Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #63

Misi Berakhir

Oleh: Jendra Wiswara

Suasana seketika sepi. Senyap. Nunuk masih menghadapi perasaaan maha dahsyat, di tengah kesendirian pada malam yang maha sunyi. Dia masih merasakan tubuhnya gemetar. Hawa tubuhnya dirasakannya hangat. Lalu tercium bau wangi melati yang sedap, yang pernah dikenalnya sewaktu masih remaja di kampung. Bau itu sangat dia sukai.

Sejenak Nunuk membiarkan perasaannya terbengkalai. Dia masih berdiri terpaku. Menatap langit-langit malam dipenuhi bintang gemintang. Rasa haus buru-buru mencekik kerongkongannya. Tapi, dia tahan. Setidaknya malam itu, rasa dahaga telah sirna semenjak Nunuk berhasil mengusir ribuan jin.

Itu bukan tugas mudah. Nyawa sewaktu-waktu dapat melayang. Sementara Sahid dalam mimpinya hanya berpesan agar Nunuk melindungi seorang anak perempuan dari cengkeraman Gendro Swara Pati. Yang terjadi di luar prediksinya. Nunuk malah melawan Gendro Swara Pati dan ribuan bala tentaranya.

Namun demikian, sejak awal Nunuk sudah memasrahkan jiwa dan raganya. Dia tidak peduli dengan dirinya sendiri, termasuk nyawanya sekalipun. Asal, dia dapat melindungi penghuni rumah dari serangan Gendro Swara Pati.

Nyatanya, perjuangan Nunuk tidak sia-sia. Perempuan bahu laweyan itu bahkan mampu membalikkan keadaan. Membuat ribuan jin tak berdaya. Hanya dengan tertawa, para jin dibuat mematung. Gendro Swara Pati dibuat bersimpuh di hadapannya. Kemudian mereka pergi menjauh dari mangsanya.

Sebenarnya Nunuk tidak tahu darimana datangnya kekuatan maha dahsyat tersebut. Kekuatan itu begitu kokoh hingga tak tertembus oleh kekuatan lain. Kekuatan dahsyat yang mengatur alam semesta yang besar dan luas hingga tak terbayangkan. Kekuatan yang tiada bandingannya. Kekuatan itu seperti menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap. Dan jika keduanya lenyap maka tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya. Kekuatan itu hanya bisa didapat oleh pribadi-pribadi yang tangguh.

Nunuk malam ini memang menjadi pribadi mengesankan. Menjadi pribadi yang dekat dengan Sang Kekasih. Dia tahu bagaimana menempatkan diri pada kadarnya, porsinya, dan waktunya. Bahwa segala sesuatu sudah ditentukan takdirnya. Nunuk berserah diri pada Maha Menghidupkan. Menyerahkan wajahnya, seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Sang Kekasih. Sehingga tak ada yang menghalang-halangi. Dinding itu roboh. Sang Kekasih tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh alam semesta bersujud dan bertasbih.

Itu saja.

Setelah memastikan keadaan baik-baik saja, Nunuk pun berpaling. Dari dalam, seorang anak perempuan membuka pintu dan langsung berlarian menghampiri Nunuk. Tiba-tiba terdengar sedu, nafas sesak. Wiwid menangis.

“Ibu Nunuk,” Wiwid menyergap tubuh Nunuk. Merangkulnya.

Nunuk gugup. Tangan Nunuk melingkar pada punggung Wiwid yang sepertinya membutuhkan perlindungan, membutuhkan perhatian. Lalu, tangan perempuan itu menepuk-nepuk pundaknya beberapa kali. Membelai rambutnya. Memastikan bahwa semua baik-baik saja.

“Ada apa, Nak!” Seru Nunuk.

“Wiwid takut. Tadi ibu Nunuk tertawa sendiri di tengah malam. Wiwid kira ibu sedang kerasukan makhluk halus,” kata Wiwid yang disusul Nur, ibunya.

Nunuk berusaha menyorongkan tubuhnya ke bawah. Menatap wajah anak tak berdosa itu, yang perasaannya dipenuhi rasa takut dan pasrah, tak berdaya, dan butuh pelindung. Sekilas Nunuk merasa bangga, tugasnya dari Sahid untuk memberi perlindungan pada Wiwid telah terlaksana. Dia sempat hanyut dalam emosi. Dia terlalu sadar atas apa yang diperbuatnya. Buru-buru Nunuk memeluk erat Wiwid, dan ingin menumpahkan perasaannya.

