjalananku berikutnya, selain berperang diri menghadapi kepenatan akibat guyuran hujan.

Selama hampir enam jam berjalan dari Klaten hingga Semarang hujan tiada henti menerpa. Sebenarnya aku bisa saja berhenti di Boyolali, tetapi keadaan tidak memungkin untuk mampir. Mungkin karena letak kota Boyolali yang berada di punggung gunung Merbabu, sehingga cuacanya tidak mendukung.

Berlama-lama di Boyolali adalah perbuatan konyol, apalagi menghadapi cuaca seperti itu. Bisa-biasa aku dibuatnya jamuran terkena hawa dingin yang mencekam. Aku sedikit frustasi ketika jas hujan kesayangan tertembus air karena bagian atasnya yang robek. Sehingga tanpa malu-malu hawa dingin pun menembus bagian vital tubuh. Namun demikian aku terpaksa meneruskan perjalanan, dan berharap tiba di Semarang sebelum gelap.

Seharusnya perjalanan dapat kutempuh dalam waktu tak kurang dari empat jam–bila cuaca cerah, tapi kali ini perjalanan harus kutempuh dalam waktu enam jam. Beberapa kali aku berhenti membenahi jas hujan yang robek. Menyebalkan.

Tak henti-hentinya aku mengeluarkan omelan terhadap diri sendiri. Selain itu perjalanan memasuki Boyolali cukup menyita waktu. Entah darimana munculnya, tiba-tiba saja kabut turun dengan seenaknya yang menyebabkan pandanganku sedikit terganggu. Pun rute Boyolali yang naik turun bukit sangat tidak mendukung untuk menancapkan gas secara penuh. Terpaksa aku melambatkan motor. Belum lagi rem motor yang sudah aus menimbulkan ketakutan sangat tinggi. Bila tidak berhati-hati aku dapat menyelonong masuk persawahan, atau bahkan jurang.

Puluhan kendaraan berat juga turut menganggu perjalananku. Mereka tampak baris berbaris membentuk barisan rapi bak iring-iringan lomba tujuh belasan. Tak satu pun jalanan disisakan untuk pengendara roda dua. Kulihat mereka berjalan sangat lambat tanpa saling mendahului. Sangat berhati-hati. Satu saja kesalahan, seperti terpeleset atau mengalami rem blong dapat menyebabkan kecelakaan sangat dahsyat.

Dari samping aku berjalan mengikuti iring-iringan kendaraan. Sesekali aku memberanikan diri menyalip jika terdapat ruang kosong di depan. Itu pun paling banter kecepatanku maksimal 40 kilometer per jam.

Memasuki Salatiga, aku mulai dihadapkan pada suatu keadaan yang amat menjemukan. Kedua tanganku serasa mati. Mungkin karena kelamaan berada di bawah guyuran air hujan.  Aku berhenti di tengah-tengah kota. Kedua telapak tangan kusebul-sebul untuk menghilangkan rasa dingin.

Untuk kesekian kalinya aku menghadapi kesakitan yang luar biasa. Kukeluarkan sebatang rokok untuk menghibur diri. Berhenti di pinggir jalan sambil menyaksikan Kota Salatiga tak ubahnya menyaksikan sebuah pemandangan yang tidak biasa.

Salatiga berpenduduk sangat padat, tak jauh beda dengan kota-kota besar lain. Kesan modern sudah mulai menghiasi berbagai sudut perkotaaan. Nampak pula baliho terpasang di atas-atas jalan yang sewaktu-waktu dapat tercabut dari kekokohannya dan menimbulkan kerugian bagi pengguna jalan.

Beberapa orang terlihat saling bergesekan, saling mendahului, seakan bagi mereka tiada hari esok. Ketika berhenti di perempatan kota, kulihat sebuah tabrakan antara mobil dan motor. Beruntung keduanya tidak apa-apa. Tapi yang tidak selamat adalah kesabaran mereka. Keduanya saling berdiri di tengah jalan dan mulai menyalahkan satu sama lain.

Meski aku saksi mata kejadian, tidak ada untungnya bagiku untuk menengahi. Apalagi kulihat keduanya sama-sama salah dan mereka tidak mau saling mengalah. Tiada kesan yang kudapat dari sini, selain kata membosankan.

