Fraksinasi Plasma
Oleh: Dahlan Iskan
KE MANA Covid-19? Kok seperti tiba-tiba lenyap dari bumi Nusantara? Gorontalo pun mencatatkan diri sebagai provinsi pertama yang nol Covid (Senin kemarin). Dan banyak provinsi lain yang angkanya sudah di bawah 10.
“Covid tidak ke mana-mana. Dan tidak bisa ke mana-mana. Covid masih bersama kita,” ujar Dr dr Monica si pelopor transfusi plasma konvalesen itu.
Saya belum mengucapkan selamat padanyi. Sebulan lalu alumni Unpad/ITB itu diangkat menjadi kepala rumah sakit UKM di Bandung. Anda boleh menyebutkan nama resminya: RS Unggul Karsa Medika. Atau nama tidak resminya: RS Universitas Kristen Maranatha.
Itu memang rumah sakit pendidikan. Sebagai Syarat diizinkannya berdiri fakultas kedokteran di Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
“Di RS UKM, selama awal sampai pertengahan September tidak ada satu pun pasien Covid-19,” ujar Dr Mo. “Saya jadi kepala RS ketika angka Covid sudah melandai,” tambahnya. “Akhir September baru ada lagi satu pasien. Lalu satu lagi,” katanya.
Begitulah. Di mana-mana rumah sakit kembali normal. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Rahayu. Amitohu. “Ruang opname itu sudah kami ubah lagi untuk diisi pasien non-Covid,” ujar Dr Mo.
“Berarti stok plasma konvalesen berlebih?” tanya saya.
“Sekarang ini tersedia cadangan 7.000 bag plasma konvalesen,” jawabnya. Itulah angka yang dia peroleh dari Palang Merah Indonesia (PMI) kemarin.
Melihat perkembangan baru itu dr Monica langsung berpikir lebih ke depan. “Kini saatnya Indonesia mandiri di bidang plasma. Selama ini kita terlalu banyak impor plasma. Boleh dibilang 100 persen impor, ujar Dr Mo.
Caranya?
“Kita harus membangun pabrik fraksinasi plasma. Tinggal beli mesin fraksinatornya. Satu bulan kemudian sudah bisa jalan,” kata dr Mo. “Kita bisa alih teknologi dari Korea,” tambahnya.
Plasma itu bisa dipecah-pecah. Bisa diambil komponen immunoglobulinnya. Bisa juga diambil komponen albuminnya. Dan banyak lagi komponen plasma darah lainnya.
Immunoglobulin, Anda sudah tahu, untuk pasien yang memerlukan perbaikan sistem imun di tubuhnya. Albumin, saya juga tahu, untuk memisahkan air dari darah. Saya pernah menderita kekurangan albumin. Liver saya tidak mampu memproduksi albumin: terkena hepatitis B, sirosis dan kanker hati. Akibatnya air yang saya minum terus terikut di darah. Padahal, setelah tidak digunakan, air itu harus dipisah dari darah. Untuk diproses di ginjal. Lalu dibuang menjadi air kencing.
Selama kekurangan albumin kencing saya sangat sedikit. Badan pun bengkak. Kaki juga membesar. Problem itu langsung teratasi ketika hati saya yang sakit itu diganti dengan hati yang sehat-15 tahun lalu.
“Saya dengar Pak Menteri Kesehatan sudah melangkah ke arah fraksinasi itu,” ujar Dr Mo. “Menkes sudah menunjuk Biofarma sebagai pelaksana fraksinasi plasma,” tambahnya.
Syukurlah. Covid telah bisa mendorong Indonesia untuk memasuki babak baru: mampu memproduksi plasma sendiri. “Plasma itu mahal sekali. Satu botol plasma immunoglobulin bisa sampai Rp 3 juta,” ujar Dr Mo. Demikian juga satu botol plasma albumin. Kita bisa hemat devisa lagi. Juga bisa mandiri plasma. Apalagi kalau juga bisa ekspor.
