Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Warga Lereng Gunung Lawu Pantangan Tanam Bawang Merah

Tradisi sesaji Mondhosio, upacara ritual sesaji masyarakat lereng Gunung Lawu yang digelar tiap Wuku Mondhosio atau delapan bulan sekali. Ini merupakan Wujud Syukur kepada Sang Maha Pencipta atas Rahmat dan perlindunga-Nya yang telah dilimpahkan kepada masyarakat di lereng Gunung Lawu.

Tradisi Mondhosio, Upacara Siraman Batu Gilang Gatot Kaca

REKAYOREK.ID Upacara tradisi ini juga sebagai perwujudan syukur kemenangan kebaikan atas ebatilan yang kala itu melanda masyarakat yang mendiami lereng Gunung Lawu. Pringgondani, petilasan Koco Nagoro yang berada di lereng Lawu.

Oleh masyarakat sekitar lebih dikenal dengan sebutan Pertapaan Gatot Kaca.

Petilasan yang masuk di wilayah Kalurahan Kalisoro ini dalam tatanan spiritual adat membawahi beberapa desa lainnya, di antaranya Pancot Lor, Pancot kidul dan Desa Blumbang. Sedangkan Petilasan Pringgondani ini sendiri berada di kawasan Desa Blumbang, kurang lebih satu jam perjalanan dengan jalan kaki melewati jalan setapak dari Desa Blumbang menuju puncak Gunung Lawu.

Upacara Tradisi Mondhosio ini berkaitan erat dengan petilasan pertapaan Pringgondani yang saat itu merupakan pertapaan milik Raden Gatot Kaca.

Pada tiap Wuku Mondhosio masyarakat yang berada di dalam wilayah Pringgondani diantaranya Desa Pancot dan Blumbang selalu menggelar upacara tradisi ritual tahunan ini, upacara ritual tradisi ini sudah digelar sejak jaman dulu, sampai saat ini upacara ritual sesaji ini masih tetap dilaksanakan sampai sekarang.

Tradisi ini berawal dari mitos masyarakat desa di sekitar Pringgondani yang menjadi pegangan sampai sekarang ini.

Gapura pintu masuk Desa Pancot. Foto: Judiantoro

 

Menurut cerita sesepuh Desa Pancot Lor, Karto Wiyono, dahulu kala ada seorang Raja Brahala yaitu Prabu Boko yang bermukim di daerah yang kini bernama Desa Pancot, desa yang menjadi kekuasaan Prabu Boko ini di bawah pengawasan pertapaan Pringgondani milik Raden Gatot Kaca.

“Prabu Boko yang kala itu memerintah rakyatnya dengan semena mena mempunyai kesukaan makan makanan yang lezat yang dimasak oleh pembantunya sendiri. Pada suatu hari saat pembantu Prabu Boko sedang memasak, jari kelingking kirinya teriris pisau lalu putus. Oleh sang pembantu jari kelingking ini tidak dibuang namun dicampurkan menjadi satu dengan sayuran sebagai hidangan untuk sang Raja,” cerita Karto Wiyono.

Prabu Boko yang kala itu sedang lapar, memakan masakan yang dihidangkan dari pembantunya dengan lahapnya. Bahkan rasa masakan yang disajikan oleh pembantunya kali ini lebih lezat sekali, berbeda dari rasa yang telah disajikan sebelumnya.

Saat sang pembantu ditanya oleh Prabu Boko perihal bumbu dan cara memasaknya, dirinya mengelak dan menutup nutupi kalau masakan yang disajikan untuk sang Prabu ini sebenarnya telah tercampur dengan daging jari kelingkingnya.

Namun karena ketakutannya terhadap Raja, akhirnya sang pembantu itu mengaku, kalau sebenarnya masakan yang telah dihidangkan dan di makan sang Prabu Boko tercampur dengan jari kelingkingnya, dalam kagetnya sang Prabu Boko bersabda.

Yen ngono daging Manungso kui enak rasane, mulo soko iku, sak iki saben enem sasi pisan rakyat kene kudu kei sesembahan manungso siji kanggo aku (kalau begitu daging manusia itu lezat rasanya, dan mulai sekarang rakyat harus mengorbankan satu orang tiap enam bulan sekali sebagai persembahan untuku),” sabda Prabu Boko kepada pembantunya.

Desa yang dulunya ramai kini lambat laun mulai sepi manusianya. Berkurangnya manusia yang mendiami desa desa di lereng Gunung Lawu ini akibat terus dikorbankan sebagai persembahan kepada Prabu Boko untuk dijadikan makanan yang dikorbankan secara bergantian.

Korban persembahan yang dipersembahkan secara bergantian ini sampailah kepada seorang janda (mbok Rondo) yang mempunyai anak masih bayi.

