Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Geisha, Setengah Istri Setengah Pelacur

Geisha bukan pelacur dan juga bukan istri. Geisha menjual keahlian dan ketrampilan bukan tubuh. Mereka tidak dibayar untuk melakukan hubungan seks. Geisha hanya boleh punya hubungan khusus dengan laki-laki yang menjadi dannanya (pelindung) yang menyokong biaya hidup sehari-harinya yang cukup besar. Dengan kata lain, Geisha hanya bisa menjadi setengah istri, yaitu istri-istri di malam hari. Mereka tidak menikah, tetapi bukan berarti tidak boleh punya anak. Cuma, kini Geisha kini kerap diartikan sebagai pelacur dan perusak rumah tangga orang.

REKAYOREK.ID Kyoto adalah sebuah kota yang kental dengan adat istiadat Jepang masa lalu. Tinggal di kota ini seperti kena time sleep. Di kota ini ada kurang lebih 1000 buah kuil. Kota Kyoto tak ubahnya manusia bermuka dua. Bersisi wajah kehidupan masa lalu yang terus dipertahankan, dan kehidupan modern yang terus berkembang.

Di pusat kota, ada sebuah sungai besar yang panjang membelah kota hingga tersambung dengan kota Osaka. Dikenal dengan sebutan ‘Kamogawa’ atau ‘Sungai Bebek’.

Bila menelusuri sungai ini hingga ke pusat kota, maka yang terlihat adalah kehidupan masa lalu. Pusat kota ini dikenal dengan sebutan Kawaramachi Dori. Di sekitarnya ada wilayah bernama Pontocho.

Memang Kyoto merupakan basis Geisha. Tapi di sini juga ada dua desa yang paling bergengsi dan sekaligus distrik yang paling banyak geisha-nya adalah Gion dan Pontocho. Di wilayah ini terdapat ‘Desa Geisha’. Kalau di Tokyo, Geisha banyak ditemukan di Shinbashi, Asakusa dan Kagurazaka.

Di Gion dan Pontocho, geisha lebih dikenal dengan sebutan geiko. Pada akhir abad 20 tercatat ada 10 ribu Geisha, padahal pada tahun 1920-an ada 80 ribu Geisha.

Di wilayah ini berderet rumah makan yang kental dengan nuansa Jepang. Mulai dari bentuk bangunannya, jenis masakannya, bahasa yang dipergunakan, tata krama pelayanannya, semuanya. Ada prestise tersendiri bila menjadi tamu di wilayah Pontocho ini.

Gion Kyoto, tempat bermukimnya para Geisha.

 

Nama Geisha sendiri mempunyai banyak makna yang terkandung dalam huruf Kanji. Geisha bisa bermakna ‘orang yang bisa berkesenian’.

Namun pada perjalanannya, geisha kerap dianggap miring. Geisha seringkali diartikan sebagai ‘pelacur kelas atas’. Pelacur yang hanya mampu dibeli orang-orang kaya. Karena untuk resmi menjadi Geisha dia harus melakukan ritual ‘mizuage’, yakni ritual menjual keperawanan.

Jadi lengkaplah apa yang dipersangkakan orang selama ini.

Kendati demikian, para Geisha tidak mau dikatakan pelacur. Mereka malah berkata, bahwa diri mereka adalah seniman.

“Geisha adalah seorang artis dari dunia yang mengapung. Dia menari. Dia menyanyi. Dia menghibur dengan cara apapun yang kau inginkan,” kata salah seorang Geisha di Kyoto.

“Bagi laki-laki (sang pelindung) Geisha hanya bisa setengah istri. Kami adalah istri-istri di malam hari. Tapi tetap mengenali kebaikan setelah begitu banyak kejahatan,” sambut mereka lagi.

