Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #29

Ditolong Petani Gunung Kelud

Oleh: Jendra Wiswara

Sebelum meninggalkan Blitar, aku menyempatkan mampir di makam Bung Karno. Duduk di depan makamnya, aku termenung. Tak banyak yang bisa kuceritakan mengenai Proklamator ini. Sebab sudah banyak versi menyebutkan tentangnya. Dan aku tak perlu lagi menceritakannya.

Saat itu aku hanya mengamati orang-orang menziarahi makam Bung Karno. Mereka tampak khusuk berdoa di latarnya, duduk bersila, mata terpejam, pandangan terfokus pada satu titik, mulut komat kamit, dan setelahnya beranjak pergi sembari kepala menunduk dan tangan mengapungrancang.

Lalu kulihat seorang penjaga makam mengenakan destar adat Jawa. Berusaha menerangkan sesuatu terhadap pengunjung yang kebanyakan anak-anak SD. Aku tidak bisa mendengar kata-katanya, hanya dari kejauhan aku menduga penjaga tersebut pasti sedang menerangkan pelajaran sejarah.

Sementara para penduduk asli nampak sibuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuntungan pribadi. Pun para pedagang tak henti-hentinya berkicau menawarkan dagangannya pada setiap pengunjung yang melewati depan kiosnya. Sayang, dari sekian banyak kepala-kepala manusia itu tak seorang pun kukenal.

Dari makam Bung Karno, aku mampir ke sebuah warnet. Sengaja kuperiksa email. Hanya satu pesan yang masuk. Tidak kukenal. Pas kubuka, ah, ternyata dari Selin. Dia mengirimkan sebuah pesan singkat tapi penuh cinta.

Begini isinya: Al, apa kabarmu di sana. Aku sekarang sudah pulang ke Australia. Di sini aku selalu memikirkanmu. Kapan sekiranya kita bisa berjumpa lagi. Sejak perpisahan di Kuta itu, aku selalu memikirkanmu. Aku sepertinya harus kembali lagi ke Indonesia untuk menemuimu. Kabari aku ya. I love you.

Selain pesan, Selin juga mengirimkan foto bersama Tessa. Pesan Selin tidak kubalas. Nantilah kapan-kapan jika aku sudah siap, pikirku. Pikiranku masih belum ke sana. Aku masih harus meneruskan perjalanan lagi.

Kututup email. Lalu kubuka rute perjalanan. Aku tak tahu hendak ke mana setelah ini. Tujuan pasti, tidak ada. Otak kananku menginginkan aku menempuh perjalanan ke barat daya, tepatnya Trenggalek hingga Pacitan. Sementara otak kiriku berbisik padaku untuk berjalan ke arah utara, tepatnya dari Kediri menembus Kertosono, terus ke Nganjuk hingga Madiun.

Setelah kedua otak bertempur, akhirnya otak kiri pemenangnya. Kuputuskan untuk melintasi Kediri. Siang itu, aku melangkah pergi sembari memacu motorku sekencang-kencangnya menuju Kediri.

Ada banyak cerita di Kediri. Yang jelas Kediri dulunya adalah sebuah kerajaan. Namanya Kadiri. Kerajaan ini memiliki banyak nama lain, seperti Daha dan Panjalu. Kerajaan Kediri berdiri pada abad ke-11, atau lebih tepatnya pada 1045 M dengan Sri Samarawijaya sebagai raja pertamanya. Selama hampir dua abad berkuasa, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1159 M).

Di bawah kekuasaan Raja Jayabaya, bidang sastra berkembang pesat, sedangkan wilayah kekuasaannya meliputi beberapa pulau di nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh
Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Kediri runtuh pada 1222 M karena serangan Ken Arok.

Raja Jayabaya ini dikenal dengan ramalannya yang paling masyhur tentang keadaan Nusantara di suatu masa pada masa datang. Salah satu ramalannya yang terkenal adalah datangnya sang Ratu Adil, atau Satria Piningit.

Di wilayah ini ada pula petilasan Jayabaya saat moksa. Namanya Pamuksan Sri Aji Joyoboyo. Letaknya di wilayah Pamenang.

Apabila Kediri ditulis bisa jadi berjilid-jilid buku. Soal Kerajaan Panjalu ini, kiranya sudah banyak situs yang mengulasnya. Aku tidak perlu menceritakannya.

Yang jelas tujuanku adalah Kediri. Kupacu motor sekencang-kencangnya. Hanya butuh beberapa jam saja akhirnya aku tiba di wilayah Plosoklaten. Pandanganku sedikit terganggu dengan arah Ngancar. Wilayah ini menuju lokasi gunung Kelud. Mumpung hari masih siang, tak ada salahnya mampir dulu ke gunung Kelud.