Hujan masih belum reda. Bahkan semakin menunjukkan kegarangannya. Setiap tetesan yang turun dari langit membawa hidayah bagi mereka yang mata pencahariannya mengandalkan dari hujan. Beruntunglah mereka yang mensyukuri nikmat Tuhan ini, dan celakalah orang yang terus memaki-maki hujan. Dan orang itu: aku.

Setelah kedua tanganku kembali pulih. Maka, perjalanan berlanjut hingga Ambarawa. Kota ini tak seluruhnya sama dengan Salatiga, tetapi aku masih dapat melihat bangunan Ambarawa masih menyiakan peninggalan kolonial.

Lagi-lagi aku berhenti untuk menyembuhkan luka dingin yang menggigit persendian. Kali ini yang diserang dingin adalah kedua kakiku, dari mulai pangkal paha hingga telapak kaki. Kurasai bulu-bulu kaki seakan membeku. Nyaris aku tak sanggup menggerak-gerakkan kaki. Aku berhenti di sebuah persimpangan lagi.

Sebuah pohon besar bersedia memayungiku dari guyuran hujan yang lebat ini. Ambarawa, ah, betapa banyak kau menjadi saksi sejarah manusia-manusia sebelumku. Hal yang paling kuingat dari pelajaran sejarah di sekolah adalah pertempuran hebat Ambarawa yang kemudian dikenal dengan Palagan Ambarawa.

Sekilas tentang Ambarawa, kota ini termasuk kecil bila dibanding kota-kota lain. Kalau tidak salah aku memperkirakan besarnya seperti sebuah kota kecamatan. Mengelilingi Ambarawa dalam beberapa menit, maka habis sudah kota tersebut.

Ambarawa terletak di sepanjang jalur jalan raya antara Semarang dan Yogyakarta. Lebih detailnya antara Ungaran dan Magelang. Jarak pasti dari Semarang aku tidak tahu, karena waktu itu yang ada dalam pikiranku hanyalah berkali-kali menyumpahi hujan yang tak junjung reda. Tapi kira-kira jaraknya setengah jam perjalanan di luar kemacetan. Hitung-hitungan dengan rata-rata kecepatan kendaraan 60 km/jam, mungkin jarak dari Semarang ke Ambarawa sekitar 30 km.

Kesan paling kuat yang kudapat dari kota ini adalah waktu yang seolah tidak bergerak.

Posisi Ambarawa berada di punggung sebuah gunung, tetapi hawanya sama sekali tidak segar, cenderung menyesakkan. Mungkin akibat kelembaban tinggi yang disebabkan keberadaan sebuah danau besar yang secara geografis berada di bawah kota Ambarawa.

Cerita rakyatnya, danau ini adalah hasil genangan air yang keluar dari sebuah lubang bekas tancapan sebatang lidi. Aku tidak ingat benar, hanya saja cerita rakyat ini juga menceritakan tentang seekor ular besar yang merupakan anak dari seorang pembesar.

Ketika mencari pengakuan dari ayahnya, sang ayah meminta ular tadi melingkarkan tubuhnya mengelilingi sebuah gunung. Kelak setelah bertapa bertahun-tahun, ketika ular tadi mencoba melingkari gunung dengan tubuhnya, panjangnya kurang sedikit dan kemudian lidahnya dijulurkan untuk menyentuh ujung ekornya.

Sayang seribu sayang, sang ayah malah memotong lidahnya. Tokohnya bernama Baru Klinting, tetapi kaitan ular tadi dengan lidi yang ditancapkan tidak kuingat lagi. Konon lagi, potongan lidah ular tadi menjelma menjadi sebuah mata tombak yang kini tersimpan di kraton Yogyakarta.

Jadi ingat dengan perjalananku saat melintasi Ranu Grati, Pasuruan. Konon tank Marinir tenggelam disebabkan ulah ular raksasa Baru Klinting. Dan sekarang cerita urban itu muncul di Ambarawa. Benar-benar aneh.

