Teater dan Masyarakat
Oleh: Emha Ainun Nadjib
MASYARAKAT tampaknya harus kita pahami sebagai ‘makhluk’ yang berlapis-lapis.
Sering disebut “masyarakat teater”: itu sebuah subkultur (sub-nya mungkin 2 atau 3 biji), yang lebih memaksudkan para pelaku kosenian teater. Lapis di luarnya mungkin “masyarakat penggemar teater”, yang lebih luas wilayahnya, lebih ragam kecenderungan dan wataknya.
Tapi keduanya adalah lapis wajah terdekat dari makhluk “masyarakat” yang sering ditegursapai oleh kesenian teater.
Jika yang dimaksud dengan subkultur adalah suatu petak dalam bingkai luas kebudayaan masyarakat ‘umum’ — seperti yang dipahami oleh pendekatan-pendekatan ilmu sosial, maka lapisannya sesungguhnya sudah berbeda dengan dua lapisan tersebut di atas.
Dan kalau kemudian kita mengembara ke sisi-sisi lain dari yang diuraikan oleh sosiologi kebudayaan — di mana kesukuan, agama, tahap-tahap perkembangan kolektir, agraris-modern, firstsecond-third wave, hingga posmonya posmo — maka lapisan-lapisan itu akan semakin ragam dan bertumpuk-tumpuk, bersaling-silang dan disiplin pemahamannya beterjangan satu sama lain.
Untuk itu, jika pekerja teater harus senantiasa melakukan tawar menawar sejarah dengan yang disebut “masyarakat” apalagi tawar menawar itu diwajibkan dialogis, demokratis, adil dan berempati — maka anjuran yang paling pantas bagi para pekerja teater adalah ‘upaya’ untuk bingung.
Belum lagi kalau yang disebut “masyarakat” itu ternyata bukan hanya bangsa dan atau komunitas, melainkan juga manusia dan kosmos, semesta. Ditambah lagi oleh penglihatan bahwa ternyata semesta ini justru mikrokosmos ‘di dalam’ makrokosmos manusia; bahkan — untuk pengertian tertentu — masyarakat adalah mikrokosmos yang bergelombang-gelombang kebingungan di dalam makrokosmos yang bernama ‘diri’.
Atau ambil wajah masyarakat yang ke ‘dalam’; masyarakat adalah nurani, adalah ruh, adalah mother of all inspiration. Juga marilah kita jawab apakah Tuhan itu bagian atau anggota atau warga masyarakat ataukah bukan. Sebab Tuhan merupakan tetangga terdekat dari semua lapisan apapun yang bisa kita sebut untuk menjelaskan “masyarakat”.
Percepatan
Seandainya pun lapisan-lapisan “masyarakat” itu sesuatu yang statis, kita sudah cukup pusing. Apalagi ternyata lapisan-lapisan realitas masyarakat itu bergerak, berputar, bergulung-gulung merelatifkan pangkal dan ujung, bergulir-gulir membuat awal dan akhir saling merasa ragu, di saat lain ia berdaur ulang; dan kemudian semakin lama semakin terasa bahwa masyarakat, bahwa peradaban, bahwa kehidupan dan yang disebut sejarah ini, bukan sekedar bergerak melainkan ternyata ia adalah gerak itu sendiri. Bahkan badan ini, darah daging ini, ‘bios’ kita ini, ternyata sekedar simptoma visual dari suatu realitas gerak.
Jadi kalau mau serius digagas-gagas, saya tidak bisa mengukur seberapa percepatan yang dibutuhkan oleh kesenian teater untuk terus menerus menyelenggarakan proses tawar menawar dengan yang bernama “masyarakat”.
Dunia teater dikepung oleh seribu gerak dan tergerak-gerak di dalam gerak-gerak yang bergerak. Dunia teater dituntut memiliki seribu mata untuk mampu jernih memandang gerak perubahan “masyarakat” yang berlapis-lapis itu dan yang setiap lapisannya memiliki percepatan gerak sendiri-sendiri.
Dunia teater dikepung oleh gerak perubahan zaman, gerak perubahan nilai, gerak perubahan sejarah, gerak perubahan politik, gerak perubahan kebudayaan, gerak, gerak…yang bagaikan lebih tak tertangkap lagi tatkala mata ultra-akademik memecah-mecah setiap lapisan itu menjadi sub-sub-sub-lapisan.