Penghibur yang Memikat

Seorang Geisha adalah gadis yang sangat lembut dalam segala hal. Kostumnya penuh dekorasi seni.Kkelihatannya sederhana dan lucu. Prilakunya tenang, bersinar dan wangi. Gerakanya gemulai dan tidak terburu-buru, terlihat manis secara musikal.

Percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme dan jawaban-jawaban tepat. Cahayanya tidak ada habisnya. Kesederhanannya menjadi contoh. Kepuasannya tidak terukur. Itulah Geisha.

Geisha sudah biasa berkeliaran di Gion, Kyoto.

 

Geisha, bersamaan dengan Puncak Fuji dan bunga cherry, telah menjadi simbol Jepang sejak Jepang terbuka pada dunia Barat tahun 1850-an.

Secara tradisional pemunculannya sangat dikaitkan dengan erotisme, namun seksualitas Geisha tidak secara langsung dijual dan sangat sulit untuk didapatkan. Geisha dianggap semata-mata hanya pelengkap orang yang menemani orang penting dalam lingkaran kehidupan pelacur.

Nama Geisha menempati waktu singkat dalam sejarah Jepang yang panjang. Geisha seperti yang dikenal muncul beberapa ratus tahun yang lalu. Namun demikian wanita ”bertipe” Geisha–wanita yang menghibur dan kemudian menawarkan tubuhnya kepada pria–kembali pada masa awal di Jepang. Tergantung pada tingkat seninya, sensitifitasnya dan kepandaianya, wanita-wanita ini, yang kemudian hari menjadi seperti geisha, bisa menjadi terkenal dan bahkan berkuasa.

Dari abad 12 sampai abad 14 muncul kelompok PSK baru yang disebut Shirabyoshi. Mereka merupakan penyanyi dan penari trampil yang mengenakan pakaian model Shinto dan memainkan drum dan seruling. Sering kali mereka berasal dari keluarga aristokrat yang jatuh dan mereka merupakan hasil dari kehebohan sosial.

Sejak remaja Geisha dididik dengan sangat disiplin.

 

Nama dari beberapa wanita ini telah menjadi legenda. Yang paling terkenal adalah Shizuka, yang menjadi teman prajurit Jepang yang paling dicintai rakyat yang bernama Yoshitsune. Yang lain lagi adalah Kemegiku yang menjadi selir Kaisar Gotoba. Beberapa legenda, hymne dan balada kuno dan tradisi mereka kemudian diambil oleh teater Noh.

Saburuko dan shirabyosi merupakan pendahulu Geisha. Mereka adalah entertainer wanita yang bebas tubuhnya. Namun gesiha tidak mungkin timbul tanpa budaya yang kemudian disebut yujo (pelacur), bunga rumah panas yang tinggal di yukaku, namun hidup dalam kesenangan.

Istilah ”tempat hiburan” sungguh ironis dalam beberapa hal. Sekitar tahun 1600 tempat-tempat tersebut sebenarnya dibentuk seperti ”penjara”. Tempat-tempat itu dibangun untuk melokalisir kebutuhan, prostitusi dan hiburan dari jalanan dan menempatkan mereka pada tempat khusus.

Dalam sejarah tempat hiburan banyak gadis-gadis miskin yang dijual oleh keluarganya yang kurang mampu untuk menjadi pelayan di sana, dan mereka tidak bisa meninggalkan tempat tersebut sampai hutang-hutangnya terbayar lunas.

Pertengan tahun 1800-an, tempat seperti ini muncul di tiga kota besar di Jepang, seperti di Yoshiwara di Edo (sekarang Tokyo), Shimmachi di Osaka, dan Shimbara di Kyoto. Tempat huburan mewah dipenuhi oleh orang-orang kaya, sebuah kelas sosial yang saat itu sedang tumbuh.

Tempat-tempat hiburan dipenuhi dengan hal-hal artistik dan lisensi seksual dimana orang-orang bisa terlepas dari tekanan rezim militer pada saat itu. Tempat hiburan teahouses, dimana yujo menghibur seperti salon yang penuh dengan artis, penulis, aktor dan pegulat, juga dipenuhi oleh para lelaki perkotaan.

