Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Jangan Berguru Pada Terjemahan Al-Quran

Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary, MA

DULU, ketika masih kuliah S.1 di Prodi Pendidikan Bahasa Arab di salah satu kampus perguruan tinggi Islam, ada salah seorang dosen kami yang setiap kali mengajar materi andalan beliau hanyalah mushaf terjemahan al-Qur’an saja.

Tak ayal, dosen kami itu sangat hapal semua letak dan posisi ayat. Namun sayangnya, beliau hanya terkesan mengandalkan terjemahan apa adanya, membaca apa yang tertulis dan tampak saja. Bahkan, nampaknya beliau mempelajari al-Qur’an secara otodidak dari terjemahannya saja, bukan dari referensi tafsir berbahasa Arab, boleh jadi tanpa ada jalur sanad keilmuan sama sekali.

Sampai pada suatu ketika -saya masih ingat waktu itu kami sudah berada di semester 5- beliau masuk di kelas kami mengajarkan mata kuliah Aqidah Akhlak untuk satu semester.

Bermodal mushaf al-Qur’an terjemah itu, dosen kami meminta pada salah seorang teman kami sesama mahasiswa membacakan surah As-Syu’ara ayat 224-225 yang berbunyi:

وَٱلشُّعَرَاۤءُ یَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ. أَلَمۡ تَرَ أَنَّهُمۡ فِی كُلِّ وَادࣲ یَهِیمُونَ

“Dan para penyair itu mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah.” [QS. Asyu’ara: 224-225]

Lantas, dari kesimpulan ayat itu beliau menyatakan bahwa syair, termasuk lirik lagu dikecam oleh al-Qur’an, syair-syair atau puisi menurut beliau dilarang dengan dalil ayat tersebut di atas.

Sebagai mahasiswa yang ketika itu, saya yang belum memahami tafsir yach hanya bisa menerima begitu saja, meski terasa ada yang janggal dan aneh saja pandangan seperti itu.

Alih-alih mau mendebat atau mengkritisi, mengenal Mata Kuliah Tafsir al-Qur’an pun baru di semester yang sama, semester 5.

Apa boleh dikata, namanya juga mahasiswa tingkat akhir yang kepengen lulus dengan nilai terbaik, sebab ada stigma ketika itu, bila berani mendebat dosen, apalagi sampai membuat beliau tersinggung, bisa-bisa tidak lulus, minimal dapat nilai C.. parah ye.. hehe.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketika kami mulai mempelajari mata kuliah Sastra Arab di kampus kami di prog. Pasca Sarjana Institute of Arab League, Cairo, Mesir, akhirnya saya mendapatkan pengetahuan yang lebih terbuka dan kompherehensif tentang sejarah dan khazanah keilmuan sastra Arab serta wawasan tafsir al-Qur’an.

Pemahaman yang dulu disampaikan oleh dosen kami, ternyata tidaklah sesuai dengan fakta sesungguhnya, surah as-Syu’ara bukanlah mengencam dan melarang penyair atau syair secara keseluruhan.

Kecaman al-Qur’an hanya ditujukan atas para penyair-penyair Arab Jahiliyyah yang menggunakan kata-kata puitis indahnya sebagai ujaran kebencian terhadap kaum muslimin sewaktu di Makkah.

Kekuatan pengaruh sastra dalam masyarakat Arab sewaktu itu menyamai peran media mainstream hari ini yang bisa menjadikan corong kekuasaan untuk memprovokasi, mengadu domba, memecah belah, menimbulkan perpecahan hingga peperangan.

Seperti apa yang pernah dosen kami sampaikan dan pahamkan pada kami bahwa al-Qur’an mengecam para penyair dengan kesimpulan bahwa syair atau lirik lagu itu diharamkan di dalil al-Qur’an surah Asyu’ara tersebut, ternyata pandangan itu keliru.

Sejatinya ayat tersebut tidak ditujukan pada semua penyair atau sastrawan. Namun, hanya terbatas pada penyair-penyair Arab Jahiliyyah yang mempergunakan kepiawaian mereka bersyair dalam rangka menyerang Islam, menghinakan, merendahkan, mengolok-olok, membully Rasulullah Saw serta ajaran Islam yang dibawanya.

