Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Jalan Guntur dan Jalan Megawati Simbol Romantisme Bung Karno di Surabaya

Diantara peta peta lama Kota Surabaya, salah satunya dari koleksi yang dikumpulkan dari periode 1952-1953, terdapat peta yang sudah menuliskan nama jalan Guntur dan jalan Megawati. Data ini terarsip pada buku “Inventaris Arsip Kota Besar Surabaya 1950 sampai dengan 1957”.

REKAYOREK.ID Pencanangan “Bulan Bung Karno” secara nasional sudah dilakukan di Surabaya, Senin (6/6/2022), yang menjadi tempat kelahiran Sukarno.

Bulan Bung Karno menjadi semangat dalam meneladani spirit Soekarno bagai Bara Api yang menyala nyala. Maka muncullah semboyan “Warisi Apinya, Bukan Abunya”. Apinya memberi terang dan semangat untuk mengisi kemerdekaan guna mencapai kesejahteraan.

Di Surabaya semangat Bulan Bung Karno menjadi pijakan dalam melacak jejak jejak Soekarno sebagai arek Suroboyo. Jejak jejak inilah yang akan digunakan sebagai “api” untuk membakar semangat dan rasa bangga memiliki pemimpin bangsa asal Surabaya.

Sejumlah literasi telah menorehkan kabar bahwa Soekarno lahir di Surabaya. Tidak cuma literasi, tapi jejak jejaknya yang ada di Surabaya telah “berbicara” banyak meski membisu sepanjang masa. Mulai dari jejak kelahiran yang berupa rumah lahir Bung Karno di Pandean IV, jejak rumah belajar kebangsaan di Peneleh VII, jejak sekolah formal HBS di jalan Kebon Rojo, jejak diplomasi di kantor Gubernuran di jalan Pahlawan hingga jejak romantisme keluarga di jalan Megawati dan jalan Guntur.

Jejak romantisme keluarga inilah yang baru dan belum diketahui publik. Bahkan kebanyakan orang belum tahu bahwa ada jalan jalan di Surabaya yang bernama jalan Guntur dan jalan Megawati. Guntur dan Megawati adalah anak Bung Karno. Mereka lahir sebelum tahun 1950. Guntur lahir pada 1943. Megawati lahir pada 1947.

Mengapa ada nama jalan Guntur dan jalan Megawati?

Untuk menjawab itu maka Begandring Soerabaia, sebuah komunitas pegiat sejarah Surabaya, melakukan penelusuran.

Jalan Guntur dan Jalan Megawati berada di wilayah kelurahan Peneleh. Tepatnya berada di luar pagar tembok makam Belanda Peneleh sisi tenggara, dekat dengan kampung plampitan. Ada Plampitan Kalimir. Ada Polack Wonorejo. Plampitan, Wonorejo, Peneleh adalah nama nama lokal yang sudah ada di era Hindia Belanda dan bahkan sebelum Belanda masuk Surabaya pada tahun 1612.

Penelusuran di kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya. Foto: nanang

 

Dari pengamatan kartografi (peta peta) lama, seperti periode tahun 1940 an, nama nama seperti Plampitan, Peneleh, Pandean, Wonorejo sudah tertulis di sana. Tapi tidak demikian dengan nama jalan Guntur dan jalan Megawati.

Pelacakan peta lama Surabaya dilakukan hingga ke Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya. Dari peta lama yang ditemukan, misalnya peta tahun 1930, nama jalan Guntur dan jalan Megawati belum ada.

Bahkan dari sumber sumber lain seperti koleksi Asia Maior juga tidak menampilkan nama jalan Guntur dan jalan Megawati sebelum tahun 1950.

Diantara peta peta lama Kota Surabaya, salah satunya dari koleksi yang dikumpulkan dari periode 1952-1953, terdapat peta yang sudah menuliskan nama jalan Guntur dan jalan Megawati. Data ini terarsip pada buku “Inventaris Arsip Kota Besar Surabaya 1950 sampai dengan 1957”.

Jalan Megawati dan Jalan Guntur tampak pada peta lama. Foto: nanang

 

Peta lama “Peta Kota Surabaja” menunjukkan nama jalan “Djl. Megawati dan Djl. Guntur”. Penulisan masih menggunakan ejaan lama “Djl” kependekan Djalan.

Guntur dan Megawati adalah dua dari lima bersaudara dari istri Bung Karno yang bernama Fatmawati. Guntur lahir pada 1943, Megawati lahir 1947, Rachmawati lahir 1950, Sukmawati lahir pada 1951 dan Guruh lahir pada 1953.

Dari kelima anak dengan ibu Fatmawati, hanya Guntur (1943) dan Megawati (1947) yang dilahirkan di tahun 1940-an.

Diduga penamaan jalan di lingkungan Peneleh dengan menggunakan nama anak anak Soekarno, sehingga muncul nama Djl. Guntur dan Djl. Megawati Dan diduga pula bahwa penamaan jalan ini terjadi pada tahun 1950, sebelum kelahiran Rachmawati pada 27 September 1950 dan yang menamai adalah Bung Karno.

Salah satu peta di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya yang menjadi sumber informasi. Foto: nanang

 

Dugaan ini berdasarkan analisa bahwa pada pasca kemerdekaan, Soekarno pernah datang ke Surabaya seperti pada Oktober 1945, ketika diminta untuk menghentikan tembak menembak antara pejuang Surabaya dan Sekutu.

Kemudian kedatangan berikutnya pada 1951 ketika menghadiri upacara peletakan baru pertama pembangunan Monumen Sepuluh November pada 10 November 1951. Juga tahun 1956 ketika Bung Karno sambang ke kampung Peneleh VII untuk melihat rumah dimana ia dulu mengenal Islam dan rumah yang menjadi sumber ilmu ketika ia masih pelajar HBS.

Diduga ada kedatangan Soekarno lainnya ke Surabaya yang belum diketahui dan belum tercatat atau luput dari pemberitaan. Salah satunya adalah dugaan penamaan jalan Guntur dan jalan Megawati di lingkungan Peneleh pada awal tahun 1950-an sebelum kelahiran anak ketiga, Rachmawati pada 27 September 1950.

Mengapa Bung Karno menyematkan nama kedua anaknya di kawasan Peneleh?

Diduga bahwa penamaan ini sebagai tetenger akan pernah adanya kehidupannya di wilayah Peneleh. Penamaan jalan Guntur dan Megawati, bagi Bung Karno, sebagai pengingat bahwa dirinya adalah arek Suroboyo, lalu disematkanlah nama Guntur dan Megawati sebagai nama jalan di kawasan Peneleh.

Jarak antara lokasi jalan Guntur dan Megawati dengan rumah lahir Bung Karno di Pandean IV adalah sekitar 500 meter. Sementara jalan Guntur dan jalan Megawati bersebelahan. Jalan Megawati lebih panjang daripada jalan Guntur. Panjang jalan Megawati sekitar 70 meter. Sedangkan jalan Guntur lebih pendek sekitar 50 meteran.

Jika dikaitkan dengan tempat lahir Bung Karno yang berada di Pandean, Kelurahan Peneleh, maka nama jalan Guntur dan jalan Megawati yang juga berada di wilayah kelurahan Peneleh, maka nama jalan Guntur dan Megawati ini adalah simbol romantisme keluarga Bung Karno di Surabaya.@nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...