Di sini, beberapa pelacur kelas tinggi mendapatkan kedudukan yang tinggi yang disebut tayu atau oiran dan diperlakukan seperti keluarga kerajaan yang dibantu oleh shinzo, kamuro dan pelayan-pelayan lain.

Awalnya geisha adalah pria. Pada permulaan adanya rumah hiburan, mereka berpenampilan sedemikian rupa layaknya sosok wanita. Mereka juga menari, pelawak, menabuh drum dan bermain shamisen.

Ketika geisha wanita mulai muncul sekitar tahun 1750, mereka diarahkan sebagai onna geisha (geisha wanita). Ada kekhawatiran bahwa para geisha ini akan bersaing dengan para yujo bagi para pelanggan dan karenanya ada banyak larangan pada prilaku mereka.

Geisha wanita pertama dari Yoshiwara bernama Kasen. Dia keluar dari profesi sebagai penghibur (entertainer) murni setelah lunas membayar semua hutangnya. Namun karena pengaruh waktu para wanita itu kemudian menggantikan gesiha pria dan sekitar tahun 1800 semua geisha adalah wanita.

Geisha seringkali dianggap pelacur.

 

Geisha awalnya diperbolehkan untuk bebas ke tempat-tempat hiburan. Belakangan mereka diatur menjadi seperti yujo; mereka harus mendaftar, dan tidak diperbolehkan meninggalkan tempat tanpa ijin khusus. Di tempat-tempat tersebut, Geisha yang kurang atraktif yang diperlakukan lebih rendah dari yujo justru lebih disukai.

Namun demikian, geisha yang tidak mempunyai ketrampilan menghibur mulai menghuni tempat-tempat hiburan yang tidak resmi. Para geisha ini atas keinginan mereka menjadi pelacur jenis baru yang disebut sebagai iki. Yujo, pelacur kelas tinggi di tempat-tempat hiburan tersebut sangat kontras dibandingkan geisha karena geisha terlalu berprilaku normal, ketinggalan jaman, menggunakan ornamen yang berlebihan dan dikutuk karena kepura-puraannya. Kadang-kadang Yujo kehilangan seluruh keinginan seksualnya dan geishalah yang menggantikannya, merefleksikan kekuatan baru abad ke-19 saat Jepang memasuki masa modern.

Jual Keperawanan

Seorang Geisha tidak dapat bertahan tanpa memelihara jaringan yang kuat diantara anggota komunitasnya. Apakah hubungan ini merupakan hubungan positif atau negatif, mereka tetap mendukung geisha secara pribadi. Penggunaan nama geisha yang terkenal adalah hal penting bagi mereka untuk menunjukkan jenis dukungan keluarga yang diperlukan.

Keberhasilan seorang geisha bukan hanya karena kecantikannya atau bakatnya tetapi juga karena dukungan “kakaknya” yang bernama Mameha.

Dalam pelatihan karirnya, ada ritual-ritual tertentu yang lazim diajarkan kepada geisha pada masa sebelum perang. Geisha mewarisi pelatihan kehidupan ini dari yujo, yaitu pelacur sebelum mereka.

Seorang Geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh seseorang yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan Geisha.

Seorang Geisha juga harus pandai berdandan.

 

Seorang shikomi harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai kira-kira pada usia 7 tahun.

Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga menyelesaikan tugas-tugasnya.

Sebagai seorang remaja, jika sudah siap, dia menjadi magang geisha, yang di Kyoto disebut maiko dan di Tokyo disebut oshaku. Dia didandani dengan kimono terang dengan lengan panjang.