“Apakah stock plasma konvalesen yang 7.000 bag itu masih bisa difraksinasi?”
“Masih bisa. Apalagi kalau pabrik fraksinasinya bisa cepat dibangun,” ujar Dr Mo. “Kalau disimpan dengan baik, plasma konvalesen itu bisa disimpan sampai 1 tahun,” tambahnya.
Saya pun membayangkan: Indonesia bisa ekspor plasma itu besar-besaran. Alumnus Covid-19 lebih dari 4 juta orang. Sebagian dari mereka bisa terus menerus berdonor. Menghasilkan dolar. Untuk negara. Bukan hanya pahlawan kemerdekaan yang berkorban darah. Juga pahlawan pengisi kemerdekaan.
Tiga bulan lagi. Kalau kita tidak lupa membangun fraksinasi plasma itu. Juga kalau kita benar-benar bisa terhindar dari gelombang Covid ketiga.
Covid masih belum ke mana-mana. Tapi bisa jadi herd immunity memang sudah terbentuk.
Kalau saja kita bisa tahu: berapa banyak penduduk kita yang sebenarnya sudah memiliki antibodi Covid.
Kita hanya tahu dari berapa orang yang sudah vaksinasi. Secara nasional memang baru 46 persen (suntikan pertama) atau 26 persen (suntikan kedua).
Dari angka vaksinasi segitu mestinya herd immunity belum terbentuk. Patokan dari WHO, Anda sudah hafal: 70 persen. Tapi di banyak kota besar persentase itu sudah di atas 80 persen. Jakarta bahkan sudah 120 persen.
Yang masih misterius adalah berapa banyak sebenarnya yang sudah divaksinasi oleh Tuhan. Kita hanya tahu dari angka resmi yang telah melewati test Covid: 4,2 juta orang (sampai Senin kemarin). Kalau saja yang terkena Covid sebenarnya lima kali lipat dari itu, bisa jadi herd immunity sebenarnya sudah terbentuk.
Sayang tes antibodi masih Rp 250.000/orang. Sehingga sulit untuk minta agar semua penduduk menjalani tes itu: untuk mengetahui berapa juta orang yang sebenarnya sudah punya antibodi. Baik karena vaksinasi maupun karena pernah terpapar Covid.
“Hipotesis saya, herd immunity sudah terbentuk,” ujar Dr dr Andani Eka Putra dari Universitas Anda las, Padang. Dr Andani adalah pelopor peningkatan kapasitas lab Covid di Indonesia (Disway 20 Juli 2020).
Hipotesis Andani itu didasarkan pada penyebaran varian Delta yang sangat cepat. “Bulan Juni-Juli adalah penyebaran varian Delta terbesar,” ujar Andani. “Di satu nagari di Sumbar, 75 persen penduduknya demam,” katanya.
Bisa jadi secara tidak dirasakan berat, 50 sampai 60 persen penduduk sudah terkena varian D. “Sekali lagi, itu baru hipotesis. Juga khusus untuk varian D,’ ujar Andani. Itu berarti terbentuknya herd immunity yang ia maksud juga herd immunity khusus varian Delta.
Yang tetap harus di dicermati adalah jangan sampai masuk varian lain yang lebih mematikan. Tingkat kematian varian D hanya 2-3 persen. Itu lebih rendah dari TBC yang sampai 5 persen.
Yang tetap harus di dicermati adalah jangan sampai masuk varian lain yang lebih mematikan. Tingkat kematian varian D hanya 2-3 persen. Itu lebih rendah dari TBC yang sampai 5 persen. Covid-19 tidak ke mana-mana.
Juga belum ke mana-mana.
Kepastian angka juga masih menduga-duga. Berarti: harus tetap waspada.
Setidaknya kita sudah menemukan satu jalan untuk satu jenis ‘balas dendam”: fraksinasi plasma.[]
Sumber: Disway