Setiap waktu Mbok Rondo selalu menangis dan termenung menunggu saat tiba waktunya dirinya untuk berpisah dengan anak satu satunya yang amat dicintainya untuk jadikan persembahan bagi Prabu Boko. Kesedihan Mbok Rondo dan tangisannya yang sangat memilukan ini rupanya terdengar sampai di telinga Raden Gatot Kaca yang berada di Pringgondani, Raden Gatot Kaca saat itu juga turun dari Pertapaan Pringgondani.

Arca Mbok Rondo sedang menggendong anaknya yang berada di Desa Pancot. Foto: Judiantoro

 

Setelah Raden Gatot Kaca turun dari pertapaan Pringgondani untuk menemui Mbok Rondo, diceritakanlah oleh Mbok Rondo keadaan keresahan yang melanda seluruh desa yang berada di lereng Gunung Lawu karena dijadikan persembahan bagi Prabu Boko untuk dijadikan santapan.

Mendengar cerita Mbok Rondo Raden Gatot Kaca marah dan berucap, “Mulane koq tak sawang soko nduwur pertapan deso kene samsoyo suwe samsoyo sepi soko rakyate ( makanya kok saya lihat dari atas
pertapaan desa ini semakin lama semakin sepi dari rakyatnya),” tutur Raden Gatot Kaca kepada Mbok Rondo.

Pada akhirnya Raden Gatot Kaca meminta kepada Mbok Rondo agar kini dirinya yang menjadi pengganti persembahan bagi Prabu Boko.

Raden Gatot Kaca dijadikan persembahan Prabu Boko. Dia dirias sebagai seorang perempuan tua yang menyerupai Mbok Rondo.

Kini tibalah saatnya persembahan kepada Prabu Boko. Pada saat persembahan ini akan dimakan oleh Prabu Boko. Terkejutlah dirinya, ternyata wujud perempuan tua itu ternyata Raden Gatot Kaca.

Maka terjadilah peperangan diantara keduanya. Dalam peperangan yang sengit ini Raden Gatot Kaca mengambil sebuah batu besar yang diambil dari Segoro Kidul (laut selatan). Batu hitam besar inilah yang menewaskan Prabu Boko setelah kepalanya dipukul dengan batu gilang dari Segoro Kidul. Batu Gilang ini pecah menjadi beberapa bagian setelah dipukulkan di kepala Prabu Boko.

Raden Gatot Kaca bersabda, “Apabila di kemudian hari pada tiap Wuku Mondhosio, maka siramilah batu ini dengan air tape (badeg)”.

Sejak saat itu setiap Wuku Mondhosio masyarakat Desa Pancot yang terdiri dari kebayanan Lor (utara) dan Kebayanan Kidul (selatan) menggelar upacara siraman Batu Gilang yang berada di Desa Pancot dengan menggunakan air tape. Sedangkan jasad Prabu Boko yang telah mati ini disabda oleh Raden Gatot Kaca.

“Dulu manusia ini suka makan manusia, kini setelah dirinya mati, jadilah dia dijadikan makanan manusia,” sabda Raden Gatot Kaca.

Watu Gilang. Foto: Judiantoro

 

Saat itu juga terjadi perubahan pada jasad Prabu Boko yang telah mati, lambat laun jasad itu berubah menjadi tanam tanaman sayuran berupa wortel, kentang, bawang putih, kol.dan tanaman sayuran lainnya kecuali bawang merah.

Sampai saat ini tanah yang menjadi tempat Jasad Prabu Boko pertama kali meninggal ini, pantangan bila menanam bawang merah di tanah ini.

Pernah suatu ketika ada salah seorang warga yang nekat menanam bawang merah di tanah bekas jasad Prabu Boko, selang beberapa saat kemudian terjadi kecelakaan menimpa orang itu sendiri. Kaki kanannya tertebas oleh pisau kebunnya sendiri. Tanpa disengaja kaki kanannya menginjak pisau yang sangat tajam yang di bawanya dari rumah, membuat telapak kakinya nyaris putus.

“Kaki orang itu nyaris putus, itu akibatnya kalau berani melanggar pantangan di sini. Padahal dia sudah berkali-kali dibilangi agar jangan menanam bawang merah, tapi dia tetap bandel akibatnya ya seperti itu. Boleh dikata dia terkena kutukan akibat ulahnya sendiri,” terang Karto.

Ngalap Berkah

Sejak saat itu, upacara ritual Mondhosio ini selalu digelar pada hari Selasa Kliwon dalam Wuku Mondhosio.

Selain sebagai upacara wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta, upacara ritual ini sekaligus juga sebagai tempat ngalap berkah bagi sebagian masyarakat sekitar.

Masyarakat yang ngalap berkah nantinya akan mendapatkan kupat janur yang isinya terdiri dari beras kuning dan nasi tumpeng kecil yang dimasukan kedalam kupat janur, kupat janur dan sisinya ini merupakan lambang kemakmuran pertanian, yang di bagikan kepada masyarakat yang ingin ngalap berkah dengan sarana dan lantaran doa permohonan kepada Sang Maha Pencipta agar dilimpahkan rejekinya.

