Big Data Menjadi Big Dusta?
Oleh: M Rizal Fadillah
BIG Data Luhut terus dikejar. Diragukan kesahihan data soal 110 juta pengguna media sosial yang mendesak atau mendukung penundaan Pemilu 2024. Terakhir BEM UI mempertanyakan langsung pada Luhut dan dijawab ngeles oleh Menko Marinves tersebut. Data tidak mampu dibuka. Konon haknya untuk tidak membuka dan menjelaskan.
Ketua DPD LaNyalla Mattalitti mensinyalir ungkapan Luhut itu hoax dan menyinggung pelanggaran UU ITE di samping UU Keterbukaan Informasi. Ia minta masyarakat tidak terpengaruh oleh Big Data nya Luhut. Founder Evello, Dudi Rudianto menilai pernyataan Itu berlebihan sebab dari hasil penelusurannya maka pembahasan soal penundaan Pemilu 2024 hanya 693.289 akun saja.
Menteri segala urusan boleh berbuat apa saja termasuk urusan Big Data. Melegitimasi dan memperkuat banyak dugaan dusta lain seperti aspirasi dunia usaha Bahlil Lahadalia dan aspirasi petani Airlangga Hartarto. Aspirasi rakyat tidak bisa ditolak katanya. Mungkin menjeneralisasi atau bahkan memperbesar aspirasi termasuk dalam model Big Datanya Luhut.
Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan 3 periode telah mendapat perlawanan khususnya dari mahasiswa di Jakarta dan berbagai daerah lainnya. Presiden menginstruksikan para Menteri untuk tidak berbicara soal penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan. Hanya saja karena Menteri Luhut mengklaim dasar aspirasinya itu adalah Big Data, maka rakyat akan terus menagih. Apakah benar Data atau dusta.
Nampaknya Big Dusta menjadi warna dari rezim ini. Jokowi sendiri sudah terlalu banyak tidak menepati janji. Dari tax amnesty, hutang lagi, hingga dana APBN untuk Kereta Cepat. Dulu lagu ingkar janji Iwan Fals menyinggung realisasi Nawacita. ICW menilai Jokowi ingkar janji kampanye pemberantasan korupsi.
Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi semakin merajalela.
Big Dusta menular kepada para buzzer dan loyalis rezim. Setelah ngawur dan bohong Grace Natalie mengaitkan pengeroyokan Ade Armando dengan relawan Anies Baswedan, selanjutnya Denny Siregar membuat hoax dengan memposting mahasiswa berjaket biru berjajar siap makan nasi di siang hari. Ia berkomentar “Gara-gara ikut demo, mahasiswa ngaku khilaf lalu buka puasa usai adzan dzuhur”.
Denny Siregar, yang pernah memframing anak santri Tasikmalaya sebagai calon teroris, dengan mengunggah foto mahasiswa di atas maka telah melakukan penyesatan. Ternyata foto itu bukan saat aksi 11 April 2022 tetapi diambil ketika mahasiswa beristirahat sewaktu melakukan aksi menolak RUU Omnibus Law tahun 2020. Tentu bukan bulan Ramadhan.
Setelah Big Dusta hendak disimpan dimana muka? Atau bertambah berapa meter hidung? Yang jelas soal penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan telah menelurkan predikat “Pengkhianat Demokrasi” oleh LSM KontraS. Luhut Binsar Panjaitan menempati urutan pertama. Selanjutnya ada Tito Karnavian, Dea Tunggaesti, Bahlil Lahadila, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandad, dan Zulkifli Hassan.
Big Data yang menggeser menjadi Big Dusta dapat menelurkan predikat pada seseorang untuk menjadi pembohong atau pendusta.
“Jauhilah berdusta, sebab dusta menggiring pada keburukan dan keburukan menggiring kepada neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang berdusta dan terbiasa dalam kedustaannya, maka di sisi Allah akan ditulis sebagai seorang pendusta” (HR Abu Dawud).[]
“) Pemerhati Politik dan Kebangsaan