Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kiai Jembatan

Oleh: Emha Ainun Nadjib

SESUDAH nyantri hampir 25 tahun dan hanya diajari ngaji dan ngaji melulu, Sang Kiai berkata kepadanya, “Sudah. Sekarang kamu pulang ke desamu dan bikin pesantren!”

Lelaki ndeso itu kaget… “Lho! Bikin pesantren gimana? Saya tidak bisa apa-apa…,” katanya.

Bikin pesantren itu kan perlu ilmu agama yang mumpuni, perlu modal, metode dan kualitas iman takwa yang prima.

“Pokoknya pulang dah! Bikin pesantren!” perintah Sang Kiai.

Ia pulang, dan tak bikin apa-apa. Bengong saja, di rumahnya yang buruk berlantai tanah, kerja di sawah dan kebun.

Setahun kemudian ia memperoleh warisan hampir 10 juta rupiah. Habis dalam waktu beberapa hari. Padahal di rumahnya tak ada kelihatan perubahan apa-apa. Orang sedesa bingung — untuk apa saja itu duit?

Ternyata ada seseorang yang sedang pailit besar, dan si ndeso itu memberikan seluruh jutaan uangnya untuk menolong Pak Pailit. Ia sendiri tetap melarat.

Pak Pailit inilah yang pertama-tama melihat lelaki itu sebagai seorang yang punya watak dan mutu Kiai, ia berkata kepada setiap anak muda – “Bergurulah kepadanya!”

Mereka pun berdatangan untuk nyantri. “Nyantri gimana? Saya bukan Kiai. Saya tak bisa apa-apa!” jawab sang ndeso. Tapi anak-anak muda itu ngeyel mau ‘ikut’ dia. “Baiklah,” ia berkata akhirnya, “Ikutlah saya kerja di sawah, mengerjakan kebun, memperbaiki jembatan, bikin usaha, tingkatkan keterampilan, sambil shalat bareng-bareng…”

Dalam waktu tak lebih dari tiga tahun, dusun itu berkembang makmur. Nge-baldah thayyibah, nge-qaryah thayyibah. Para santri tak pernah masuk kelas. ‘Kelas’ mereka adalah sawah, kebun, desa, dan di situlah Sang Kiai Jembatan kasih ‘pelajaran’, sambil rumahnya tetap berlantai tanah.[]

Sumber: caknun.com

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...