Adapun diantara Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, salah satunya ditujukan pada penyair musyrikin Mekkah; Umawiyyah bin Abi As-Shalat yang syair-syairnya banyak bernada Hija’ atau satire/sindiran sinis terhadap Rasulullah Saw.

Oleh karena itulah, turunlah ayat tersebut diatas yang mengecam para pujangga Arab yang merintangi dakwah Rasulullah dengan kemampuan mereka dalam membuat kata-kata sastra yang indah dalam hal bersyair atau berpuisi.

Nah, syair atau puisi pada masa itu peran kedudukan dan posisinya sangatlah penting, sama halnya dengan posisi media massa yang bisa saja digunakan dalam rangka untuk menframing pemberitaan demi memutarbalikkan fakta.

Kecaman al-Qur’an di dalam surah as-Syu’ara, ternyata juga dialamatkan terhadap para penyair, seperti Ka’ab ibn Zuhair Ibn Abi Sulma yang dengan kepiawaiannya bersyair justru dipergunakan untuk menerima bayaran dari pembesar Quraisy demi menghinakan dan menyakiti hati Rasulullah Saw.

Atas kehinaan dan pelecehan terhadap harga diri Rasulullah Saw, Allah Swt tidaklah tinggal diam, Allah Swt menurunkan kecaman demi membela dan menenangkan hati kekasih-Nya dengan diturunkan beberapa ayat terakhir surah As-Syu’ara.

وَٱلشُّعَرَاۤءُ یَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ. أَلَمۡ تَرَ أَنَّهُمۡ فِی كُلِّ وَادࣲ یَهِیمُونَ

“Dan para penyair itu mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah.” [Qs. Asyu’ara: 224-225]

Sedangkan bagi para pujangga Arab yang telah memeluk Islam serta mempergunakan kepiawaiannya bersyair dalam rangka membela Rasulullah Saw serta upaya mengcounter setiap serangan dan kecaman dari kaum kafir musyrikin Mekkah, seperti Hasan bin Tsabit tentu saja dipuji oleh al-Qur’an dan dimuliakan oleh Rasulullah Saw.

Fakta lainnya, ketika salah seorang tokoh pujangga eks Arab Jahiliyyah yang dulunya profesi sebagai seniman kata bayaran untuk membully Rasulullah dan kaum muslimin yang telah bertaubat dan menyatakan keislaman, seperti Ka’ab bin Zuhair bin Abi Sulma, akhirnya dia dimaafkan serta diterima baik oleh Rasulullah Saw.

Bahkan, Ka’ab Ibn Zuhair pernah diberikan Burdah kehormatan oleh Rasullah Saw di hari keislamannya dia membuatkan satu syair yang indah memuji kemulian serta ketinggian akhlak Nabi Saw yang masih berkenan menerima serta memaafkan dirinya yang dulunya senantiasa memusuhi Nabi Saw.

Jadi, kesimpulannya bahwa Islam tidak pernah melarang seni sastra, baik dalam bentuk syair, puisi, prosa, lirik lagu atau apa pun yang berkenaan dengan kesenian dan kebudayaan selama tidak menimbulkan kemudharatan dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang penuh dengan nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang.

Justru, jika nilai sastra dan seni itu bernilai dakwah, ajakan ketakwaan atau nasehat-nasehat kebaikan dalam bentuk lagu-lagu religi, misalnya, tentu saja Islam sangat menghargai dan mendorong hal tersebut seni, bukankah al-Qur’an menyatakan:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ

“Ajaklah manusia menuju jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan peringatan yang baik..”

Nah jadi, banyak hal di dalam al-Qur’an, yang tidak bisa kita pahami apa adanya dari sisi terjemahannya saja, jika tanpa melihat dan menelusuri dari tafsir, aspek asbabun nuzul dan aspek semantiknya.

Kuat dugaan saya, apa yang dipahami oleh dosen kami dulu itu -semoga Allah mengampuni kekeliruan beliau dalam memahami al-Qur’an- boleh jadi beliau hanya mempelajari al-Qur’an itu hanya dari sisi terjemahannya saja, bukan dari tafsirnya, apalagi sampai pada pembacaan dan penelahaan kitab tafsir-tafsir yang muktabarah di kalangan para ulama.