Dia mulai mengenakan rambut model “belah-persik” dimana rambut di gulungan rambutnya membentuk segitiga kecil. Agar bisa menjadi seorang pemagang, dia harus mempunyai seorang onesan (kakak perempuan) yang bersedia mengajaknya pada tugas-tugasnya sehingga dia bisa belajar melalui minarai (observasi).

Seorang Geisha dan pemagang kemudian pergi ke upacara persaudaraan yang menyerupai pernikahan, saling menukar tiga teguk sake. Hal ini disebut san san kudo.

Seorang Geisha akan menjadi milik seseorang yang menjadi penawar tertinggi mizuage-nya, kehilangan virginitasnya dan menjadi wanita sepenuhnya. Sebuah upacara meneguk sake akan dilaksanakan kembali. Sebagai tanda atas perubahan yang signifikan ini sebuah tanda merah akan ditempatkan di rambutnya. Seperti halnya perubahan untuk pakaian wanita yang terjadi setelah perkawinan orang Jepang, hal ini menjadikan perubahan seorang geisha sebagai bukti untuk dilihat semua orang.

Ketika seorang geisha mencapai status penuh, dia akan eriakae o suru (mengganti tanda di lehernya). Ini berarti bahwa dia akan mengganti bagian warna putih di komino bagian bawahnya dengan sebagian warna merah di bawah pakaiannya.

Dia mengenakanya dengan cara ini ketika dia diperkenalkan. Pada titik ini dia mengganti kimononya dengan model yang lebih sederhana model lengan pendek untuk wanita dewasa.

Mendapatkan status penuh sebagai seorang geisha hampir selalu terlibat penuh dengan majikannya atau danna. Dengan majikannya inilah geisha pertama kali menyerahkan keperawanannya. Jika sudah begitu, maka dia akan memberikan dukungan finansial, bahkan kadang-kadang cukup untuk membuat sebuah rumah.

Hal yang paling menentukan dalam karir seorang geisha adalah keputusannya untuk menikah. Mereka mungkin juga meninggalkan hanamachi dan menjadi istri simpanan sepenuhnya.

Geisha dari masa ke masa.

 

Yah, Geisha bukan seorang istri, bukan pula pelacur. Tapi setengahnya saja. Karena itulah tidak heran jika banyak geisha yang memilih tetap tinggal di tempat hiburan dan menjadi okasan dan mengatur rumah geishanya sendiri. Banyak Geisha yang sesudah pernikahanya gagal atau hancur kembali pada kehidupan sebelumnya yang dirasa paling nyaman.

Betapa menyedihkan dan menyakitkan, ketika semua orang mendapat cinta, tapi geisha justru sebaliknya. Mereka tidak boleh merasakan, tidak boleh mencintai dan memilih. Geisha hanyalah karya seni maha agung yang hidup dalam dunia yang terapung.

Ini bukan kisah seorang raja, ini bukan kisah seorang jendral, ini hanya sebuah kisah seorang geisha yang selamanya hanya menjadi setengah istri, istri di malam hari, yang tak dapat dapat memiliki cinta seutuhnya.

Maha Karya Seni Hidup

Geisha sangat identik dengan gerakan dan melodi. Citarasa Geisha mengkombinasikan warna, harmoni, suara dan gerakan dengan iteligensi dan humor sangatlah luar biasa.

Itulah yang menjadi daya tarik Geisha. Dia menyeimbangkan antara ketulusan kasih sayang dan kesenian. Hal ini terjadi tanpa menafikan bahwa Geisha harus mempunyai sensualitas tertentu.

Ini bukan semata-mata daya tarik seksual, tapi rasa seni yang diciptakan dalam berpakaian dan bahasa tubuh. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas dalam percakapan yang saling memberi dan menerima.

Sebelum menjadi Geisha, mereka harus pandai menguasai berbagai kesenian, salah satunya menari.

 

Seratus limapuluh tahun lalu seorang geisha mengenakan make up terang, komono dengan warna yang kental dan pola-pola sederhana, dengan obi tergantung di punggung. Penampilan geisha yang sederhana adalah bagian dari peraturan yang ditujukan agar geisha tidak menyaingi yujo, tapi malah salah kaprah.