Belum ada kata-kata keluar dari bibir Nunuk. Namun sebelum itu, Nur langsung menyambar dengan kata-kata sama. “Iya, Mbak Nunuk. Tadi saya dan Wiwid sempat khawatir,” sahut Nur.

“Alhamdulillah. Semua baik-baik saja,” singkat Nunuk memastikan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Nur.

Nunuk tidak segera menjawab. Pikirannya masih penuh dengan perasaan sedu sedan. Butuh kejernihan pikiran untuk menjelaskan pengalaman dahsyat yang baru saja dialami.

“Kita bicara di dalam saja,” ajak Nunuk.

Wiwid merasa senang Nunuk baik-baik saja. Dia masih tak mau melepaskan pelukannya. Cenderung tak mau pisah sedetik pun. Rupanya anak itu masih dihinggapi ketakutan dan kekhawatiran luar biasa. Seumur hidup, dia tak pernah melihat kejadian sedramatis malam itu. Nunuk tahu itu dan segera menggandeng tangan Wiwid dan mengiringkan langkahnya memasuki rumah.

Di ruang tamu, Nunuk langsung menjatuhkan punggungnya ke kursi panjang. Kakinya diselonjorkan. Menghela nafas panjang. Menerawang jauh ke atas. Nampak sekali dia kelelahan. Maklum, dia baru saja melawan ribuan jin. Energinya terkuras habis di sana.

“Mbak Nunuk kenapa?” Tanya Nur.

“Ah, tidak apa-apa kok mbak.”

Wiwid mencoba menghibur dengan memijet-mijet paha Nunuk. Dibiarkanlah Wiwid merapati duduknya dengan dirinya. Sementara yang dipijet diam dan hanya membalas dengan belaian tangan.

“Nduk, kamu bikinkan ibu Nunuk minum!” Perintah Nur pada Wiwid.

Tanpa menjawab, Wiwid langsung pergi ke belakang.

Sepeninggal Wiwid, ketegangan mulai mengendur. Sejenak Nunuk dan Nur saling menatap. Dan, berdiam diri. Masing-masing seperti memberi keleluasaan untuk melepas kesadaran dan  terbangun dari kabut kepudaran.

“Mbak Nunuk,” kata Nur tegas.

Rasa penasaran kembali menggelayut dan bertengger di wajahnya. Dagunya yang melebah tergantung agak terangkat ke depan.

“Tadi benar-benar menakutkan. Mengapa Mbak Nunuk tertawa sendiri?”

Nunuk tidak langsung menjawab. Seperti memberi jeda bagi dirinya. Mengacau pikirannya sendiri.

“Sulit menjelaskannya. Apa yang Mbak Nur lihat tidak seperti yang terlihat.”

“Saya tidak paham.”

Nunuk bangkit. Agak malas-malasan. Berdiri di depan pintu dengan kedua tangan bersedekap. Menatap cakrawala kosong dan hening. Hanya terdengar rintik hujan yang mulai mengguyur beranda rumah. Mulailah pikirannya mencatat kejadian demi kejadian yang tadi dialami. Sungguh di luar nalar. Lalu, geleng-geleng kepala mengenangkan peristiwa tadi. Dia seperti menjalani hidup yang tidak sederhana. Hidup yang dijalaninya seperti tidak ada hidup lain selain yang harus dijalani saat ini.

“Tadi saya memang tidak sendirian, Mbak. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Sebab saya juga tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi,” nada bicara Nunuk terpatah-patah, tidak beraturan.

“Saya masih tidak paham.”

Sejenak gambaran samar muncul perlahan di angannya. Gambaran itu berupa wajah Sahid. Seketika jantungnya berdetak keras. Rumah itu jadi terasa sempit. Buru-buru Nunuk memalingkannya. Gambar samar itu kemudian sirna. Nunuk membalikkan badan. Kembali duduk di tempatnya semula. Sangat berhati-hati dia menjawab pertanyaan Nur. Takut salah. Takut yang mendengar ketakutan.

“Tadi apa yang Mbak Nur dengar?”

“Ada suara gaduh. Suaranya sangat mengganggu telinga. Setelah itu yang saya tahu Mbak Nunuk keluar rumah. Di situ saya sempat melihat Mbak Nunuk tertawa sendirian,” ucap Nur.

“Itu bukan suara gaduh biasa. Suara gaduh itu ulah para jin. Yang bisa mendengar cuma kita bertiga. Sebab semua warga kampung telah disirep oleh mereka.”

