Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #50

Airmata Kematian

Oleh: Jendra Wiswara

Dari Nganjuk perjalanan berikutnya lebih mudah. Aku tak perlu bingung menentukan tujuanku karena kali ini rute sangat jelas: Kayla. Pun sebelum berangkat aku dibekali Simbah bermacam-macam panganan berikut bubuk jamu yang sewaktu-waktu dapat kuseduh di jalanan bila penyakitku kambuh.

Untuk mencapai Malang aku memutuskan melewati Jombang. Sebenarnya banyak rute yang dapat dituju, tapi yang paling dekat adalah Jombang. Dari Jombang aku memasuki kawasan Mojowarno. Aku sangat kenal daerah ini karena aku pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama dua minggu. Jadi, untuk sampai Mojowarno tidaklah terlalu sulit.

Dari arah Nganjuk aku berjalan lurus ke arah timur. Jaraknya kurang lebih 2 jam perjalanan dengan kecepatan rata-rata. Dari Mojowarno aku mengambil rute ke kiri menuju Kandangan atau mengarah ke Pujon, belok kanan ke arah Pare Kediri.

Inilah satu-satunya perjalanan yang paling kusuka. Ketika menembus Pujon, aku merasakan sesuatu yang fresh. Pemandangan rute dari setiap desa membawaku pada nuansa penuh keromantisan. Pun pemandangan sangat indah melebihi semua daerah yang pernah kusinggahi.

Bila kau melihat air sungai, nampak kejernihan di dalamnya. Hutan-hutan sangat indah menawan, tidak seperti hutan-hutan sebelumnya. Perjalananku sangat mulus semulus paha perempuan. Meski treknya menanjak tapi aku tidak mengalami kesulitan berarti. Beberapa desa telah kulalui, seperti Desa Pait, aneh juga namanya. Lalu ada Desa Waturejo, Desa Ngantang, dan Waduk Selorejo. Yang terakhir Kesambon. Daerah ini kerap dijadikan jujugan para pecinta alam untuk melakukan rafting.

Memasuki Pujon, hati ini seakan dibuat deg-degan. Mungkin karena aku sudah tidak sabar untuk bertemu Kayla. Bagaimana kabarnya Kayla? Sudah lama kami tidak bertemu. Pun sudah lama dia ‘bersemedi’ setelah 1000 hari kematian ibunya. Namun, baik aku dan Kayla telah berjanji setelah perjalanan ini berakhir kami akan bertemu di Malang.

Dalam perjalanan tak habis-habisanya kudendangkan lagu menyebut namanya. Kubacai sebuah syair untuk menyatakan isi hatiku padanya. Kurayu dan kupuji dia untuk mendapatkan cintanya. Kukenangkan dirinya dalam relung sukmaku untuk meraih ketenangan jiwa. Kau begitu indah melebihi semua barang berharga di muka bumi ini.

Keagunganmu bagai samudra mengeluarkan tetes air tiada padam. Wajahmu tak kuasa kubayangkan, kurupakan, maupun kuandai-andaikan. Karena kau adalah kau. Kau, kekasihku adalah hidupku, nyawaku, nafasku, jiwaku. Tanpa kau di sisiku, aku takkan hidup tenang. Tanpa kau nyawaku bagai terombang-ambing diterjang badai. Tanpa kau aku sulit bernafas, udara seakan menipis dari paruhku. Tanpa kau jiwaku hampa, kosong, tak berpenghuni.

Mendengar suaramu bagai mendapat kesejukan. Ingin rasanya membungkam mulutmu dengan sebuah ciuman. Ternyata bayangan suara serta tawamu juga bisa bikin hati ini damai.

Pada waktu itu kudapati keyakinan bahwa aku takkan menyesal bila memperistri Kayla. Tetapi yang tidak kumengerti mengapa sikap bebasnya kini hilang bila berdekatan denganku. Sudahlah, aku tak mau tahu. Yang jelas saat ini hatiku sudah mantap untuk bertemu dengannya.

Setelah empat jam lebih menempuh perjalanan, akhirnya aku tiba di Malang pada pukul dua belas siang. Kududuk di alun-alun dengan malas. Dengan malas pula aku membaca koran yang tergeletak di jalanan. Dengan malas juga aku buka dari lipatannya. Lambat-lambat mataku mengikuti sebuah tulisan, dan, tidak ada yang menarik. Semua berita berisi tentang pejabat-pejabat yang korupsi. Ternyata sampai kapan pun korupsi tidak ada habis-habisan, dan akan merajai setiap isi pemberitaan dimana pun aku berada.

Kutunggu sms dari Kayla. Lalu kusms Kayla: aku sudah sampai Malang. Kamu bilang akan menemuiku di sini. Lamakah?

Tidak ada jawaban darinya. Kutelepon juga tidak dijawabnya. Hati ini semakin resah. Apakah janji kami bakal terbengkalai lagi. Selama dua jam aku menunggu di alun-alun tanpa mendapat jawaban dari Kayla. Tidak masalah, dua jam tidak terlalu lama bila dibanding penantianku di Yogyakarta.

