Che Guevara Penentang Kapitalis Sejak Usia Dini
Sejak anak-anak hingga usia belasan tahun, dia telah melahap banyak buku tentang tokoh-tokoh revolusioner. Karl Marx, Engels, dan Sigmund Freud adalah figur yang paling sering dibacanya. Sosok itulah yang kemudian membangun karakternya untuk menjadi seorang pejuang revolusi Marxis Argentina dan pemimpin gerilya Kuba.
REKAYOREK.ID Seorang pria paruh baya lunglai setelah dihujani peluru. Tak lama setelahnya, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Peluru-peluru tersebut telah mengakhiri kisah perjuangannya melawan kapitalis.
Tepat 9 Oktober 1967, Che Guevara tewas setelah peluru menghujam tubuhnya. Tokoh revolusioner ini meninggal dunia oleh hukuman tembak setelah sehari sebelumnya ditangkap tentara Bolivia.
Sejak itu nama Che Guevara terus terkenang hingga kini. Sebagian orang mengingatnya sebagai pemberontak, namun sebagian besar lainnya menganggapnya sebagai pahlawan. Kisah perjuangannya akan selaku dikenang.
Che Guevara akan selalu dianggap sebagai pejuang revolusi Marxis di Argentina. Lelaki ini terlahir pada 14 Juni 1928 dengan nama Ernesto Guevara Lynch de La Serna. Dia lahir di Rosario, kota terbesar di provinsi Santa Fe, di pusat Argentina (300 km barat laut dari Buenos Aires).
Sejak usia dua tahun, anak dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol menderita penyakit asma akut. Kondisi kesehatan Che yang demikian membuat orangtuanya mencari daerah yang lebih kering. Mereka ingin Che sehat dan daerah yang dipilihnya adalah Alta Gracia (Córdoba). Sayangnya kesehatan Che tak mengalami perubahan yang berarti.
Che lahir dari keluarga kaya, awalnya ia tak berminat di bidang politik, seluruh pikirannya hanya terpusat pada penyakitnya ‘asma’. Ia sangat tersiksa dengan penyakitnya ini, ia terus mencari tahu informasi tentang penyembuhan penyakitnya.
Hobi membacanya tumbuh karena ibunya Celia de la Serna, amat berminat di bidang sastra, ia ingin anaknya menyukai membaca, Celia tak hanya mengajari anaknya tentang huruf, ia mengajari kosa kata yang hidup, dari ibunya-lah pertama kali Che, mengenali bahwa ‘dibalik aksara’ ada kehidupan.
Karena itulah ia banyak membaca literatur tokoh dunia di perpustakaannya. Di umur 12 tahun ia suka sekali berkutat di ruang perpustakaan ayahnya. Dan ada satu buku yang amat menarik, sebuah buku berbahasa Spanyol terjemahan dari bahasa Jerman. Judulnya ‘Das Kapital’ karangan Karl Marx.
Ia menggeluti buku ini, ia mendefinisikan kemanusiaan, ia mendefinisikan bagaimana komoditi kemudian berkembang bukan sebagai ‘alat yang memudahkan manusia’ tapi sebagai alat penindasan–manusia terasingkan oleh kehidupannya.
Minat baca yang demikian tinggi telah menjadikannya seorang pemuda yang cerdas dan mengetahui tokoh-tokoh revolusioner dunia seperti Karl Marx, Engels, dan Sigmund Freud.
Untuk melanjutkan tingkat pendidikan dasarnya, Che kemudian dimasukan ke sekolah menengah pertama Colegio Nacional Deán Funes di Cordoba (1941). Di sekolah ini mendapat predikat terbaik untuk bidang sastra dan olahraga.
Terjunnya Che ke kancah perjuangan rakyat berawal saat dirinya melihat para pengungsi perang sipil Spanyol akibat rentetan krisis politik di Argentina. Krisis yang kemudian semakin memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis Juan Peron.
Kondisi ini membuat hati Che tergerak untuk melakukan perlawanan. Terlebih, Juan Peron merupakan pemimpin yang paling ditentangnya.
Sebagai wujud perlawanan pertamanya terhadap pemerintah fasis, Che mengangkatnya dalam sebuah karya sastra, pantomin.
Dia menuangkan kebencian akan politisi militer dan kaum kapitalis di sebuah pertunjukan pantomin Demokrasi di parlemen.
Namun, Che masih terlalu muda untuk terjun langsung ke dunia politik dan memimpin rekan-rekannya untuk melawan kapitalisme. Karenanya Che muda tidak bergabung dalam gerakan pelajar revolusioner.
Minat politiknya saat itu masih sangat sedikit. Dan itu dipelajarinya saat dia menuntut ilmu kedokteran di Universitas Buenos Aires, (1947).
Che memilih dunia kedokteran karena ingin mempelajari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Namun, sayangnya dia justru tertarik pada penyakit kusta.
Perjalanan ke Beberapa Negara
Usianya telah memasuki 21 tahun. Che muda memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara pada 1949. Dengan menggunakan sepeda motor, Che mulai menelusuri desa-desa dan kota-kota terpencil dan terpelosok di Argentina Utara.
