Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Gus Dur dan Karya Fiksi

REKAYOREK.ID Tidak banyak tokoh seperti Gus Dur yang melahap berbagai jenis bacaan. Kitab kuning, kitab putih, dan juga kitab merah, semua dibaca. Sayyid Qutub hingga Karl Marx menemani hari-harinya.

Menariknya, Gus Dur juga sangat gandrung dengan karya sastra!

Saking sukanya dengan karya sastra, nama putri pertama Gus Dur Alissa Wahid diambil dari tokoh utama novel karya André Gide berjudul La porte étroite. Sebuah novel yang diterbitkan tahun 1909.

Salah satu novelis favorit Gus Dur adalah Chaim Potok, seorang Yahudi. Ia banyak menulis (atau mengkritik?) soal kehidupan kaum Yahudi di lingkungannya. My Name is Asher Lev atau Namaku Asher Lev adalah salah satunya. Novel yang menceritakan pemberontakan seorang “santri” Yahudi.

Asher Lev yang hidup dalam keluarga Yahudi konservatif menabrak norma-norma keluarga untuk menjadi sosok yang diinginkannya. Novel ini sudah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia.

Gus Dur juga membaca banyak karya monumental sastrawan besar dunia. Ia membaca karya-karya Leo Tolstoy, Chekhov, Dostoevsky, John Steinbeck, William Faulkner, Ernest Hemingway, dll. Bahkan The Old Man and The Sea dibaca saat ia nyantri di Krapyak.

Selain sastra Eropa dan Barat, Gus Dur menikmati dan mempelajari sastra Arab di Universitas Baghdad. Dari sastra Arab ini pula gelar sarjana diraihnya. Ia bahkan memetakan periode kesusastraan Arab.

Periode jahiliyah ada Umru Al-Qais, Nabiqhah al-Zubhany, Zuhair Ibn Abid Sulma, ‘Antarah dan Tarafah ibn’ Abd. Periode Islam di abad kedua dan ketiga hijriah memunculkan nama-nama seperti Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidy, Yunus ibn Habib, Al-Mufadhal Al-Haby dan lain-lain.

Gus Dur juga suka membaca karya sastra Indonesia seperti ‘Robohnya Surau Kami’ cerpen A.A. Navis, novel ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ karya Hamka, dan juga karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Dilansir dari alif.id, dalam wawancara di majalah Horison September 1984 tentang sastra Islam, Gus Dur dengan sangat lugas mengulas keterkaitan sastra dan agama beserta perdebatan yang mengiringinya. Ia menyebut beberapa pengarang Indonesia dan pengarang Arab secara bergantian.

Seperti Mochtar Lubis dengan karya Jalan Tak Ada Ujung, Emha Ainun Nadjib, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq al-Hakim (sastrawan Arab), Majid Mahkos dengan Lorong-Lorong Sempit, Mahmod Atas al-Akhad, Al-Ma’ari dan Abu Nuas.

Gus Dur bahkan tidak hanya membaca karya sastranya saja tetapi juga menonton film yang mengangkat karya tersebut. Ia mengkritik dan memuji alih wahana tersebut, seperti yang tertuang dalam esainya yang berjudul “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk”.

Karya-karya sastra yang disebut di antaranya adalah novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Dr. Zhivago, War and Peace, The Stranger dan The Brothers Karamazov.

Pembacaan Gus Dur akan karya sastra sangatlah luas dan panjang terentang.

Hal ini sangat memperkaya khazanah intelektualnya terhadap berbagai bentuk sifat, bentuk dan citra manusia dari berbagai belahan dunia dan lapisan zaman. Tidak mengherankan, apresiasi Gus Dur yang begitu tinggi terhadap kemanusiaan menjadi kunci pemikirannya.

Dunia dan manusia dalam sastra tidak hanya dipandang dua kutub dikotomi yang saling menegasikan seperti hitam-putih, antagonis-protagonis, muslim-kafir, surga-neraka atau halal-haram tetapi spektrum dan dimensi kemanusiaan dalam karya sastra sangatlah beragam dan penuh pergulatan.

Tentu saja, George Orwell dan Salman Rushdie jadi novelis yang dibaca juga. Utamanya karya Rushdie berjudul Satanic Verses yang sangat kontroversial, Gus Dur juga membaca karya tersebut.

Yang jelas, karya fiksi mengajarkan banyak hal pada kehidupan Gus Dur. Karya fiksi juga mempengaruhi dirinya menjadi sosok yang begitu humanis dan berpihak pada kelompok yang dilemahkan.

Komentar
Loading...