Laskar Banaspati Watugaluh
Oleh: Agung Purwantara
Matahari tampak berwarna merah. Kelelawar dan Kalong (sejenis kelelawar raksasa) mulai keluar dari persembunyiannya. Bangkit dari tempat tidurnya yang terletak di gua-gua dan pohon-pohon raksasa.
Langit bertambah gelap. Binatang-binatang malam sudah mulai berkeliaran. Daun-daun yang hijau tampak semakin hitam. Gelap. Pohon-pohon besar terlihat seperti makhluk ghaib yang menakutkan. Ranting-rantingnya seperti tangan hantu yang menggapai-gapai.
Sungai Andaka terlihat gagah. Airnya yang melimpah mengalir deras. Seperti ular naga yang sedang tertidur nyenyak. Atau sedang menunggu mangsanya. Terlihat angker dan menyimpan rahasia yang menakutkan.
Gerumbul perdu yang tumbuh di tanggul pun seperti hantu-hantu cebol. Kadang-kala bergerak diterjang angin malam seperti hantu-hantu cebol yang bersorak. Gemerisik. Kadang mendesis seperti ular. Suara yang ditimbulkan bias membuat gentar manusia yang penakut.
Dalam suasana malam yang mencekam, seratus bayangan terlihat berkelebat. Bukan bayangan pepohonan tetapi seratus manusia yang berjalan dengan cepat. Kadang berlari kecil, kadang kencang. Sesekali melompati gerumbul-gerumbul perdu yang menghalangi jalan. Sesekali mereka berhenti, berlindung dalam bayangan pohon yang besar atau batu-batu padas sebesar kerbau.
Seratus bayang-bayang itu merupakan orang-orang yang berpakaian serba hitam. Mereka masing-masing membawa senjata berupa pedang, busur dan anak panah. Namun mereka tidak membawa umbul-umbul atau tanda kebesaran dari sekelompok prajurit.
Sebenarnya, seratus orang itu adalah prajurit pilihan dari kerajaan Watugaluh. Namun sengaja tidak memakai tanda keprajuritan. Karena mereka sedang melakukan gelar dom sumurup ing banyu, gelar perang telik sandi. Dan melakukan perang gerilya melawan prajurit dari kerajaan Melayu, Sriwijaya.
Sebelum tengah malam, mereka harus sampai di hutan Rejasa. Sebab besok sebelum matahari terbit mereka harus menyamar menjadi orang lain. Ada yang menyamar menjadi tukang kayu, pencari rumput, atau orang yang sedang berjalan-jalan asal tidak terlihat sebagai prajurit. Sebelum senja mereka harus sampai di pinggir daerah Loceret. Mereka berangkat sendiri-sendiri, ada yang langsung ke selatan. Ada yang memutar ke barat. Mereka akan berkumpul di tepian sungai tanjung.
“Ki Lurah, ini sudah tengah malam. Kita sudah sampai di hutan Rejasa,” bisik seorang prajurit.
“Iya, Ki Bekel. Sekarang perintahkan para prajurit telik sandi untuk beristirahat. Tidak usah mendirikan tenda, cukup berlindung di balik gerumbul atau di dahan pohon,” sahut seorang yang bertubuh gagah perkasa yang ternyata adalah lurah prajurit yang sedang dalam tugas itu.
“Siap!” Bekel prajurit itu segera memberikan perintah kepada para prajurit untuk beristirahat. Selama beristirahat harus tetap waspada karena mereka sedang melaksanakan tugas sebagai prajurit telik sandi.
Lurah prajurit itu kemudian melangkah ke sebuah batu padas sebesar kerbau yang sedang duduk. Ia merebahkan badannya bersandar pada batu padas itu. Bekel prajurit yang tadi diperintahkannya dating mendekat dan ikut duduk di sebelahnya.
“Seberapa banyak prajurit Sriwijaya yang berkemah di Loceret, meskipun banyak mereka semua pasti kelelahan karena berjalan dari Mataram sampai ke Brang Wetan. Kemudian mereka harus membangun barak-barak prajurit,” Lurah prajurit itu mengguman.
“Iya, Ki Lurah. Tugas kita menjadi telik sandi, kalau bias membuat kerusuhan untuk melemahkan prajurit Sriwijaya,” Bekel menyahut pelan.
“Iya, Ki Bekel. Sekarang kita harus beristirahat. Besok pagi kita akan berpencar, namun harus berkumpul di tepian sungai Tanjung sebelum senja,” kemudian, “Sudah. Mari kita tidur.”