Satu kekhasan lain dari kota Ambarawa ini, hampir seluruh prianya merokok, persis seperti aku yang perokok berat. Tidak peduli datang dari golongan mana. Rokok yang termurah mulai dari kelas rokok jagung sampai sigaret kretek lalu tembakau linting yang pedagangnya banyak ditemui di berbagai penjuru kota. Rasanya cocok dengan kondisi hujan pada waktu itu. Cuma, jangan bayangkan kota ini sebagai kota romantis untuk rendesvouz, bilapun ada, di utara kota Ambarawa terdapat lokasi wisata pegunungan Bandungan, dan sebuah kompleks candi bernama Gedong Songo.

Secara visual, lokasinya memang romantis, pegunungan berhawa dingin dengan panorama danau menghampar di bawahnya, tapi awas, legenda mengatakan, siapapun yang memadu kasih di kompleks candi Gedong Songo akan segera bubar kisah kasihnya. Dan bila kebetulan kau kelak mampir ke kota Ambarawa, silakan buktikan bagaimana waktu berhenti di kota ini, setidaknya itulah gambaranku mengenai Ambarawa.

***

Ambarawa banyak meninggalkan peristiwa bersejarah, dan untuk membangkitkan kenangan pelajaran guru-guru sejarah, dan agar mereka tidak kecewa dengan mantan anak didiknya ini, hari itu aku mengunjungi Monumen Palagan Ambarawa.

Monumen ini terletak di antara persimpangan. Monumen ini didirikan untuk mengenang peristiwa heroik pada zaman perjuangan di daerah itu. Salah satu koleksi yang menarik di kompleks monumen itu adalah sebuah pesawat terbang Cocor Merah.

Soal pesawat terbang Cocor Merah ini, aku pernah membaca sebuah biografi perjalanan seorang kiai bernama Subchi. Semoga aku tidak salah menjelaskan. Jika salah, mohon diluruskan.

Kiai Subchi dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan bambu runcing sebagai senjata. Kiai Subchi dikenal sebagai kiai ‘alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Di kemudian hari, Kiai Subchi dikenal sebagai “Kiai Bambu Runcing”.

Bagaimana awal ceritanya beliau bisa dijuluki Kiai Bambu Runcing? Dari kisah yang beredar di kalangan mantan pejuang Hizbullah, Kiai Subchi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subchi berdiri di tengah halaman sembari memegang sebilah granggang (bambu yang ujungnya runcing). Tiba-tiba tepat di atas pesantren, melintas pesawat pengebom Belanda yang saat itu memang sangat ditakuti pejuang kemerdekaan. Pesawat itu oleh para pejuang diberi julukan Cocor Merah karena bagian depan pesawat tersebut dilumuri cat berwarna merah.

Saat itu mendadak Kiai Subchi mengangkat bambu runcing yang dipegangnya seraya mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat cocor merah yang tengah melintas di atas kepalanya. “Allahu Akbar..!’’ teriak Kiai Subchi sembari mengarahkan bambu runcingnya.

Anehnya, setelah takbir diteriakkan dan bambu runcing diarahkan, pesawat Cocor Merah tiba-tiba terlihat oleng. Tak hanya itu, pesawat pengebom itu kemudian menukik kencang ke arah bumi. Semua santri terkesima. Dan beberapa jam kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat Cocor Merah terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin, sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.

Kisah ini kemudian meluas. Pada masa itu, banyak pemuda mulai mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing seperti yang dilakukan Kiai Subchi. Bambu runcing itu kemudian diberi doa-doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh. Hingga meletuslah Palagan Ambarawa dan 10 November di Surabaya.

Nah, apakah pesawat Cocor Merah di Monumen Palagan Ambarawa itu ada kaitannya dengan cerita Kiai Subchi? Entahlah.

Yang jelas pesawat tersebut sebelumnya adalah milik pasukan Sekutu yang berhasil dikuasai pejuang RI. Pesawat tersebut sengaja dipajang untuk membandingkan kekuatan persenjataan pejuang RI dengan pihak lawan. Kalau dikaji lebih dalam, ini menggambarkan kekuatan semangat dan tekad pejuang jaman dulu yang bisa dibilang tanpa senjata tapi mampu mengalahkan musuh yang senjatanya jauh lebih canggih.