Seperti biasa dalam penantian, aku tak bosan-bosannya memandangi setiap tingkah laku orang yang lalu lalang di depanku. Bagiku, ulah mereka tetap menjadi pemandangan yang menarik, apalagi bila ada wanita-wanita cantik di sekelilingnya.

Empat jam telah berlalu, tiba-tiba handphoneku berbunyi dengan lirih. Pasti ini Kayla, tebakku. Kubuka kotak pesan. Kulihat nomer tiada kukenal. Kubacai isinya satu persatu. Mendadak seluruh syarafku tergoncang. Aku terlompat berdiri. Dengan sendirinya mataku membeliak dan satu pekikan tak terkendali keluar dari mulutku, seperti seekor monyet terkena panah, “Allahuakbar!”

Kakiku bergerak, dan dengan sendirinya mondar-mandir di alun-alun seperti beruang dalam kerangkeng. Aku coba sabarkan diri. Tak dapat. Tangan-tangan ini menggigil kencang. Sambil mondar-mandir aku ulangi kembali bacaanku. Tidak salah. Leukimia.

Ketegangan kian mencabik-cabik syaraf. Lelah karena ketegangan akhirnya aku duduk di atas tempat duduk alun-alun dengan lemas. Kuselonjorkan kaki ke tanah. Hatiku menangis sejadi-jadinya. Sms yang barusan masuk dari ayah Kayla.

Saat itu ayahnya bercerita bahwa Kayla sedang dirawat di rumah sakit Jakarta. Dia mengidap Leukimia. Itu bukan penyakit biasa. Aku memang bukan dokter, tapi pernah membaca soal leukemia. Ini penyakit yang menyerang sel darah putih. Krnologisnya aku tidak tahu, singkatnya saja penyakit ini bakal membawa si penderitanya ke alam lain, yakni alam kematian.

Duh, gusti, mengapa semua ini harus hamba jalani. Mengapa kau kirimkan ujian seberat ini. Bukankah Kau bilang mencintaiku, tapi mengapa Kau hendak mengambil Kayla dariku. Semakin lama aku mulai memikirkan kematian. Dunia seolah tiada indah tanpa kematian.

Kata pepatah: kematian akan tersenyum kepada kita semua. Benarkah? Sebagai jurnalis sudah lama aku melihat kematian. Berbagai model kematian telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Hanya saja aku belum mengalaminya sendiri. Memang pernah sekali, yakni sepeninggal ayahku. Tapi itu sudah lama dan aku sudah melupakannya.

Untuk kali ini kematian kembali merasuki jiwaku. Kematian itu telah berdiri di depan pintuku, bukan untukku melainkan untuk Kayla. Harusnya kuterima maut sebagai sesuatu yang sewajar-wajarnya ataukah perlu kusiarkan ke seluruh dunia?

Saat itu aku teringat dengan pesan kyai, bahwa kematian bukan sesuatu yang perlu ditakut-takuti. Kematian adalah jalan menuju kehidupan yang hakiki. Nabi SAW pernah berkata, bahwa sewaktu beliau mengalami sakratul maut, beliau mengucapkan betapa hebatnya nyawa manusia ketika keluar dari jasad.

Rasulullah bersabda: “Semua manusia sebenarnya dalam tidur. Apabila mereka mati barulah itu yang dinamakan bangun/terjaga.”

Sabda Rasulullah bukan semata-mata bersifat metaphoris, beliau menjelaskan bahwa kematian adalah perjalanan terakhir manusia dalam meraih keridhoan Ilahi.

Kalau sudah begitu jelas Rasulullah bersabda demikian, lalu mengapa aku harus bingung dan takut. Toh, kemarin, sekarang, dan besok semua manusia bakal menjalani kematian, tidak terkecuali aku.

Lalu mengapa kita mesti bersikap sentimental terhadap kematian? Segala tafisiran tetaplah tafsiran. Justru yang siap mati itulah intinya, bukan malah kisruh memikirkan bagaimana dan kapan matinya.

Selang beberapa menit kemudian ponselku berbunyi. Kulihat nomer yang menghubungi sama seperti nomer yang mengirim pesan. Kuangkat pelan-pelan dan mengucap salam seperti biasa.

Dari suaranya kudengar nada-nada penuh kesedihan. Dan aku sangat mengenal suara itu, suara itu memang ayah Kayla. Dia mengatakan keprihatinannya karena tidak bisa mengantar Kayla ke alun-alun Malang.

Memang, sebelumnya Kayla pernah berpesan kepadaku bahwa jika nanti bertemu di Malang, dia akan diantar ayahnya. Tapi kini semua menjadi berantakan. Sang ayah bercerita bahwa selama ini Kayla telah didiagnosa mengidap leukemia. Setiap hari dia selalu bersedih. Dan jika sedihnya memuncak, kadang Kayla tiba-tiba pingsan dengan mengeluarkan darah dari hidungnya.

