Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Cinderella Tapi Bukan Upik Abu #9

Cerbung

Oleh: Vyra Fame

“O iya saya lupa, tolong mintakan laporan keuangan satu tahun terakhir, terhitung semenjak meninggalnya ayah saya, saya mau lihat.”

“Baik bu, segera saya siapkan, saya permisi dulu.”

“Terimakasih.” ucapku tersenyum, dan Intan meninggalkan ruanganku.

“Tante Sindi, Bella, setelah ini kalian akan terima konsekuensi dari perbuatan yang kalian lakukan.” gumamku dalam hati sembari tersenyum sinis.

***

Tak berapa lama, Intan sudah kembali ke ruanganku dan menyerahkan berkas laporan yang aku minta. Cukup lama aku melihat hasil laporan itu hingga aku menemukan adanya pembayaran tagihan kartu kredit yang jumlahnya cukup fantastis, yakni sebesar Rp 120 juta.

“Intan, bisa kamu jelaskan pembayaran kartu kredit sebesar ini untuk apa.”

“Maaf bu, itu pembayaran kredit card nya ibu Sindi dan mbak Bella.” ucap Intan dengan wajah menunduk.

“Lalu kenapa bisa sebesar ini, dan lagi kenapa tagihannya yang bayar perusahaan?” selidikku.

“Kalau untuk apa nya saya kurang tau bu,. Tapi yang jelas waktu itu bu Sindi dan mbak Bella beberapa kali datang kemari,. Mereka mengatakan kalau merekalah yang meneruskan perusahaan saat ini di karenakan bu Nadia sedang tidak bisa diganggu waktu itu lantaran masih berduka atas meninggalnya orangtua ibu Nadia. Dan katanya mereka sudah mendapatkan izin dari ibu sendiri, dan karena mereka ibu dan saudara dari bu Nadia makanya saya percaya saja.”

“Tapi bu…”

“Tapi apa?”

“Tapi waktu mereka minta untuk membuatkan kartu itu awalnya kami menolak, tapi mereka mengancam akan memecat bagi yang tidak patuh di karenakan katanya merekalah bos nya sekarang ini, jadi terpaksa kami turuti, maaf bu.”

“Yasudah, gini saja, bisa tolong kamu blokir kartu kredit milik tante Sindi?? Dan asal kamu tahu, mereka itu hanya orang luar dan tidak ada hubungannya dengan perusahaan milik ayah dan ibu. Mereka hanya orang yang kebetulan menikah dengan ayah saya, dan ini semua mutlak menjadi milik saya bukan mereka, jadi jika lain kali mereka meminta sesuatu apapun tolong konfirmasikan dahulu pada saya.”

“Baik bu, saya akan hubungi pihak bank nya untuk memblokir kartu milik bu Sindi.”

“Sekarang, gak pake lama, saya mau lihat laporannya di acc pihak bank hari ini juga.”

“Baik bu, segera saya kerjakan.”

Intan pun berlalu dari ruanganku, sedangkan aku menyanderkan badan di kursi kerjaku.

“Huft, sungguh mereka itu manusia manusia parasit. Sukanya foya foya da menghabiskan harta orangtuaku, tapi dengan beraninya mereka menghina orangtuaku, dasar benalu tidak tahu diri, lihat saja, habis ini akan ku pastikan tidak ada lagi uang mengalir ke rekening kalian.” gumamku pada diri sendiri.

***

Tok tok tok

Ketika aku sedang memeriksa laporan laporan pekerjaan yang lainnya, terdengar suara diketuk.

“Masuk.” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang ada di hadapanku.

“Maaf bu, saya mau melaporkan kalau pihak bank sudah menyetujui permintaan untuk memblokir kartu kredit milik bu Sindi.”

“Bagus Intan, dan kamu boleh bekerja kembali.” ucapku pada Intan.

“Baik bu, saya permisi dulu.” aku hanya menganggukan kepala sembari tersenyum.

***

Tilulit tilulit tilulit.

Suara gawai membuyarkan konsentrasiku saat bekerja.

Segera aku ambil gawaiku dari dalam tas, kulihat siapa yang menghubungiku hingga beberapa kali itu.