Kubelokkan motor kea rah Ngancar. Jalanan menuju ke Ngancar lumayan menanjak. Tapi tidak terlalu parah, awalnya. Hanya saja aku khawatir, yang namanya gunung tetap saja selalu menanjak. Dan yang menjadi perhatianku justru motorku, apakah mampu kupacu di jalanan menanjak.

Dan benar saja, memasuki wilayah Ngancar jalanan mulai menanjak. Motor butut ini seperti orang mengangkat beban berat. Jalannya pelan-pelan. Setiap menemui jalan yang makin menanjak, sengaja aku melakukan zig zag agar motor dapat naik. Sayangnya, baru separuh perjalanan, tiba-tiba motorku mati. Alamak.

Kucoba menghidupkan motor, tetap tidak bisa. Dari kejauhan aku hanya bisa melihat keindahan gunung Kelud tanpa bisa sampai ke tujuan. Bingung merasuki pikiran. Apa yang harus kuperbuat. Tidak mungkin aku meneruskan perjalanan.

Sementara kondisi di gunung Kelud mulai mendung. Awan-awan nampak berkumpul membentuk sebuah kelompok yang sewaktu-waktu dapat menurunkan hujan sesukanya. Aku khawatir motorku tidak dapat berjalan dan akibatnya aku harus menginap di jalanan.

Tujuan ke gunung Kelud gagal. Mau tak mau aku harus turun. Tentunya dalam kondisi mesin mati. Jalanan menurun lumayan curam. Apalagi dengan kondisi mesin mati. Yang bisa kulakukan hanya menggunakan rem.

Namun saat tiba di jalanan mendatar, motor langsung berhenti. Terpaksa aku harus menuntunnya hingga bertemu dengan bengkel. Tapi di desa Ngancar, mana ada bengkel. Apalagi aku berhenti tepat di persawahan warga. Ada perkampungan, tapi tidak ada yang membuka bengkel. Apesnya saat mendorong motor, tiba-tiba hujan turun dengan lebat.

Sial, pikirku. Mana tidak ada tempat berteduh.

Hujan makin deras. Dan tak kudapati satu pun orang melintas. Terpaksa aku dan motor harus berhujan-hujanan di kondisi yang sangat dingin. Beruntung hari masih sore, jadi aku tidak perlu khawatir dengan penerangan.

Di tengah guyuran hujan lebat, tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pria paruh baya mengendarai motor dengan membawa ronjotan di kanan kirinya.

“Mogok, Mas,” sapanya.

“Injeh, Pak. Mesinnya mati. Apa di sini ada bengkel, Pak?” Tanyaku.

“Waduh, di sini tidak ada bengkel. Adanya di bawah sana. Kalau jalan kaki bisa 2 jam.”

Hujan masih lebat. Dari atas langit kulihat kilat saling menyambar. Sesekali pria itu menutup telinganya begitu mendengar suara geledek menggelegar. Sementara aku tak memusingkan hal itu. Aku hanya berpikir untuk bisa membawa motorku ke tempat bengkel dan memperbaikinya.

“Memangnya Mas mau ke mana?”

“Saya tadi mau ke Kelud. Tapi saat jalan tanjakan sana, motor mati. Jadi kuputuskan untuk turun, Pak.”

“Begini saja, Mas mampir dulu ke rumah. Rumah saya tidak jauh dari sini. Mas naiki saja motornya terus saya dorong pakai kaki dari belakang.”

Sebuah tawaran menarik dan kutunggu-tunggu. Aku juga tidak bisa membayangkan jika sampai mendorong motor selama satu jam di tengah guyuran hujan.

“Terima kasih, Pak.”

Kuterima tawaran tersebut.

“Oh iya, nama saya Al.”

“Orang-orang di sini panggil saya Lik Man,” dia menyebutkan namanya.

Motor segera kunaiki, sementara Lik Man mendorong menggunakan kakinya yang diletakkan di knalpot motorku. Lalu, motor pun berjalan dengan sendirinya. Dan benar kata Lik Man, rumahnya tidak jauh dari tempat kami bertemu.

Rumahnya masuk ke perkampungan. Sayangnya jalannya becek karena tidak diaspal. Kadang aku harus turun dan menuntunnya supaya tidak terjatuh. Lik Man nampaknya memahami kesulitan kami di jalanan becek.

Kami pun tiba di rumah Lik Man. Rumah itu sangat sederhana. Sebuah bangunannya terbuat dari kayu jati. Dilihat dari bangunannya, rumah itu seperti rumah lawas. Namun halamannya cukup luas. Enam mobil parkir di halaman pasti bisa. Yang namanya rumah-rumah pedesaan, rata-rata memiliki latar luas. Sementara rumahnya hanya berukuran kecil. Aku pernah menanyakan hal ini pada keluargaku di desa. Katanya sejak jaman mbah-mbah dulu, halaman luas sering digunakan untuk anak-anak bermain. Mereka tidak butuh rumah besar kalau hanya dibuat untuk tidur. Yang penting halaman luas.