Sunyi senyap. Para prajurit tenggelam ke dalam angan-angan masing-masing. Langit gelap pekat. Mendung menggantung di langit. Suara binatang malam terdengar bersahut-sahutan. Kadang terdengar suara sang raja hutan mengaum hebat, menggetarkan hutan Rejasa. Namun seratus prajurit itu tidak gentar. Semua sudah siap menghadapi kemungkinan apapun bahkan menghadapi maut di ujung senjata lawannya esok pagi.
***
Pegunungan Wilis tampak gagah. Loceret adalah sebuah daerah di kaki gunung Wilis sebelah utara. Daerah ini merupakan daerah yang subur. Sawah Nampak hijau menghampar. Rakyatnya makmur tidak kekurangan sandang, pangan dan papan. Daerah ini sangat jauh dari kekuasaaan Mataram Hindu, juga jauh dari Watugaluh. Tetapi di daerah ini kedatangan prajurit Sriwijaya yang akan menyerbu Watu Galuh.
Sebelumnya, Kerajaan Mataram di Jawa Tengah hancur diterjang bencana gunung Merapi. Juga kocar-kacir diserang kerajaan Sriwijaya. Sebagian besar melarikan diri ke Brang Wetan, Jawa bagian timur.
Empu Sindok, menantu dari Ratu Wawa, mendapat perintah dari Raja Mataram itu untuk memepimpin perang melawan Sriwijaya. Akibat letusan gunung Merapi yang dahsyat dan kemudian di serang Sriwijaya, Empu Sindok berpindah dan membawa sebagian besar pengikutnya menuju ke timur. Pelarian Empu Sindok sampai di tepi sungai Andaka, di daerah Watugaluh kemudian mendirikan sebuah kerajaan di sana.
Prajurit Sriwijaya mendapat perintah dari Dapunta Hyang untuk menaklukkan kerajaan yang ada di Jawa. Oleh karena itu, sekarang prajurit Sriwijaya membangun landasan di Loceret. Dari sini mereka akan menggapai jantung Watugaluh dan menangkap Empu Sindok.
Seribu prajurit Sriwijaya itu mendirikan barak di Loceret. Sungguh dibutuhkan sebuah barak yang besar dan luas agar dapat menampung ribuan prajurit itu. Barak itu luasnya kira-kira sepuluh ribu tombak. Sudah banyak tenda atau gubuk-gubuk kayu yang berdiri. Selain untuk tempat istirahat, gubuk-gubuk itu juga berfungsi untuk sanggar pemujaan, atau sanggar tertutup untuk latihan kanuragan. Juga ada yang berfungsi sebagai dapur umum untuk menyediakan makanan bagi seribu prajurit itu.
Namun, Empu Sindok bertindak cepat. Sebelum prajurit Sriwijaya itu mencapai Watugaluh, dikirimnya sekelompok prajurit untuk menyelidiki dan melakukan gangguan di barak prajurit Sriwijaya. Bila mereka sudah lemah, pasukan inti Watugaluh akan menyerang langsung.
***
Menjelang pagi di daerah hutan Rejasa. Seratus prajurit Watugaluh satu persatu berjalan menuju arah selatan. Mereka menyamar sebagai orang lain. Ada yang menyamar sebagai tukang rumput. Ada yang berpura-pura menjadi tukang kayu. Ada yang menjadi orang yang mencari pekerjaan. Ada yang menyamar menjadi seorang Ki Ajar atau guru dari sebuah padepokan. Mereka semua menuju satu tempat, yaitu tepian sungai Tanjung, meskipun mereka mengawali dari arah yang berbeda.
Sungai Tanjung terletak di sebelah utara Loceret. Namun hulu sungai itu berada di gunung Wilis. Sebelah selatan Loceret. Badan sungainya juga melintasi sebelah barat Loceret menuju utara kemudian melingkar ke timur. Sungai Tanjung itu adalah badan sungai yang melingkar menuju timur.
Dari Loceret, tepian itu tidak seberapa jauh. Di pinggir sungai terdapat hutan kecil namun cukup lebat. Sehingga cocok untuk tempat persembunyian. Di sanalah mereka akan membuat landasan kecil untuk melancarkan serangan gerilya ke barak prajurit Sriwijaya.
Hutan kecil itu jauh dari perkampungan. Namun terkenal sebagai hutan yang angker. Begitulah orang-orang sekitar mempercayainya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hutan itu sebenarnya adalah keraton lelembut. Paling banyak penghuninya adalah hantu apai atau yang mereka sebut sebagai Banaspati. Orang yang apes dan bersentuhan dengan Banaspati akan mati dalam keadaan seperti terbakar. Karena kesan keangkeran dan cerita yang menakutkan hutan itu dijauhi oleh orang-orang sekitar.
Menjelang senja. “Suta, kita beristirahat sebentar sambil menunggu yang lain datang!”
“Iya, Ki Bekel!” Orang yang membawa keranjang bambu sebagai tempat rumput itu menyahut.