Beberapa kali Kayla menjalani pengobatan di rumah sakit. Beberapa kali pula dia harus menginap di sana untuk waktu yang sangat lama. Karena itu, kepadaku, ayah Kayla meminta pengertiannya dan sekaligus permintaan maaf yang sebesar-besarnya telah mengecewakanku.

Kujawab begini, “Kayla tidak pernah mengecewakan, justru aku yang telah mengecewakannya. Ayah, tidak perlu meminta maaf.”

Sebelum ponselnya ditutup, ayah Kayla berjanji jika semua ini berakhir, dia akan mengantarkan Kayla padaku. Tapi kurasakan janji itu seolah tiada memiliki kekuatan. Nada-nada bicaranya penuh kelembutan, kesedihan mendalam, dan keputus-asaan.

Selama ini ayah Kayla telah berusaha menyenangkan hati anak-anaknya, hanya saja Allah telah berkata lain. Saat kutanya berapa kemungkinan Kayla hidup, dia tidak tahu. Yang jelas saat ini Kayla tidak pernah lelah untuk berikhtiar. Meski tubuhnya telah digerogoti penyakit mematikan, dia masih memiliki semangat untuk hidup seperti halnya orang-orang normal.

Bahkan, selama ini Kayla berusaha menyenangkan hati orang lain, termasuk ayahnya, kakaknya, dan adiknya. Aku, tentu saja dia selalu membuatku tertawa.

Pantas selama ini Kayla sulit kutemui, sejak mengidap leukemia setahun lalu, aku sudah merasakan ada sesuatu yang berubah pada gadis itu. Bersamaan itu mama Kayla meninggal akibat kecelakaan di Pandaan. Kukira permasalahan yang muncul karena kesedihan Kayla terhadap mamanya. Rupanya aku salah. Masalah itu datang dari dirinya. Cuma aku terus bertanya-tanya dalam hati, apakah semua ini sudah terlambat?

Satu permintaan Kayla kepada ayahnya, sebelum ajalnya tiba ia ingin mewujudkan cita-citanya untuk beribadah haji di Tanah Suci Mekkah.

“Nama Kayla sudah terdaftar dalam kuota haji di Sidoarjo. Insya Allah, setelah Idul Adha nanti dia bakal berangkat ke Mekkah bersama kakaknya. Kuharap Nak Al mengerti!” Pesannya.

“Sungguh mulia hatimu, Kayla!” Seruku membatin.

“Syukurlah. Semoga apa yang menjadi cita-cita Kayla dapat terpenuhi. Aku hanya bisa mendoakan dari sini. Semoga juga Kayla dapat sembuh,” kataku memberi semangat.

“Insya Allah, Nak. Oh iya, katanya kamu sedang berkeliling?”

“Alhamdulillah, sekarang aku sudah selesai,” sahutku
.
“Kapan-kapan saya diceritai ya tentang semua perjalananmu.”
“Pasti,” jawabku menyudahi obrolan.

Dengan hati masih menyesali aku tak bisa berpikir jernih. Mengapa Kayla tidak pernah menceritakan hal ini padaku. Kulongokkan pandangan jauh ke luar alun-alun. Melihat puluhan orang seperti tidak melihat orang saja. Mereka seakan kosong berikut kekosongan hati serta pikiranku.

Aku seperti terpakukan pada tempat duduk di alun-alun dengan sangat malas dan loyo. Hidupmu yang begitu muda telah dipertaruhkan antara orang-orang normal menjadi pesakitan. Masa depanmu kini tidak menentu. Oh, Kayla…Kayla…

Betapa menderitanya hidupmu. Bagaimana juga aku sangat berterima kasih atas segala cinta dan pengorbananmu padaku. Meski kau telah kalah dalam hidup, tapi kau kalah tetap agung dalam kekalahanmu. Keagunganmu sungguh-sungguh tidak tersentuh.

Orang yang begitu tabah menghadapi kehilangan kebebasannya, akan tabah juga kehilangan segala-galanya yang masih tersisa. Terima kasih atas kebahagiaan yang dapat kunikmati sebagai cintamu.

Kenangan pada kebahagiaan pendek ini biar aku bawa pada waktu dan tempat yang belum jelas. Kau masih sangat muda, sangat muda, cantik, lincah, tabah dan berani. Kau belum lagi dua puluh lima tahun, sedang aku mendekati tiga puluh. Namun cara berpikirmu sudah mendekati seorang dewasa di atasmu. Aku salut!

Kegigilanku kian berkibar-kibar, tak seorang pun dapat membantuku. Jangan kau menangis, jangan pernah. Dan hapus airmatamu sebab dunia tak lagi bersahabat denganmu. Allah telah mengutus utusannya memberimu cobaan besar, dan kau sebagai makhlukNya harus tabah menghadapinya.

Akhirnya pada saat itu kuputuskan pergi menenangkan diri ke Gunung Semeru. Aku sengaja membatalkan kepulanganku dan meneruskan perjalanan yang entah sampai kapan aku akan kembali. Mungkin setelah airmataku reda. [selesai]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...