Sesaji yang dipersiapkan dalam upacara ritual ini diantaranya ayam rumbai, wedus kendit, gandhik (jagung) nasi tumpeng, gecok bakal, tempe bakar, dan yang harus selalu ada dalam setiap ritual Mondhosio ini yaitu kendil yang berisi air badeg.

Air inilah yang nantinya dipergunakan untuk menyiram Batu Gilang Gatot Kaca di Desa Pancot.

Suasana kesibukan di rumah Bayan Lor Sularno menjelang ritual Mondhosio. Foto: Judiantoro

 

Malam hari setelah ritual penyiraman digelar pada siang harinya, seringkali terjadi suatu keanehan yang terlihat kasad mata, seekor harimau loreng turun dari pertapaan Pringgondani untuk minum air badeg yang telah disiramkan ke Batu Gilang.

Warga yang saat itu melihat harimau hanya terdiam saja. Mereka meyakini bahwa harimau ini merupakan peliharaan Raden Gatot Kaca atau Eyang Koco Nagoro pemilik Pertapan Pringgondani.

Selain ritual penyiraman Batu Gilang di Desa Pancot, ritual Mondhosio juga dilaksanakan di Desa Blumbang. Di desa ini seluruh warga menggelar ritual sesaji di pertapaan Pringgondani dan pembagian jadah geger sapi (terbuat dari ketan yang menyerupai badan sapi) kepada seluruh warga
Blumbang.

Jadah yang dibagikan ini melambangkan suatu kehidupan manusia yang berliku liku, masyarakat Blumbang berharap dengan doa kepada Sang Maha Pencipta dan upacara tradisi ritual ini. Seluruh warga diberi kekuatan dalam melewati kehidupan yang berliku liku.

Jadah Geger Sapi. Foto: Judiantoro

 

Di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat, masih banyak anggota masyarakat yang melakukan acara ritual dan bertapa di puncang Gunung Lawu (3.265 M) guna mengharap berkah dari kekuatan gaib.

Sejumlah masyarakat yang melakukan ritual bahkan ada di antaranya bertapa di Gunung Lawu dan mengunjungi sejumlah lokasi petilasan Raja Brawijaya V.

“Pada saat malam 1 Syuro atau pergantian Tahun Baru Jawa banyak wisatawan yang melakukan ritual di puncak Lawu,” kata Agus Pamungkas, salah seorang pecinta lingkungan asal Sragen yang kerap mendaki Gunung Lawu.

Kawasan Gunung Lawu ini memiliki luas 400 KM2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang. Terdapat dua Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu, yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur.

Sebagian kawasan hutan di Sarangan yang berada di lereng Gunung Lawu banyak dimanfaatkan masyarakat untuk lahan pertanian sayuran, kondisi ini berpeluang terjadi longsor.

Sementara di obyek wisata Telaga Sarangan terdapat belasan hotel dan losmen serta rumah makan, meskipun demikian warga sekitar tidak khawatir kemungkinan terjadi longsor, karena mereka mengaku sudah belasan tahun bermukim di lokasi itu belum pernah terjadi longsor.

Di Gunung Lawu banyak terdapat tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat, sehingga tidak hanya kaum muda, tetapi juga banyak orang tua yang mendaki Gunung Lawu untuk berziarah.

“Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak Lawu dahulu merupakan kerajaan yang pertama kali di Pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi masyarakat Jawa, terutama mereka yang masih percaya dengan dunia gaib,” kata salah seorang warga di lereng Lawu Magetan.

Pada umumnya para wisatawan mengunjungi obyek wisata puncak Gunung Lawu, selain menikmati keindahan alam berupa hutan dengan flora dan fauna yang khas, juga untuk wisata ritual, karena pada kawasan tersebut terdapat banyak tempat atau petilasan Raja Brawijaya V beserta pengikutnya.

Berkaitan dengan wisata minat khusus (ritual) di kawasan Puncak Lawu, kegiatan tersebut dilaksanakan hampir setiap saat dan akan mencapai puncaknya pada malam 1 Muharram (1 Syuro) pada penanggalan Jawa.

Pada saat itu, banyak wisatawan naik ke Puncak Lawu baik dengan tujuan untuk menikmati keindahan alam maupun untuk melakukan ritual menyambut tahun baru penanggalan Jawa.

Obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Puncak Lawu berupa petilasan peninggalan Raja Brawijaya V dan pengikut-pengikutnya, sumur Jolotundo. Di lokasi ini Raja Brawijaya V menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu.

Lumbung Selayur, di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan atau perbekalan para pengikut Raja Brawijaya V, Pawon Sewu, terletak pada pertengahan perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu.

Berdasarkan legenda yang hidup di tempat ini, para pengikut Raja Brawijaya V mendirikan dapur untuk memasak makanan serta lokasi Goa Selarong. Goa ini dimanfaatkan para pengikut Raja Brawijaya V untuk bermalam sekaligus sebagai tempat pemantauan musuh.[judiantoro]

Komentar
Loading...