Kemudian dua orang itu bersandar di sebuah pohon kepuh yang sangat besar. Beristirahat sebentar sambil menunggu prajurit yang lain. Semilir angin senja membelai kulit yang berkeringat. Suara gemericik air sungai menambah sejuk suasana.
Ketika sedang menikmati suasana sejuk, tiba-tiba terdengar suara mendesing. Sebuah anak panah melesat kemudian menancap di pohon tempat mereka bersandar. Dengan sigap Ki Bekel mencabut panah tersebut. Dia menemukan selembar kulit kambing yang di ikat di batang anak panah. Sebuah surat rupanya.
Sebuah tulisan tertera: Prajurit Watugaluh, aku wakil dari rakyat Loceret dan sesepuh desa-desa di sekitar Loceret. Kami semua bersedia membantu perjuangan prajurit Watugaluh mengusir prajurit dari seberang yang sekarang menduduki wilayah kami.
“Hai! Siapa kamu? Keluarlah kalau memang dirimu kesatria!” Ki Bekel berteriak dengan suara keras.
“He, prajurit Watugaluh! Apa boleh aku bersama yang lain membantu kalian?” Terdengar suara lirih tetapi seakan menggema di telinga. Suara itu seakan melingkar-lingkar di dalam hutan sehingga sulit diketahui sumber suara itu berada. Ki Bekel dan Suta mencari sumber suara itu, namun suara itu seakan memang menggema melingari hutan itu.
“Suta, jangan-jangan dia hantu hutan ini?” Ki Bekel berbisik lirih. Suta mengangguk tetapi dia tidak percaya kalau orang yang berbicara itu hantu.
“Ini seseorang yang mempunyai aji gelap ngampar, Ki Bekel,” Suta waspada.
“Bukan, Ki Bekel,” suara itu kembali terdengar, “Aku bukan hantu hutan ini. Aku adalah salah satu penduduk Loceret yang ingin membantu kalian. Aku tinggal di Tritik, wilayah pinggir hutan sebelah barat Loceret. Dulu daerah ini aman tentram. Kedatangan prajurit dari seberang yang memburu Empu Sindok itu mengubah kehidupan kami. Sekarang perempuan-perempuan takut ke sawah. Anak-anak pun takut bermain di halaman. Kami harus menyediakan bahan makanan untuk para prajurit itu.”
“Dari mana kau tahu kalau aku prajurit Watugaluh?”
“Aku juga mempunyai orang-orang yang terlatih sebagai telik sandi. Tetapi aku bukan raja seperti Empu Sindok. Aku hanyalah tetua desa. Mereka memanggilku, Ki Ageng Tritik.”
Nampak seseorang muncul dari balik sebuah pohon. Seorang tua namun bertubuh tegap dan masih terlihat gagah. Rupanya, dialah yang mengaku Ki Ageng Tritik. Nampaknya orang tua itu bukan orang sembarangan. Terbukti dia memiliki ajian gelap ngampar. Suaranya meski pelan seperti petir yang menggema di langit.
“Jangan-jangan, kau adalah prajurit telik sandi Sriwijaya yang menyamar?” Ki Bekel curiga.
“Kalau aku prajurit telik sandi dari Sriwijaya. Tentu aku tidak akan bicara panjang lebar. Dan kalian akan aku tumpas diam-diam di tempat ini,” orang tua itu menggeram.
“Hai prajurit Watugaluh! Kalian harus percaya kepada Ki Ageng Tritik,” terdengar sebuah suara lagi dari arah yang berbeda. Nampak seseorang berpakaian layaknya pendeta berjalan mendekat. Kemudian, “Aku Ki Ajar Wringin Anom. Aku dan padepokanku bersedia mendukung Ki Ageng Tritik dan pemimpin-pemimpin daerah untuk membantu Watugaluh.”
Setelah dekat, “Beberapa pemimpin daerah seperti Ki Ageng Berbek, Ki Ajar Mojoduwur, Ki Ageng Gandu, Ki Ageng Begadung, Ki Ageng Bagor, Ki Ageng Pace, Ki Ageng Kecubung sudah menyatakan kesanggupan untuk membantu kalian.”
“Siapa kalian!” sebuah suara terdengar. Pemiliknya adalah lurah prajurit Watugaluh yang baru sampai di tempat itu.
***
Hari itu, seratus prajurit Watugaluh mendapat bantuan tenaga dari laskar-laskar daerah sekitar Loceret. Meski tidak sebanyak prajurit Sriwijaya yang ada di barak tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat hafal dengan lingkungan mereka sendiri. Dengan berbekal penguasaan daerah tentu perang gerilya itu akan mempunyai keunggulan.
