Oleh: Rosdiansyah
MALCOLM X sohor di banyak komunitas muslim di Indonesia. Namanya identik bukan saja dikarenakan ia mualaf, melainkan kisahnya juga mengungkap banyak hal tentang perjuangan warga kulit hitam AS. Namun, siapa sangka jika ternyata nenek moyang Malcolm Xx yang berasal dari Mali, Afrika Barat, yang justru resisten terhadap Islam. Selama berabad-abad, kakek buyutnya di wilayah Bambara, Mali, memeluk agama animisme. Sejak 1815, kelompok Bambara ini mengembangkan pemerintahan sendiri di Kaarta dan Segou.
Sebuah kapal AS yang tiba di Afrika Barat membawa senjata dan amunisi. Barter dan perdagangan barang-barang yang diantaranya ditukar dengan budak menjadi suasana biasa di abad 19 Afrika. Walau sudah ada seruan dari Presiden AS ketiga Thomas Jefferson untuk mengakhiri perbudakan di AS, namun perdagangan budak masih marak. Termasuk memasukkan budak-budak Afrika ke negeri Paman Sam itu. Hajja, kakek buyut Malcolm dari pihak ayah ikut dibawa dari Afrika ke AS. Walau tak jelas, ia di bawa sebagai tawanan perang, terlibat kasus kriminal atau sebab lain. Yang jelas, secara paksa ia dibawa oleh para pelaut AS.
Setiba di Charleston, Kalifornia Selatan, Hajja langsung masuk ke lokasi perbudakan. Suasana kota Charleston memang tak bersahabat dengan Hajja. Sebagai budak, ia tak boleh berpakaian pantas atau menghisap cerutu. Bahkan, ia tak boleh terlihat di jalanan begitu petang tiba. Diantara keterampilan Hajja adalah mengolah kayu. Ia tukang kayu yang mahir. Keterampilan itu menurun ke putranya, Tony. Saat sudah dewasa, Tony menikahi Clarrie. Kelak mereka merawat 22 anak yang diantaranya adalah John, kakek Malcolm.
Dari garis ibu, Malcolm mewarisi darah Nigeria. Kakek buyutnya, Jupiter, asli dari sana. Jupiter lalu menikahi Mary Jane dan pasangan ini mempunyai enam anak, salah-satunya adalah Edith Langdon, nenek Malcolm. Saat kelahirannya, 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, suasana heboh dalam rumah. Ia anak keempat dari pasangan Earl dan Louise. Pada 28 September 1931, saat usia Malcolm masih enam tahun, ayahnya tewas di jalan. Malcolm meyakini Ku Klux Klan di balik tewasnya Earl.
Tragedi itu berdampak pada kehidupan Louise. Ia depresi. Lalu, didiagnosa terganggu kesehatan mentalnya. Louise lantas dikirim ke rumah sakit jiwa. Sedangkan Malcolm dan saudara-saudaranya diadopsi oleh beragam keluarga angkat. Namun, Malcolm kemudian terlibat pemakaian mariyuana, kokaine dan opium saat masih berusia 17 tahun. Keterlibatan ini dan juga perbuatan kriminal lainnya, seperti pencurian dan perampokan, kemudian berujung pidana hingga ia harus merasakan tinggal di hotel prodeo Charleston pada awal dekade ’40-an. Data hasil wawancara aparat dengan Malcolm saat ia masih remaja dan berperilaku bengal menunjukkan bahwa Malcolm acap mengaku sebagai penganut Protestan.
Pada tanggal 28 Februari 1946, tepat di hari yang sama saat pemotretan Malcolm, 566 orang yang dikurung di empat lantai blok sel “memberontak” terhadap administrasi penjara, menuntut para administratur menangani “masalah makanan yang tidak layak, prosedur pembebasan bersyarat yang tidak adil, dan upah. Beberapa kelompok melakukan aksi duduk tepat dekat tempat kerja mereka, sementara tahanan lain menolak untuk kembali ke sel mereka. Namun, Komisaris pemasyarakatan, J. Paul Doyle, berhasil menenangkan ketegangan yang terjadi. Tahanan memang punya hak untuk makan malam yang layak. Malcolm sendiri hanya makan kudapan yang ada. Situasi penjara untuk kulit hitam kala itu memang mengenaskan.
