Mafia Pelabuhan, Ketidakpercayaan Terhadap Pengaturan Sistem
Oleh: Arief Putranto
PEMBERANTASAN praktik-praktik mafia di pelabuhan menjadi sorotan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Hal ini terungkap dalam Forum Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di channel Youtube 11 Nopember 2021.
Dalam acara bincang Stranas PK tersebut dibuka oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, mengambil tema ‘Memangkas Waktu dan Biaya Logistik di Pelabuhan’.
Sasaran Stranas PK sesuai tema tersebut dalam hal ini di 10 Pelabuhan dengan 3 fokus penindakan praktek-praktek korupsi
pada perijinan dan tata niaga, pengelolaan keuangan negara dan reformasi birokrasi.
Yang tidak bisa dihindari adalah mafia pelabuhan. Pertanyaannya, apa dan siapa itu mafia pelabuhan?
Istilah mafia ini sudah sering dipakai di era Pemerintahan Jokowi mulai dari mafia migas, mafia tambang, mafia pangan dan seterusnya. Hanya saja, istilah mafia yang telah menjadi jargon tersebut memiliki piranti yang dapat menyajikan data beserta implementasinya dan dapat diakses dan diinteraksikan khalayak luas, terutama para pegiat niaga laut baik negara maupun swasta.
Dalam hal ini Inaportnet menjadi piranti utama berbasis online dalam mengintegrasikan Sistem Transportasi Laut dengan Sistem Logistik yang outputnya diharapkan dapat berkesesuaian dengan waktu dan biaya logistik di Pelabuhan dan terintegrasi ke sistem besar bernama INSW (Indonesia National Single Windows).
Mengulik Pahala Nainggolan selaku Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK dan juga selaku Sekretaris Tim Nasional Stranas PK, bahwasannya rencana aksi terkait kerja-kerja di lapangan diakuinya berdasarkan identifikasi.
Namun menurut Pahala Nainggolan, masih ada ruang-ruang untuk perbaikan, percepatan dan efisiensi yang secara langsung dapat mencegah korupsi.
Dalam rencana aksi tersebut memang ditujukan untuk kepentingan stakeholder atau pengguna jasa di pelabuhan yang nantinya dapat membuat aturan main bersama yang kesesuaiannya terintegrasi dengan sistem-sistem digital berbasis online yang ada di masingmasing kementerian atau lembaga dengan target capaiannya sampai akhir tahun 2022 yaitu memangkas waktu dan biaya di pelabuhan.
Ada indikator dalam praktik-praktik mafia di pelabuhan sebagai penyebab biaya logistik 26% dari Produk Bruto Nasional yang terbilang cukup tinggi di dunia, meski rangking Indonesia dalam skala logistik negara-negara di dunia sangatlah relatif untuk
menjadi perdebatan semata.
Sedangkan penerapan Inaportnet di Indonesia baru berjalan pada kisaran tahun 2016-2017 yang pastinya sudah barang tentu terdapat kelebihan dan kekurangannya.
Namun, apakah kemudian dapat menjadi pembenaran bagi Pemerintahan Jokowi dengan jargonnya Memberantas Mafia Pelabuhan? Ataukah jargon tersebut hanya bentuk “playing-victim” Pemerintahan Jokowi bahwasannya Inaportnet sebenarnya tak beda jauh dengan program ”Penipuan” berbasis online, seperti pinjaman online dan prostitusi online.
Padahal jargon-jargon yang diusung Pemerintahan Jokowi bukan berarti tak beralasan. Sebab semua dilakukan demi menunjang kemudahan berusaha bagi masyarakat. Namun untuk menunjang perekonomian baru di daerah-daerah yang sangat membutuhkan investasi diperlukan kepercayaan investor sebentuk nilai atay biaya logistik yang rendah.
Sayangnya, sistem-sistem digital berbasis online yang telah berjalan di pelabuhan selama ini justru membangun sentimen yang tak berkesesuaian dengan implementasi di lapangan. Kurangnya transparansi, akuntabilitas dan efisiensi merupakan bagian utama dalam pengaturan sistem yang berjalan.
Hal ini ditandai dengan Belum lagi penambahan alokasi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di sektor-sektor administrasi kementerian atau lembaga yang justru menambah beban biaya bagi bagi pengguna jasa di pelabuhan. Itu masih belum termasuk karantina kesehatan maupun pertanian.
Jadi, terkait transparansi, akuntabilitas dan efisiensi telah berjalan dari sistem transportasi baik dengan Inaportnet, Simlala, Sinarkes maupun Vasa. Kendati demikian, sistem transportasi terintegarasi dengan sistem logistik, berdampak pada sentimen berbiaya tinggi. Inilah bentuk yang disebut “penipuan” berbasis online di pelabuhan.[]
*) Penulis adalah Praktisi Kebijakan Pelayanan Publik di Pelabuhan