Penampilan Geisha sangat berlawanan dengan yujo membuat yujo tampak ketinggalan jaman. Geisha hanya mempunyai beberapa pin di rambut, sedangkan yujo tampak seperti dikerubuti serangga. Seorang yujo yang ditandai dengan warna perak dan emas dengan naga menghadap ke atas atau ditaruh dimana saja menjadi terlalu membatasi dengan geisha. Geisha menggantikan yujo dengan mepersonifikasikan semangat perubahan revolusioner pada saat itu.

Namun Geisha bukanlah trendsetter model. Mereka hanyalah penegak tradisi, mengenakan kimono setiap hari seperti yang dilakukan oleh hanya sedikit wanita Jepang. Pada kesempatan-kesempatan resmi, mereka tampak seperti yujo yang sudah punah: mengenakan make up tebal dan berat dan mengenakan kimono penuh ornamen.

Geisha masih menjadi model jika berada dalam tempat-tempat yang lebih kecil. Berpakaian adalah bagian dari seni mereka. Hal ini membuktikan bahwa dalam pakaian dan kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka. Geisha masih menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya, berhutang untuk membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru.

Jika dia bisa menampilkan karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya semakin baik. Seorang geisha mencari tamu murni dengan seni yang ada di komononya sebagai pintu untuk memasuki dunianya. Walaupun Gesiha tidak lagi mempengaruhi fashion secara umum, mereka masih terus membuat model baru untuk kimono.

Ada dua jenis Geisha. Geisha yang cantik, yang karena kecantikannya segera mendapatkan jodoh. Mereka pensiun karena kerut. Jenis lain adalah geisha yang tidak tergantung pada kecantikanya namun pada kepandainnya berbicara. Mereka mendapatkan tamu dengan kepandaian kata-katanya. Dia tahu kekuatan anekdot dan seni merayu tanpa menyerang. Di balik senyum dan rasa humornya mereka lebih manusiawi. Geisha jenis ini yang bisa-bisa mempunyai hanamachi di masa tuanya dan lebih banyak dirindukan setelah kematiannya.

Geisha bukan pelacur tapi seorang seniman sejati.

 

Kebanggaan seorang geisha tergantung paga gei atau seninya. Gei merupakan hal penting bagi geisha sejak profesi ini mulai ada, ketika Geisha disewa karena kemampuan menari dan menyanyinya. Sekarang pun tetap sama. Ketika seorang wanita muda menjadi geisha sebagian besar adalah karena kecintaan mereka terhadap musik dan tari tradisional. Sebagai seorang geisha mereka dapat tampil sebagai profesional, bukan sebagai amatir.

Gei seorang Geisha terutama terbentuk dari permainan shamisen dan tari tradisional, namun hal tersebut juga menjadi arah bagi seni tradisional lainnya seperti: kaligrafi, kemampuan menulis puisi, dan jamuan minum teh. Geisha pada masa sebelum perang, yang mengikuti pelatihan yang sangat keras, sangat ahli dalam berbagai jenis musik dan tari.

Kehidupan Geisha telah berubah sejak jaman sebelum perang. Gadis-gadis itu tidak lagi dijual pada rumah geisha. Mizuage (virginitas) adalah masa lalu. Meski banyak orang menjadi geisha karena alasan ekonomi, seorang geisha bebas memilih majikannya dan boleh mempunyai pacar.

Saat ini, para wanita muda bersedia menjadi geisha karena keinginan mereka untuk mengabdikan diri pada tari atau samishen.

Jika saat ini Geisha tetap mempertahankan musik dan tari tradisional Jepang, itu Geisha tetap menjadi harta karun dan tetap menjadi lambang bagi Jepang.[dari berbagai sumber]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...