Puncak pertempuran Ambarawa terjadi pada 25-28 November 1945, yang merupakan rentetan dari peperangan melawan Sekutu di sepanjang jalur Yogyakarta-Magelang-Ambarawa-Semarang. Surat kabar harian Kedaulatan Rakyat selama Oktober 1945-Februari 1946 merekam kejadian tersebut.

Sayang, sewaktu di Yogyakarta aku tidak sempat mampir di kantor redaksi Kedaulatan Rakyat. Menyimak pemberitaan koran tertua di Indonesia ini, aku sendiri mendapati sebuah bagian yang tak kalah heroik dibanding kisah pertempurannya sendiri. Sebab ternyata wartawan yang menulis berita itu tak hanya sekadar meliput peristiwanya, melainkan juga turun langsung dan turut angkat senjata di medan perang.

Ini terlihat dari bagian kepala berita yang dimuat pada edisi 9 Februari 1946. Lead yang masih menggunakan ejaan lama itu berbunyi: Wartawan kita jang mengikoeti pertempoeran di medan paling depan mewartakan sbb:…

Kemudian di beberapa tulisan terdapat beberapa nama wartawan yang mengikuti perang. Ah, seandainya aku bisa menjadi wartawan seperti itu, mungkin tujuanku akan terasa bermanfaat. Memang, di jaman modern ini perang sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi sebagai wartawan, aku patut mencontoh perbuatan wartawan-wartawan tempo dulu.

Mereka bukan saja mengangkat tulisan, melainkan juga mengangkat senjata. Bila dibandingkan dengan keadaan sekarang, memang kondisinya jauh berubah. Meski begitu aku melihat wartawan era sekarang seharusnya masih memungkinkan mengikuti jejak pendahulu-pendahulu–itu kalau mereka bersedia. Setidaknya wartawan abad 21 kulihat masih punya kesempatan untuk mengangkat senjata. Senjata ampuh mereka adalah idealisme.

Mengunjungi Ambarawa memang akan selalu mengembalikan memori lama, bahwa betapa dahsyatnya perang di sepanjang Yogya, Magelang, Ambarawa, dan Semarang. Hal ini menegaskan jalur tersebut saat itu telah menjadi poros perjuangan pada masa revolusi fisik.

Meski hujan belum reda, kunjunganku ke Ambarawa tidak lama. Sebab hari sudah menjelang sore. Takutnya aku kemalaman di Semarang. Namun sebelum meninggalkan Ambarawa, aku sempat menikmati pecel Semanggi untuk mengisi perut. Aku lebih senang menyebutnya pecel ‘kere’ karena konon inilah pecelnya orang miskin di sana. Dedaunan di dalamnya tidak ada yang dijual di pasar karena tidak memiliki nilai jual dan karenanya aneka sayur di dalamnya konon dipetik sendiri dari tanaman kebun dan tanaman liar atau pagar. Daun yang kukenali cuma semanggi. Daun lainnya tidak aku kenal. Satu porsinya ditemani ketupat kecil yang berbentuk segitiga sama sisi dengan panjang sisi lebih kurang empat atau lima centimeter, tebal lebih kurang satu centimeter.

Teman lain pecel Semanggi adalah tempe ‘gembos’ goreng, lagi-lagi tempe ‘kere’ karena dibuat dari sisa ampas tahu. Setelah disajikan di atas selembar daun jati atau malah mungkin daun randu, racikan sayur tadi disiram saus kacang kasar untuk kemudian dimakan dengan pincuk atau daun yang dilipat sebagai sendok.

Istimewanya, pedagangnya datang membawa pikulan gendong layaknya tukang jamu di halaman rumah. Soal pecel Semanggi ini tak beda jauh dengan Surabaya. Di kotaku itu juga memiliki kuliner khas dengan nama Semanggi. Bahkan ada lagunya pula. Dinyanyikan keroncong. Berjudul Semanggi Suroboyo yang diciptakan oleh S. Padimin pada era 50-an [bersambung]

bukunoveltitik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar