Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Dugaan Adanya Konsultan ‘Plat Merah’ di DLH Jatim Menguat

REKAYOREK.ID Konsultan AMDAL maupun UKL-UPL yang tersertifikasi serta terdaftar di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jatim engan berkomentar saat dihubungi terkait dugaan order titipan.

“Kami bekerja profesional, batas waktu penyelesaian sesuai target rata rata delapan bulan,” ungkap salah seorang direktur perusahaan konsultan yang terdaftar di DLH Jatim dan tidak bersedia namanya disebut.

Perusahaan konsultan lainnya yang dihubungi juga tidak bersedia berkomentar panjang lebar.

“Persaingan ketat dan anda tahu sendiri tarif membuat AMDAL bukan uang kecil,” ujarnya singkat.

Sementara itu Ketua Umum asosiasi Galangan Kapal (Iperindo), Anita Pudji Utami yang diminta pendapatnya tertkait temuan lama dan ketidakpastian waktu penyelesian AMDAL anggotanya.

“Untuk Iperindo Jatim silahkan bisa disampaikan kepada Ketua Iperindo Jatim,” pintanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, DLH Jatim dianggap menghambat investasi di Jawa Timur. Sebab tidak ada kepastian berapa lama urusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dapat diselesaikan. “Tidak ada kepastian berapa lama AMDAL yang diajukan satu badan usaha bisa selesai,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maritim, I Komang Aries Dharmawan.

Dengan tidak adanya kepastian tersebut perusahaan tidak bisa bekerja karena AMDAL merupakan salah satu persyaratan ijin operasional yang harus dimiliki semua badan usaha.

Reklamasi ilegal oleh BTS dan Ben Santoso yang dinilai merusak lingkungan pesisir dan laut bebas sanksi. Foto: repro

 

Ditambahkan olehnya, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika DLH Jatim fair, tidak membedakan konsultan yang mengurus AMDAL. Karena bukan rahasia umum bahwa ada semacam perlakuan khusus konsultan yang direkom DLH bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Sedikitnya LBH Maritim memonitor tiga perusahaan galangan kapal di Madura yang pengurusan AMDAL nya lebih dari satu tahun belum selesai. Pertama, AMDAL yang diajukan PT Bintang Timur Samudera (BTS) di Desa Banyuajuh, Kamal Bangkalan hampir dua tahun ijin belum keluar.

Demikian pula tahapan yang harus dilewati PT Ben Santoso di Kecamatan Kamal prosedurnya dinilai bertele tele.

Idealnya AMDAL clear dalam waktu paling lama 8 bulan padahal biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar konsultan hampir Rp 1 miliar.

Untuk mendapatkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKL) yang ditandatangani Kepala DLH Jatim agar legalitas AMDAL sah menyita banyak waktu tahapan untuk konsultasi dan sidang serta membutuhkan biaya besar.

“Tiga tahun lalu, PT GSM di desa Sambilangan, Kecamatan Bangkalan juga mengalami hal yang sama,” ungkapnya.

Setelah ditelusuri ternyata ketiga galangan kapal tersebut menggunakan konsultan sendiri bukan konsultan yang direkom oleh DLH.

“Jika ingin fair seharusnya setiap pengajuan perijinan AMDAL menggunakan time line sehingga setiap pemohon bisa mengetahui progresnya tanpa harus tatap muka. Demikian pula sesi konsultasi dan sidang bisa dilakukan melalui Zoom Meeting untuk menghindari pungli juga menekan high cost,” imbuhnya.

Sementara itu Direktur Jaringan Advokasi Maritim (JAM), Laili Azis mengingatkan, Galangan Kapal BTS dan Ben Santoso, kendati sudah mengantongi ijin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP dan TUKs dari Kementerian Perhubungan serta UKL-UPL dari Kabupaten Bangkalan, kedua perusahaan tersebut seharusnya belum boleh beroperasi.

Keduanya, lanjut Laili Azis, tidak memiliki ijin operasional. Ijin operasional dapat diurus setelah perusahaan bersangkutan memiliki AMDAL, Ijin Reklamasi dan ijin Lingkungan.

“Kita sedang mendalami hal ini, termasuk hektaran luasan mangrove yang ditebang tanpa ijin,” tegasnya.

Menurut Laili Azis yang menjadi counter part salah satu perusahaan Galangan kapal di Batam itu mengungkapkan lebih jauh. DLH seharusnya juga tegas menyikapi pelanggaran yang dilakukan oleh kedua galangan kapal papan atas di Jatim tersebut. Ijin tidak lengkap, menebang pohon mangrove tanpa ijin, melakukan reklamasi liar hektaran, mencemari lingkungan pesisir dan laut dari buangan limbah.

“Hasil temuan tim DLH bulan Mei tahun 2023 sudah jelas semua dan banyak pelanggaran yang dilakukan kedua perusahaan galangan Kapal tersebut,” bebernya.

Ia mengingatkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2021 (Lampiran Angka XVI), pelanggaran Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut dikenakan denda per pelanggaran sebesar 5% dari total nilai investasi.
Dalam Penetapan Nilai Sanksi Adminsitratif Berupa Denda Administratif disebutkan pula, Pelanggaran atas Kegiatan yang Mengakibatkan Pencemaran dan atau Kerusakan Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya (No M), juga dikenakan denda per luasan pencemaran/Kerusakan per Ha sebagaimana diatur dalam Kepmen KP 81 tahun 2021.

“Pemprov Jatim dan Kementerian Kelautan dan Perikanan harus tegas dalam hal ini sebab kedua perusahaan tersebut selain didenda administrasi sesuai Permen KP no 31 tahun 2021 juga terkena sanksi berupa penghentian sementara, menutup lokasi usaha serta pencabutan atau pembatalan Persetujuan Konfirmasi KKPRL (Pasal 7, Jenis Sanksi Administratif).”

Menurut catatan Laili Aziz, selain BTS yang melakukan reklamasi 3,02 Ha dan Ben Santoso mereklamasi dua lokasi masing masing 1,56 Ha dan 1,6 Ha secara ilegal, terdapat sejumlah galangan kapal lainnya di sisi barat pesisir Bangkalan yang beroprasi tanpa ijin operasional, diantaranya Tri Warako Utama. Demikian pula usaha ilegal Pemotongan Kapal di Desa Tanjung Jati Kecamatan Kamal, serta tambak udang vanamei yang dikelola PT TBAI di Desa Mrandung, Kecamatan Klampis Bangkalan yang mereklamasi laut seluas 3 hektar tanpa ijin dan menebang mangrove secara ilegal.

Statement konsultan menandakan indikasi ‘konsultan plat merah’ memang ada di DLH Jatim.

Sementara hingga berita ini tayang, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jatim, Jempin Marbun, Direktur PT. Bintang Timur Samudra serta Direktur PT Ben Santoso tidak menjawab konfirmasi yang diajukan rekayorek.@tim

Komentar
Loading...