Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Hidupkan Makna Maparahu dan Anambangi di Sungai Kalimas, Cara Memahami Sejarah Surabaya

REKAYOREK.ID Siapa yang tidak kenal Sungai Kalimas. Sungai ini sangat legendaris di Surabaya. Sampai sampai ada sebuah lagu legend yang berjudul Balada Kalimas, ciptaan grup musik The Gembels. Lagu ini populer dan sangat Surabayais.

Sungai Kalimas merekam banyak peradaban Surabaya. Dari tahun 1358 diketahui berdasarkan prasasti Canggu bahwa di sepanjang sungai ini sudah ada desa desa di tepian sungai (naditira pradesa). Desa desa itu adalah Gsang (Pagesangan), Bkul (Bungkul) dan Syurabhaya (Surabaya).

Nama nama desa itu tercatat pada prasasti Canggu yang dibuat di masa Raja Hayam Wuruk (Majaoahit) karena desa desa itu berjasa dalam memberikan jasa penyeberangan (anambangi) kepada masyarakat baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan, sosial dan ekonomi.

Saking pentingnya jasa penyeberangan, maka Raja Majapahit, Sri Hayam Wuruk, mencatat dalam sebuah prasasti. Selain tiga desa itu, masih ada lagi desa desa di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo.

Perahu tambangan di Kalimas. Foto: nanang

 

Jasa tambangan adalah penyebabnya. Sekarang di Kalimas Surabaya masih ada jasa tambangan. Letaknya di Kalimas pada ruas Ngagel. Jasa Tambangan ini bisa dikategorikan sebagai peninggalan peradaban Maritim Majapahit. Surabaya masih punya peninggalan peradaban maritim Majapahit itu.

Maka selayaknya Tambangan yang masih ada di Surabaya ini dilestarikan keberadaannya karena Tambangan (anambangi) adalah salah satu dari bentuk teknologi (maritim) tradisional yang masuk dalam kategori Obyek Pemajuan Kebudayaan (IPK) sebagaimana diamanatkan dalam UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Jejak peradaban maritim Majapahit di Kalimas Surabaya. Foto: nanang

 

Menurut Undang Undang Teknologi Tradisional adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang atau cara yang diperlukan bagi kelangsungan atau kenyamanan hidup manusia dalam bentuk produk, kemahiran, dan keterampilan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan dikembangkan secara terus menerus serta diwariskan lintas generasi.

Berbicara cara penyeberangan tradisional maka menambang adalah cara tradisional dan cara ini masih ada di Sungai Kalimas. Sekarang hanya tinggal satu. Yaitu di Ngagel. Seyogyanya peninggalan peradaban maritim Majapahit di kota Surabaya ini dirawat dan dilestarikan sehingga bisa menjadi media edukasi tentang sejarah klasik kota Surabaya.

Sejarah Surabaya tidak hanya sebatas pada sejarah kemerdekaan pada tahun 1945. Tapi masih jauh ke belakang hingga abad ke 13. Sejarah pada pertengahan abad ke 14, tepatnya tahun 1358 M, nyata adanya dan otentik. Prasastinya juga ada yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Kota Surabaya dalam upaya memanfaatkan sungai sebagai aset pariwisata sudah terbilang baik. Tetapi masih perlu didorong untuk pemanfaatannya sebagai media pembelajaran sejarah.

Misalnya di Taman Asrebaya di jalan Ngagel, persis di depan hotel Novotel, di sana sudah ada fasilitas Taman dengan segala pendukungnya. Nyaman dinikmati di saat sore menjelang senja. Malam pun juga menarik. Bersantai dan berwisata di dalam kota, tidak perlu luar kota.

Salah satu fasilitas pendukungnya adalah ada perahu wisata yang mangkal di dermaga. Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya pada Minggu sore (19/5/24) sengaja jalan jalan melihat fasilitas umum Kota Surabaya dalam rangka menuju ke puncak Peringatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 731. Dari kawasan Kota Eropa yang sedang dalam proses revitalisasi, menyisir Kalimas hingga bagian selatan kota. Berhentilah Thony di Taman Asrebaya di Ngagel.

Sayangnya begitu naik ke dermaga dan mengamati fasilitas perahu, ternyata perahu itu tidak dioperasikan. Kondisinya terikat pada ponton.

Hanya sekedar hiasan, tidak menggali sejarah peradaban sungai yang menjadikan nama Surabaya menjadi nama sebuah kota yang kita cintai ini. Foto: nanang

 

“Lho perahunya kok cuma pajangan, tidak difungsikan untuk berperahu (maparahu) maupun menambang (anambangi)”, tanya Thony.

Thony pun mengkonfirmasi ke penjaga kedai di sana. Memang ternyata perahu wisata ini cuma pajangan.

“Iya Pak. Mulai dulu yang seperti itu. Tidak jalan”. Jawab penjaga parkir sepeda motor.

Fakta ini sebetulnya menunjukkan bahwa fasilitas yang disediakan pemerintah Kota Surabaya masih bersifat fisik dan belum mampu menghadirkan esensi makna.

“Di kawasan Kota Eropa terlihat masih bersifat fisik. Di Asrebaya yang langsung bersentuhan dengan sungai juga masih bersifat dekorasi. Mestinya, jika perahu ini dioperasikan maka ada makna cerita peradaban Surabaya. Bahwa sungai ini pada zaman dulu dipakai untuk penyeberangan atau menambang (anambangi) dan berperahu (maparahu). Kalau berhenti begini, kita mau memberi makna apa untuk bisa dipahami oleh generasi sekarang?”, tanya Thony.

Tempat tempat klasik seperti ini juga pantas untuk dipakai menyematkan informasi informasi penting sebelum datangnya bangsa Eropa ke Surabaya.

“Adalah pas ketika obyek yang mengandung cerita klasik Surabaya menjadi etalase cerita klasik Surabaya. Misalnya disana menjadi tempat penulisan Aksara Jawa yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia“, pungkas Thony yang sekaligus sebagai penggerak Aksara Jawa di Surabaya.@nanang

Komentar
Loading...