Setelah juru masak tahanan diganti, menu makanan pun berubah. Menjadi lebih sedap. Suasana penjara pun kembali normal. Tamu pertama yang mengunjungi Malcolm adalah Ella, saudara perempuannya. Usai pertemuan, Ella melihat Malcolm masih belum terlihat bertobat. Hari-hari di dalam penjara berjalan seperti biasa. Sohib karib Malcolm, Jarvis, banyak menemaninya. Mereka sering berbagi cerita.
Kemampuan pidato Malcolm pelan-pelan terasah di dalam penjara. Hasil tes psikometer yang digelar dalam penjara pada bulan Mei 1946 memperlihatkan hal itu. Orang yang berjasa kepada Malcolm untuk melihat situasi secara positif adalah John Elton Bembry. Ia tahanan yang dipindah dari Norfolk ke Charlestown. Bersama pria yang akrab disapa ”Bimbi” itu, Malcolm memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman. Termasuk memperbincangkan isi karya-karya Shakespeare.
Masa-masa di dalam penjara bagi Malcolm yang bernama asli Malcolm Little adalah masa pembelajaran. Ia banyak membaca buku, termasuk buku-buku ilmu hukum. Interaksinya dengan tahanan yang lebih tua tapi lebih berpengetahuan dan berpengalaman telah mendongkrak pemahamannya tentang kemanusiaan, sastra, ideologi, bahkan politik. Selama 6,5 tahun sejak 1946, Malcolm mendekam dalam tahanan. Penjara menjadi surga literasi baginya saat ia dipindah ke penjara Norfolk pada Maret 1948. Hampir setahun ia di penjara ini.
Dibanding lapas Charlestown dan MR-Concord, lapas Norfolk jauh lebih baik dalam layanan rohani. Sayangnya, tak ada layanan Islam, meski begitu Malcolm justru tertarik mendalami Islam. Ia berkenalan dengan karya-karya dua filsuf muslim Persia, Omar Khayyam dan Saadi Shīrāz. Ia banyak mengutip untaian kalimat indah dari bait puisi Khayyam atau Shīrāz dalam suratnya kepada saudaranya di luar lapas. Di dalam lapas Norfolk itulah Malcolm menemukan cinta sejatinya pada bahasa.
Dalam suratnya kepada Philbert pada 9 Agustus 1949, Malcolm sudah mengungkapkan kajiannya terhadap Islam dan ia berdoa kepada Allah agar dirinya bisa menjadi hamba Allah. Untuk itu, Malcolm menuntut kepada Maurice N. Winslow, pengawas lapas Norfolk, agar juga ada layanan untuk Islam di lapas. Namun, Winslow mengabaikannya karena menganggap jumlah penganut Islam sangat kecil. Atas saran dari Hilda, saudara perempuannya, Malcolm menulis surat ke Elijah Muhammad pada November 1949. Tiga tahun setelah itu, yakni 1952, Malcolm bergabung ke organisasi Nation of Islam (NOI) pimpinan Elijah Muhammad. Tujuannya, untuk memperluas wawasan keislaman. Dan baru 1964, Malcolm memeluk Islam lalu naik haji.
Ala kulli hal, buku ini adalah hasil riset selama 10 tahun. Penulisnya melakukan penelusuran arsip dan dokumen sangat rinci serta menemui banyak narasumber yang sangat dekat pada Malcolm. Kehadiran buku ini melengkapi beragam literatur tentang Malcolm yang sebelumnya sudah banyak beredar.@
*) Penulis adalah periset