Ia mengajak kawannya Alberto Granado keliling Argentina. Semua hutan dimasukinya, melewati sungai, melihat perkampungan-perkampungan yang tak terlihat dengan motornya. Ia menaiki rakit dan berjalan terus menantang sinar matahari, dan tangannya mencoba meraih bulan di angkasa, hatinya penuh, ia bergembira sekaligus bertanya ‘kemanusiaan, kemanusiaan…’.
Ya, Che, menemukan kebahagiaan di atas tunggangannya, kuda besi dan dengan buku berlapis kulit ia mencatat seluruh yang ia lihat, orang miskin, para Indian yang terpinggirkan, mereka yang terlupakan, mereka yang harus berkutat dengan kehidupan, seluruh dari mereka yang tak bebas dan harus dibebaskan.
Dari situlah Che menyadari betapa sulitnya hidup di negara yang dipimpin oleh kaum kapitalis. Dalam perjalanannya, Che bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian.
Pengalaman dan pemikirannya dalam dunia politik mulai berkembang. Setelah menempuh ujian pertengahan semester, Che melanjutkan perjalanan panjangnya menjelajah Argentina dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya pada 1951. Pada perjalanan keduanya, Che bersama seorang teman.
Dalam perjalanannya tersebut, dia bertemu dengan Salvador Allende saat berada di Chili dan di Peru. Dia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo. Kala berada di Kolombia, Che dapat merasakan bagaimana hebatnya La Violencia (perang sipil) yang terjadi pada 1948-1958.
Namun kala berada di Venezuela, dia ditangkap tetapi dilepaskan kembali. Setelah itu dia mengunjungi Miami.
Kisah perjalanan Che ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul The Motorcycle Diaries, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Che kembali ke daerah asalnya.Namun, kehidupannya sebagai spesialis penyakit kulit tak membuatnya bahagia. Saat berada dalam masa revolusi nasional, Che kemudian pergi ke La Paz, Bolivia. Namun, dia justru dituduh sebagai seorang oportunis.
Tak berlama-lama berada di Bolivia, Che kemudian melanjutkan perjalanannya ke Guatemala. Kala itu Guatemala dipimpin oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang merupakan seorang sosialis. Meski sepaham, Che tidak serta merta bergabung dengan Partai Komunis pimpinan Jacobo. Karena itulah dia ditolak untuk menjadi tenaga medis pemerintah.
Che pun kemudian terpuruk dalam kemiskinan. Untuk mnyambung hidupnya dia memilih bertahan hidup dengan menjadi seorang penulis arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca.
Yakin Revolusi Menang
Guatemala menjadi awal perjalanan karirnya di dunia politik. Selama berada di Guatemala dan menjadi penulis arkeologi, Che lalu berkenalan dengan Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Bahkan mereka pun tinggal bersama.
Perjalanan politiknya dimulai. Kepada Che, Hilda kemudian mengenalkannya dengan Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Che lantas banyak belajar tentang revolusi. Dia melihat dan memperhatikan cara kerja CIA sebagai agen kontrarevolusi.
Dari situlah keyakinannya akan kemenangan sebuah revolusi harus dilakukan dengan jaminan persenjataan.
Perjalanan politiknya di Guatemala berakhir, ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Che lantas hijrah ke Kota Meksiko (September 1954) dan bekerja di rumah sakit umum. Demikian pula dengan Hilda Gadea dan Nico Lopez yang mengikuti Che ke Meksiko.
Rupanya Meksiko membawa perubahan besar dalam perjalanan hidup dari karir politiknya. Che bertemu dengan tokoh revolusioner Raul Castro dan Fidel Castro.
Che yakin Fidel Castro adalah sosok pemimpin yang patut diikutinya. Che pun memutuskan bergabung dengan pengikut Castro.
Bersama pengikut lainnya, dia dilatih perang gerilya oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo. Alberto Bayo juga merupakan seorang penulis buku Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959.
Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong. Kecerdasan Che membuat Bayo kagum dan menjadikannya murid kesayangan. Che pun ditunjuk sebagai pemimpin.
Pada Juni 1956, Che dan pasukannya menyerbu Kuba. Dalam penyerbuan Che diangkat menjadi komandan tentara revolusioner Barbutos.
Kepemimpinan Che semakin disegani. Che dinilai sebagai seorang pemimpin yang berdisiplin tinggi. Dia kerap menembak mati anggotanya yang ceroboh dan bisa membahayakan perjuangan demi melawan presiden Batista.
Revolusi pun dimenangkan. Che pun mendapat penghargaan sebagai orang kedua di bawah Fidel Castro untuk memimpin Kuba. Dalam pemerintahan ini, Che bertanggung jawab menggiring Castro ke komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks.
Dalam perjalanannya menuju komunisme merdeka, Che memimpin Instituto Nacional de la Forma Agraria dan kemudian menyusun hukum agraria.
Dalam hukum agraria besutan Che, pemerintah menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis.
Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet.
Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.
