Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

PSIKOLOG MURTAD

Oleh: Anggie D. Widowati

Dengan wajah cerah Eliana merebahkan tubuhnya di kasur. Ini hari kedua liputan kongres partai itu di Bandung. Kota yang begitu menyenangkan karena banyak destinasi wisata dan tempat shopping yang beragam.

Teman sekamarnya, Ririn sudah pulang ke Jakarta lebih dulu, karena dia reporter televisi, dia tidak stay di Bandung. Pas acara menutupan nanti baru datang lagi ke Bandung.

Kongres sedang berlangsung, dia bersantai karena berita pagi ini sudah terkirim. Para wartawan yang menginap di hotel itu juga sudah jalan ke tempat idolanya.

Dibukanya telepon genggam dan dicarinya tempat-tempat indah untuk menongkrong. Pagi menghangat, sepertinya secangkir kopi cocok untuk menemani.

Segelas moccachino dingin sudah ada di hadapannya. Pagi tadi sudah sarapan di hotel, tetapi belum mengopi, karena Elly ingin mengopi di luar. Sekalian berbelanja, uang saku untuk liputan lima hari ini lumayan.

“Eliana,” seseorang menyapa.

Wanita itu menoleh. Seorang laki-laki berdiri di antara deretan meja kayu yang rapi berjajar. Dia mencoba mengingat-ingat wajah itu.

“Guntur?”

“Iya, kirain lupa,” laki-laki itu berjalan ke arahnya.

Rambutnya panjang, diikat di belakang. Tapi wajahnya tenang, sama seperti dulu. Meskipun tubuhnya pendek, hampir setinggi dia, Guntur terlihat memesona.

“Boleh?” Guntur menunjuk kursi kosong di depan Eliana.

“Boleh.”

Perbincangan pun mengalir karena mereka dulu satu universitas, meskipun beda fakultas.

“Kamu meliput kongres? Bukannya kamu seorang psikolog?”

“Ceritanya panjang. Kamu sendiri, masih aktif di organisasi?”

“HMI adalah organisasi terakhirku, sekarang tak ada waktu. Pindah-pindah kota, tergantung proyeknya.”

“Cocok, teknik sipil-mu kepakai kan.”

“Iya.”

“Aku sudah murtad dari psikologi.”

*

Sebagai teman sekampus, mereka bertemu di organisasi intra kampus, Senat Mahasiswa. Guntur ketua dan Elly salah satu anggota Sema universitas itu, mewakili fakultasnya. Selain di Sema Guntur juga aktif di HMI.

Eliana aktif dalam beberapa organisasi termasuk biro psikologi di fakultasnya yang dikelola oleh dosen dan beberapa mahasiswa magang. Disinilah cerita itu bermula.

Anak SMA itu bernama Yudi. Suatu hari dia datang ke kantor biro dan bertemu dengan Eliana. Mengobrollah mereka sambil menunggu dosen yang berjaga pada hari itu. Waktu itu ada beberapa mahasiswa tapi malas menghadapi Yudi yang tampangnya seperti berandalan.

Eliana membiarkan anak itu menceritakakan masalahnya. Meskipun berdebaran hatinya karena ini adalah pertama kali dia menemui klien yang berkonsultasi. Selesai mengobrol Yudi pulang. Dan Eliana membuat laporan untuk biro.

Besoknya Yudi datang lagi. Eliana sedang ada kuliah dan hari itu tidak piket di biro. Namun Yudi bersikeras bertemu dengannya. Dan anak itu menunggunya sampai selesai kuliah.

Setelah bertemu dengan Eliana Yudi pulang. Eliana berpesan agar dia membuat janji dulu, tidak boleh main paksa untuk bertemu dirinya. Dia pun memberikan nomer telepon kos-kosan dan nomor telepon paralel biro.

Memberikan nomor telepon kos-kosan itu menjadi awal kesalahannya. Yudi rajin menelpon untuk menemuinya. Kos-kosan menjadi terganggu karena ulah Yudi. Apalagi kos-kosan itu adalah rumah biasa yang pemiliknya pun tinggal disitu.

Karena kesal, pemilik kos-kosan mencopot nomor teleponnya. Yudi mulai menelpon kampus. Tetapi karena harus melewati operator dia tidak bisa dengan mudah mencari Eliana.

Anak itu kembali mendatangi biro, tanpa janjian. Dia tak mau bertemu yang lain, tetapi hanya mau berkonsultasi dengan Eliana.

“Kamu harus hadapi, kamu harus bisa membedakan dirimu sebagai teman atau sebagai seorang profesional,” pesan dosennya, waktu Yudi datang.

“Iya bu, dia mulai posesif.”

“Kamu pasti bisa,” kata dosen itu.

Eliana menemui Yudi. Wajah bocah SMA itu seketika berseri-seri. Eliana bersikap wajar saja karena ingat pesan dosennya.

“Aku mulai mabuk lagi kak,” kata Yudi.

“Mabuk.”

“Iyaa, hanya disinilah hatiku menjadi tenang, tidak ada yang mengataiku, menuduhku, dan seenaknya padaku.”

“Ada yang membullymu?”

“Iyaa, kakak maupun orang tuaku.”

Eliana merasa kasihan pada bocah itu. Selama berkonsultasi dengannya, Yudi selalu mengeluhkan orang tuanya yang jahat dan pilih kasih.

“Masih untung aku tidak narkoba.”

“Kamu pernah?”

“Belum, tapi semalam aku mabok, telepon kakak di kos nggak bisa. Jujur aku mencintaimu Kak.”

“Yudi itu tidak boleh.”

Yudi masih terus mengejarnya, dan mengatakan hal-hal yang menimbulkan rasa kasihan gadis itu. Rewel dan memaksa Eliana terus menemaninya mengobrol. Bahkan dia mulai mendatangi kos-kosan. Menunggunya di teras sampai Elly pulang dari kampus.

*

“Aku trauma,” katanya pada Guntur.

“Akhirnya bagaimana?”

“Aku keluar dari biro, pindah kos-kosan dan ke kampus kalau kuliah saja. Selebihnya aku sembunyi di kantor Sema Universitas.”

“Oh jadi kamu rajin di SEMA karena itu? Tapi kau tak pernah cerita soal Yudi.”

“Itu salah satunya, karena bukan hanya Yudi yang memburuku tapi ada beberapa.”

“Itu artinya kau psikolog yang hebat.”

“Mestinya aku bangga.”

“Kau sudah membuat mereka tergantung.”

“Itu jeleknya aku. Tiap klienku menjadi tergantung padaku, posesif.”

“Jadi itu, penyebabnya?”

“Ya, aku tak mau jadi psikolog lagi. Lebih baik aku jadi wartawan.”

“Baiklah itu pilihanmu.”

“Aku ini psikolog murtad, haha.”

“Hahaha.”

Setelah ngopi Guntur mengajaknya melihat-lihat kota. Hari itu sungguh membuatnya bahagia. Bukan karena bertemu Guntur saja, tetapi hari itu seakan mengukuhkan diri, bahwa dia adalah seorang psikolog yang sudah murtad.

Lega rasanya bisa mencurahkan uneg-uneg yang bertahun-tahun dipendamnya.

Jakarta, 17 November 2021

Komentar
Loading...