Malam itu mereka semua sepakat bergerak. Rakyat Tritik, membuat kerusuhan dari barat. Gardu-gardu penjagaan prajurit Sriwijaya dibakar. Ki Ajar Mojoduwur memimpin para cantrik yang bergabung dengan prajurit Berbek menumpas prajurit yang sedang meronda di selatan barak Laskar Juwet lan Begadung membuat kerusuhan di sebelah utara Barak.
Prajurit Watugaluh membakar gardu-garud penjagaan di sebelah timur barak. Setelah membuat kerusuhan mereka kemudian melarikan diri dan bersembunyi di hutan kali Tanjung.
Setelah serang itu, pemimpin prajuirt Sriwijaya murka. Mereka telah kehilangan seratus prajurit. Namun ke mana mereka akan membalas serangan itu. Hendak menyerang langsung Watugaluh jarak masih agak jauh.
Hari berikutnya mereka menambah jumlah prajurit yang berjaga di luar barak. Namun malam berikutnya mereka mendapat serangan lagi dan sebagian besar prajurit yang meronda telah tewas. Untuk menanggulangi hal itu para tumenggung bermusyawarah untuk mendapatkan jalan keluar agar terhindar dari serangan gerilya itu.
Tetapi para penyerang itu memang menguasai daerah. Sedangkan prajurit Sriwijaya tidak banyak tahu hutan-hutan yang tersebar di sekitar wilayah Loceret. Mereka kuatir jika harus menyebar prajurit untuk memburu pelaku kerusuhan yang membuat mereka kehilangan prajuirt.
Barak prajurit Sriwijaya itu semakin lama semaik tercekam oleh kerusuhan yang terjadi hampir setiap malam. Hendak balas menyerang tidak tahu harus kemana. Sedangkan lawan mereka seperti hantu yang muncul dan menghilang sesukanya.
“Bagaimana ini, apakah lebih baik kita serang Watugaluh sekarang juga?” Salah satu tumenggung prajurit Sriwijaya bertanya kepada yang lain.
“Jelas ini adalah tingkah para prajuirt Watugaluh yang kurang ajar!” Seorang tumenggung yang bertubuh besar dan bercambang lebat menggebrak meja.
“Empu Sindok semakin kurang ajar! Tidak mau tunduk untuk dipenggal lehernya oleh Dapunta Hyang!” Seseorang yang matanya picak sebelah karena terkena panah ketika perang melawan Mataram mengutuk Empu Sindok.
Mereka semua dicekik perasaan marah yang meluap-luap. Tiba-tiba terdengar suara kentongan bernada bahaya. “Kebakaran, kebakaran!”
Landasan prajurit Dapunta Hyang dikepung api. Langit malam itu berubah warna menjadi merah. Panah api menghujani seluruh wilayah barak prajurit itu. Gubuk-gubuk kayu dan ilalang dilalap api. Ratusan prajurit tewas karena hujan panah itu.
Teriakan kesakitan dan geram bercampur menjadi suara yang tercekat di tenggorokan mereka yang tewas. Kemudian ditindas oleh suara sorak sorai prajurit Empu Sindok. Prajurit Watugaluh bersorak gaduh supaya prajurit musuh kaget dan kebingungan.
Malam itu Loceret berubah menjadi tungku raksasa. Gubuk-gubuk dan barak prajurit terbakar hebat. Ratusan prajuirt Sriwijaya tewas. Lainnya kebingungan harus bagaimana. Suara musuh terdengar di sana sini namun tidak tampak. Mereka seakan sedang berperang dengan hantu yang membawa api, Banaspati.
Langit semakin merah. Barak itu berubah menjadi seperti neraka. Separuh prajurit Sriwijaya kehilangan nyawa. Separuh lainnya kaget dan bingung. Hati mereka semakin kecil karena melihat iring-iringan obor berjumlah ratusan dari arah timur. Obor itu adalah prajurit Watugaluh yang memperkuat serangan malam itu. Empu Sindok sendiri yang menjadi senopatinya.
Setelah menerima laporan dari prajurit telik sandi bahwa rakyat di sekitar Loceret bersedia membantu perjuangan Watugaluh, Empu Sindok langsung member perintah kepada lima ratus prajurit supaya menyerang langsung dan mengusir prajurit Dapunta Hyang dari Loceret dan tanah Jawa.
Perang dan kemenangan Empu Sindok atas prajurit Dapunta Hyang itu, diabadikan dengan pendirian sebuah candi dari batu bata di daerah Loceret. Sampai sekarang candi itu masih berdiri meskipun sudah banyak yang runtuh dan ditumbuhi oleh pohon raksasa. Pohon itu menyerupai ekor ular naga yang menjulang ke langit. Nampak angker. Belum lagi bila teringat cerita laskar banaspati Watugaluh.[]