Che dan Indonesia
Setelah menjadi salah satu pemimpin di Kuba, Che melepas lanjang. Dia mempersunting Aledia March pada 1959. Tiga bulan setelah itu atau tepatnya 12 Juni 1959, Castro mengutusnya untuk mengunjungi 14 negara Asia.
Negara-negara yang dikunjungi kebanyakan peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Salah satunya Indonesia.
Che berkunjung ke Jakarta dan menyempatkan diri ke Borobudur. Aksi kunjungan Che dibalas oleh Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu melakukan kunjungan balasan ke Kuba setahun kemudian atau tepatnya 13 Mei 1960.
Setibanya di Bandara Jose Marti, Havana, Soekarno disambut oleh Presiden Kuba Fidel Castro dan Che Guevara.
Usai mengunjungi 14 negara Asia, Che diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Setelah menjabat, pada Februari 1960, Che menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Soviet dan melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika.
Che yakin perjuangannya akan membawa keberhasilan bagi revolusi Kuba. “Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya,” ucap Che sesuai dengan ajaran Mao Ze Dong.
Che percaya daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Namun, aksinya itu justru mendatangkan petaka. Pada acara Solidaritas Asia-Afrika di Aljazair (Februari 1965), Che menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme.
Sebagai wujud pertentangannya dengan Uni Soviet, Che mengadakan konferensi Tiga Benua. Tujuannya konferensi tersebut adalah merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada negara kapitalis mendorong negara-negara komunis meminta Castro memberhentikan Che. Akhirnya pada 1965, Che diberhentikan.
Che pun terbang ke Kongo, Afrika. Namun dia dikabarkan telah tewas. Target Che di Kongo adalah mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Untuk menerapkan taktiknya dia mengirim 120 orang Kuba ke Kongo.
Sayangnya, niatnya tak semulus kenyataan. Che dan pasukannya gagal di Kongo. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia. Che pun pada 1965, meminta Castro untuk menarik mundur bantuan dari Kuba.
Penghargaan Melawan Kapitalisme
Perjalanan panjang Che Guevara berakhir pada 9 Oktober 1967. Dia bergerilya ke Bolivia. Namun malang, Che ditangkap oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967. Sehari setelah penangkapan, Che mendapat hukuman tembak.
Berita kematian Che pun lantas tersebar. Berbagai penghormatan atas kegigihannya melawan kapitalisme mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.
Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyair Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la Muerte de unHéroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del Mundo (Akhir dunia) pada 1969.
Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta Siempre Comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.
Pada 12 Juli 1997, jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.
Che menjadi legenda. Ia dikenang karena kehebatannya dalam memimpin sebuah revolusi. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.
Che, bukanlah pemimpin yang senang hidup nyaman, ia berjuang hanya karena “harus” berjuang. Ia melihat bagian dunia lain masih sengsara, ia ingin membebaskan dunia, tapi kadang-kadang manusia punya kenaifannya, mungkin di Kuba Revolusi menemukan momentum-nya, tapi tidak di dunia lain.
Che gagal di Kongo, Afrika begitu juga saat ia memasuki Bolivia, Che ditangkap tentara pemerintah Bolivia, ia mati dengan kepala ditembusi peluru, peluru penindasan……
Itulah Che, seorang pejuang abadi, seorang yang menolak kemapanan, memilih revolusi angkat bersenjata sebagai jalan hidupnya, seorang yang berkata kepada isterinya, “Kuberikan kebebasanku pada dunia, tapi aku tak bisa membebaskan dunia, aku mencintaimu sekali lagi mencintaimu”.
Dan seorang bapak yang amat mencintai anaknya seperti surat yang ia kirimkan kepada anak sulungnya Hildita, di hari ulangtahun Hildita :
Anakku, kau musti berjuang menjadi yang terbaik di sekolah, terbaik dalam setiap pengertian, dan kau akan mengetahuinya kelak: belajar dan bersikaplah revolusioner.
Apa itu sikap revolusioner? Sikap itu adalah kelakuanmu yang baik, cintamu yang tulus pada revolusi, pada persamaan manusia, persaudaraan.
Aku sendiri tidak bersikap demikian disaat usiaku sama denganmu, aku hidup dalam masyarakat yang berbeda, masyarakat yang kolot dan berpaham sempit, ‘dimana manusia menjadi ancaman bagi manusia lainnya’. Tapi kau nak, hidup dalam masa yang indah, memiliki kemudahan hidup di jaman yang lain dari jaman bapak-mu, kau harus bersyukur soal itu.
Bermainlah dalam dunia kanak-kanakmu, bermainlah ke rumah tetanggamu untuk menyapa mereka dan ceritakan pada mereka bagaimana kelakuan baik seharusnya dijalankan. Dekati adikmu Aleidita, ajarkan bagaimana bertindak baik, yang butuh perhatian besar darimu, sebagai anak tertua.
Oke, Tuan Putri……Sekali lagi aku berharap hatimu mekar berbahagia di hari ulang tahunmu ini, Peluk mesra untuk ibumu dan Gina. Aku memelukmu, memeluk dengan keabadian, memeluk sebagai rasa cinta bapak kepada anaknya hingga akhirnya kita berpisah. Papamu, Che Guevara.[diolah dari berbagai sumber]