“Oh, rupanya si parasit, cepat sekali dia menghubungiku, apakah tiap hari kerjanya hanya belanja dan belanja saja, karena sudah pasti kalau dia sedang belanja kartu itu tidak bisa lagi dipakai.” gumamku pelan.

“Nadiaaaaaa” baru aku mengangkat teleponnya, di sebrang sana tante Sindi sudah berteriak seperti orang kesetanan.

“Gak usah teriak teriak saya belum tuli, ada apa?”

“Ini kenapa kartu kredit tante gak bisa dipake, tante kan jadi gak bisa bayar ini belanjaan!” serunya.

“Lalu?”

“Kok lalu sih, ya ini gimana? Pasti kamu yang udah blokir kan.”

“Kalau iya kenapa?” ucapku memang sengaja membuat emosi nya naik.

“Berani kamu ya!”

“Tante dengar ya, orangtuaku merintis ini semua dari nol, uang dan harta milik orangtuaku tidak untuk di hambur hamburkan, susah payah mereka membangun semuanya tapi dengan seenaknya tante dan anak tante itu menghabiskannya, kalian fikir kalian siapa!”

“Ya wajar dong kalau tante dan Sindi menikmati uang dan harta ayahmu, kami ini kan istri dan anak ayahmu.”

“Heiiiii, ingat! Tidak ada darah ayahku yang mengalir di tubuh anakmu itu. Akulah pemilik ini semua sekarang, bukan kalian, dan ayah memiliki ini semua jauh sebelum tante dan anak tante itu datang dan menikah dengan ayah, jadi kalian itu cuma numpang hidup sama aku skarang, dan sebagai orang yang menumpang seharusnya kalian tahu diri.”

Klik, aku mematikan gawaiku. Aku lihat tante Sindi berkali kali menghubungiku, tapi aku abaikan.

“Rasakan kalian sekarang, jika saja kalian berbaik hati sama aku, tentu saja aku tidak masalah jika harus berbagi dengan kalian, tapi kalian begitu tamak, ingin menguasai ini semua sendiri, sungguh menjjikkan.” umpatku dalam hati.

Seketika aku ingat satu hal, saat aku melihat lihat hasil laporan pekerjaan selama setahun ini. Mengenai kerjasama antara perusahaanku dan perusahaan milik Andre, aku sangat tahu kenapa ayah Andre ingin sekali menjodohkanku dengan anaknya, karena perusahaan mereka hampir bangkrut.

Itulah sebabnya mereka gencar menjodohkanku dengan Andre, dan untungnya sebelum semua terlambat aku sudah mengetahui kebusukan mereka. Dan aku ingin lihat jika tidak ada kucuran dana dari perusahaanku bagaimana nasib mereka selanjutnya, pasti sangat seru menyaksikan kesengsaraan mereka yang sudah berhianat.

Aku pun menelfon Intan menggunakan telepon kantor.

“Intan bisa masuk ke ruanganku sekarang!”

“Baik bu.” Jawab Intan.

Tak lama intan masuk kembali ke ruanganku.

“Ya bu, ada yang bisa saya bantu.”

“Apa ada jadwal kerjasama kita dengan perusahaan MEGA PROPERTI milik pak Andre?”

“Iya bu ada, dan kebetulan lusa adalah meeting perdana kita dengan perusahaan beliau. Beliau memang memita perusahaan kita untuk bantu tanam modal di perusahaannya untuk membantu meluncurkan produk baru yang mereka tawarkan, yang mana nantinya dari bagian hasilnya adalah 60/40 %, jika dinominalkan, keuntungannya sangat besar bu.”

“Segera batalkan, saya tidak mau perusahaan saya berurusan dengan orang seperti mereka.”

“Tapi bu, kerjasama ini sangat menguntungkan.”

“Biar saja, tidak masalah buat saya untung sedikit, daripada harus bekerjasama dengan penghianat seperti mereka, kamu kerjakan saja perintah saya.”

“Baik bu, saya laksanakan, kalau gitu saya permisi.”

“Silahkan.”

“Jangan panggil namaku Nadia kalau aku tidak bisa membuat para penghianat itu memohon ampun dan maaf padaku.” ucapku sembari menyeringai.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...