Lebih disayangkan lagi, besar kemungkinan beliau hanya mempelajarinya secara otodidak dan pemahamannya tidak didasarkan pada proses belajar dan berguru secara sistematis dan ilmiah.

Jelas, bahwa beliau tidak menggunakan metode penafsiran yang disepakati ulama atau pendekatan analisa keilmuan kebahasaan yang mutlak diperlukan dalam memahami dan menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an.

Kenapa saya perlu ceritakan kisah tentang dosen kami itu, hal ini sebagai salah satu contoh kecil dari fakta bahwa ada saja para pengajar ilmu agama yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama hanya bermodalkan dari al-Qur’an terjemahan saja. Ini hanya contoh bahwa fakta dan realita itu memang ada.

Maka, pesannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memahami al-Qur’an tidak cukup dari terjemahannya saja.

Sebab, nanti kita akan temukan orang-orang yang berpenampilan layaknya ulama mendadak menjadi dai atau ustadz, hanya bermodalkan terjemahan al-Qur’an.

Padahal sejatinya mereka tidak memahami al-Qur’an sebagaimana semestinya, apalagi sampai menguasai keilmuan bahasa Arab yang merupakan persyarat mutlak dalam menafsirkan al-Qur’an.

Boleh jadi, orang bisa saja sangat berpotensi keliru dan memunculkan salah kaprah atau salah paham, jika dia hanya mengandalkan pemahaman al-Qur’annya dari terjemahan saja.

Orang bisa membunuh, menjadi teroris, melakukan aksi bom bunuh diri, hanya disebabkan salah kaprah memahami makna “Al-Qatl” atau ayat-ayat peperangan dalam al-Qur’an.

Padahal kata “al-Qatl” dalam al-Qur’an tidak selamanya selalu diterjemahkan dengan kata “Membunuh” atau “Pembunuhan”. Kata “kafir” tidak mesti berarti keluar dari agama Islam atau non-muslim.

Ada banyak kata yang tidak bisa diterjemahkan dan ditampung maknanya oleh bahasa Indonesia atau bahasa terjemahan dalam bahasa diluar bahasa aslinya, bahasa Arab.

Ada banyak teks dan konteks yang harus dipahami dan saling dikaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Hal itu disebabkan betapa bahasa al-Qur’an itu sangatlah luas dan kaya maknanya, sehingga tidak semua aspek maknawi di dalam al-Qur’an mampu ditangkap dan ditampung oleh bahasa kedua dari terjemahannya saja.

Lebih-lebih, bahasa Indonesia dalam konteks keragamam variasi sinonimnya sangat-sangat miskin dibandingkan dengan kekayaan keragaman variasi kosakata dalam bahasa Arab.

Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, kata “Manusia” saja, ada berapa sinonim dari kosakata itu? Mungkin hanya bisa disebut “Orang” saja. Begitu dalam bahasa Inggris, barangkali hanya ada kata “Human” atau “Man” saja.

Namun, dalam bahasa Arab ada sinonim variatif, seperti jadian kata dari : Al-Ins, al-Uns, al-Insan, an-Naas, al-Basyar dan lainnya yang merujuk pada nama lain dari manusia yang kesemuanya berbeda-beda aspek dan sifatnya.

Dalam bahasa Arab -menurut Fairuzzubadi penulis kitab Al-Qamus al-Muhith- ada 500 kosakata untuk menyebut kata Singa, 200 kosakata untuk menyebut Ular, 80 kosakata untuk menyebut Madu.

Bahkan, diperlukan lebih dari 1.000 kosakata untuk menyebut Pedang. Tak hanya itu, ada 5.644 kosakata untuk menyebut nama Unta dengan segala sifat dan keadaannya.

Jadi, diperlukan kemampuan memahami semantik bahasa Arab yang luas untuk bisa dan mampu menafsirkan al-Qur’an, apalagi sampai mampu berfatwa sendiri dengan menggunakan istinbath ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an.

Jadi, jelas memahami dan berbicara al-Qur’an tidak sangat cukup hanya bermodalkan al-Qur’an terjemahannya saja. Wallahu a’lam.[]

*) Pakar Ilmu Linguistik Arab, Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...