Lik Man mempersilahkanku masuk. Namun aku tidak langsung masuk. Sebab sekujur tubuhku basah kuyuh. Aku hanya berdiri di teras rumah sembari memperhatikan hujan yang masih lebat. Melihat keadaanku, Lik Man buru-buru melepas jas hujan dan masuk ke dalam rumah. Ia kembali lagi dengan membawa pakaian kering dan sarung.

“Mas Al, pakai ini saja. Biar tidak masuk angin,” katanya.

“Iya, Lik.”

“Lewat pintu samping saja, di sana kamar mandinya!” Serunya.

Aku segera melepas seluruh bajuku yang basah dan menggantinya dengan yang baju kering. Ah, benar-benar hangat. Sekalian aku mengambil air wudhu. Kepada Lik Man aku minta ijin untuk sholat Ashar. Dia mengarahkanku ke dalam kamar khusus tempat sholat.

Selepas sholat, rupanya Lik Man sudah menunggu di ruang tamu dengan rokoknya tingwe (ngelinting dewe).

“Silahkan Mas Al, kita ngopi-ngopi dulu. Hujan di luar masih lebat. Perkiraanku kalau hujan begini akan berhenti sampai malam.”

“Sampai malam, Lik!” Seruku seperti orang kebingungan.

Yang kupikirkan bagaimana meneruskan perjalanan jika hujan belum berhenti. Apalagi kondisi motorku mesinnya mati. Apakah aku harus bermalam di rumah Lik Man. Itu pun jika tuan rumah mengijinkan.

Nampaknya Lik Man mengetahui kebingunganku. Dengan santai dan diiringi asap rokok mengepul di seluruh ruang tamu, ia berujar, “Gak usah bingung Mas. Meski sekarang hujan reda, toh Mas Al motornya juga mati. Jadi menginap saja di sini.”

“Terima kasih, Lik. Maaf kalau saya merepotkan.”

“Ah, biasa saja. Tidak repot. Lagipula saya punya teman untuk ngobrol. Di rumah ini setiap hari ya begini. Sepi. Semua anak-anak saya kerja di kota. Mereka sudah berkeluarga. Jarang pulang. Di rumah ini saya hanya bersama istri saja.”

“Anak Lik Man ada berapa?”

“Empat anak. Semua sudah bekeluarga. Mereka pulang pas hari raya saja.”

Kurasakan ada getir di hati Lik Man. Kerut-kerut di wajahnya menampakkan kesedihan. Kadang saat berbicara tatapan matanya kosong. Kepalanya selalu mendongak ke atas. Melihat langit-langit rumah. Dan ketika mencapai puncaknya, ia hembusan nafas dalam-dalam. Mungkin mengenangkan masa-masa indah saat anak-anaknya masih tinggal di rumah.

“Lik Man apa masih bekerja?”

“Ya, masih. Saya tidak pernah mengharapkan kiriman uang dari anak-anak. Alhamdulillah, saya punya ladang nanas di sini. Hasil panennya cukuplah untuk biaya hidup kami berdua. Namanya juga orang sudah tua, apalagi yang dicari. Kami makan ya seadanya.”

“Iya, Lik,” sahutku mengiyakan kata-katanya.

“Nah, Mas Al ini sebenarnya darimana dan mau ke mana?” Lik Man balik bertanya.

Kuceritakan semua perjalananku mulai dari Surabaya, Bali, Lombok, dan berakhir di Kediri. Lik Man mendengarkan ceritaku dengan mata sesekali tertutup. Seperti ia sedang larut dalam ceritaku.

“Jadi Mas Al ini jurnalis yang tidak punya media dan tidak punya tujuan,” Lik Man menyimpulkan isi ceritaku.

“Begitulah Lik,” balasku tersenyum.

“Kalau begitu tak perlu terburu-buru meneruskan perjalanan.”

“Kenapa begitu Lik.”

“Pertama, Mas Al tidak punya tujuan. Kedua, motornya rusak. Jadi buat apa harus terburu-buru. Tinggallah beberapa hari di sini.”

“Apa tidak merepotkan Lik Man?”

“Sangat tidak merepotkan. Saya malah senang ada teman di rumah. Soal motor besok tak panggilkan tetanggaku. Dia bisa memperbaiki motor rusak. Sekalian besok Mas Al ikut saya ke ladang. Kebetulan kita mau panen nanas.”

“Siap Lik.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...