Kemudian di setiap lapisan dan pada keseluruhannya terdapat ornamen-ornamen — yang juga bergerak: apresiasi seni masyarakat, Depdikbud, TV swasta, pelestarian seni, penindasan dan penembakan rakyat, industrialisasi, lapangan golf, hipokrisi atas Pancasila, antar hakim pukul-pukulan, teknologi informasi, posmo, wastafel Afrizal Malna, kenakalan remaja, G.30.S, Habibie, Nipah… Mas/Mbak Teater, apa yang terucap dari mulutmu? Apakah engkau adalah bagian dari itu semua? Sehingga itu semua juga merupakan bagian darimu? Bagian dari proses ciptamu? Bagian dari keprihatian kemanusiaanmu? Bagian dari tema-tema diskusimu? Bagian dari acuan untuk eksplorasi latihan-latihanmu? Bagian dari pementasanmu?
Sudah tidak bisa lagi engkau berkata “Kuabdikan diriku total untuk teater” jika yang kau maksud dengan ‘teater’ adalah bukan segala sesuatu yang kusebut-sebut barusan itu. Sudah tak mungkin lagi engkau menyatakan “aku tidak berpolitik”, “aku bukan intelektual”, “aku bukan birokrat” — karena acuan yang engkau pakai untuk melahirkan pernyataan semacam itu adalah ‘tata administrasi’. Seniman sudah bukan seniman lagi: ia adalah manusia, ia adalah penyangga “masyarakat” yang maha luas. Sudah tak mungkin lagi engkau menerus-neruskan anggapan bahwa harga bawang adalah ‘bukan teater, bahwa serdadu centeng itu ‘bukan teater’, bahwa orang bersujud itu bukan teater, bahwa kesenjangan sosial itu bukan teater, bahwa piramida ketidakadilan sosial itu bukan teater, bahwa, bahwa, bahwa….
Negarawan Teater, Bangsawan Teater
Yang dibutuhkan oleh kesenian sekarang ini bukan lagi sekedar sutradara yang terampil, aktor yang andal serta pekerja mumpuni sisi-sisi lain dari teater. Yang diminta oleh zaman (baca: “masyarakat”) adalah kepemimpinan di dalam dunia teater yang memiliki kesanggupan, kewaskitaan dan keberanian untuk menentukan ruang waktu dan arah gerak ke mana untuk apa kenapa dan bagaimana keterampilan itu, keandalan itu, kemumpunian itu dipakai di dalam gerak sejarah manusia. Dunia teater perlu memiliki kemampuan untuk menertawakan diri di bawah kungkungan langit-langit bilik sempitnya sendiri yang ia lukisi sendiri dengan gagasan-gagasan over-subyektif yang ia kagumi sendiri.
Kepemimpinan yang saya maksud mungkin untuk sementara bermuara pada pembenahan kembali filosofi berteater, penjernihan kembali idealisme berteater, penguakan kembali cakrawala wawasan keluar dan ke dalam dunia teater secara berdenyut dan berdialektika, serta tindakan becermin kembali tidak saja secara kultural, melainkan barangkali juga secara spiritual.
Dalam hal ini saya bingung pada istilah “bangsawan” dan “negarawan”. Kalau saya pakai idiom “negarawan teater”, menjadi lucu, karena ‘teater yang dijejerkan dengan ‘negara’ menjadi sebuah lukisan surrealis. Tapi kalau saya pakai istilah “bangsawan”, artinya kok ‘priyayi’, aristrokrat. Padahal “bangsawan” mestinya — jika kita reset dari bias konotatifnya selama ini lebih mengandung maksud wawasan dan kearifan kebangsaan — substansi yang justru dikandung oleh kata “negarawan”.
Padahal yang saya maksud adalah kebutuhan dunia teater masa kini terhadap kepemimpinan kenegarawanan (:mestinya kebangsawanan), bahkan kepemimpinan kemanusiaan, atau kepemimpinan kehidupan dalam arti yang seluas-luasnya.
Atau ambil simplifikasinya saja: Apakah pusat perhatian atau concern hidup masyarakat adalah juga pusat perhatian atau concern dunia teater? []
Sumber: caknun.com