“Lalu…”

“Mereka berkumpul di luar rumah.”

“Mau apa mereka datang kemari?”

“Mereka bersama Gendro Swara Pati.”

“Berapa jumlah mereka?”

“Entahlah. Mungkin ribuan.”

“Masya Allah.”

Nur geragapan. Dia urung bertanya detil bagaimana Nunuk mengusir jin-jin tersebut. Keyakinannya bertarung dengan diri sendiri, antara percaya dan tidak dengan cerita Nunuk. Kenyataannya, memang di rumahnya banyak makhluk jahat sedang mengintai. Terutama Gendro Swara Pati. Meski dia sendiri tidak bisa melihat sosok makhluk jahat tersebut. Namun, dia masih merasakan keadaan malam itu di rumah benar-benar mencekam. Pasalnya, suara gaduh itu bukan suara biasa. Itu suara luar biasa. Suaranya diiringi angin topan besar hendak menerbangkan seluruh isi. Atap-atap rumah seperti mau terangkat.

Nur tak bisa membayangkan ribuan jin itu masuk ke rumah untuk menyerang dirinya dan anaknya. Sekiranya apa yang bakal terjadi. Nur juga bertanya-tanya, apa yang menyebabkan semua ini menimpa keluarganya. Mengapa dirinya dan keluarganya dihinakan seperti itu. Apa salah Wiwid sampai-sampai harus mendapat ujian seberat itu. Sepanjang umur hidupnya hampir tak punya apa-apa, selain cinta kasih pada anak semata wayangnya. Bila sesuatu buruk menimpa anaknya, Nur tidak bisa memaafkan dirinya.

Tak kuasa Nur membayangkan itu semua. Airmatanya tumpah. Menangis sejadi-jadinya.

“Maafkan saya dan keluarga telah merepotkan. Mbak Nunuk susah payah, jauh-jauh datang kemari demi menolong Wiwid. Bahkan Mbak Nunuk rela mencurahkan pikiran, tenaga dan waktu demi kami. Padahal kami bukan siapa-siapa Mbak Nunuk,” sesal Nur.

Nunuk tidak nyaman mendengar tangisan Nur. Memang ucapannya terasa sangat mengharukan dan mengesankan. Tetapi, dia merasa bahwa keputusannya datang ke Pangandaran untuk membantu sesamanya. Tidak ada embel-embel apapun. Tidak ingin dipuji. Tidak pula ingin dianggap pahlawan. Sudah menjadi tugasnya melindungi Wiwid dari setiap mara bahaya yang mengintai terutama dari serangan jin jahat. Apapun akan dia lakukan selama yang dia bisa.

Nunuk mendekat dan memegang tangan Nur. Berucap lirih padanya, “Tidak ada yang perlu dimaafkan Mbak Nur. Kedatangan saya kemari untuk membantu Mbak Nur dan Wiwid melewati semua ujian ini. Bagi saya, ini juga merupakan ujian.”

Lega Nur mendengarnya. Meski begitu, dia masih tidak enak hati mendapat bantuan dari seseorang yang baru dikenalnya. Pemandangan tidak ramah ini bagaimana juga tetap membungkam mulut Nur, agar dia tidak lagi bersuara sumbang dan aneh. Sebab hal itu justru membuat orang yang mempunyai niat mulia menjadi terganggu, serasa mengganjal.

Sementara Nunuk mencoba mencurahkan segala inderanya untuk mengeyam nikmatnya hidup yang mendekati penghabisan. Bahwa keadaan saat itu hampir mendekati kematian. Dia begitu dekat dengan kematiannya sendiri. Sempat terlintas di angannya, dirinya akan mati di tangan Gendro Swara Pati dan bala tentaranya. Betapa mengerikan orang yang tahu detik-detik hari kematiannya. Seperti terhimpit oleh rasa nyeri tak terhingga. Tetapi Allah masih melindunginya. Allah masih menyelamatkannya. Allah masih sayang padanya. Allah masih berpihak padanya. Allah belum menghendaki nyawanya lepas. Hingga akhirnya penderitaan itu terangkat. Ya, satu beban yang terangkat itu adalah terbebasnya Wiwid dari cengkeraman Gendro Swara Pati.

“Alhamdulillah, sekarang Wiwid terbebas dari makhluk halus yang merasukinya,” ujarnya.

“Benarkah itu, Mbak?” Nur bertanya tanpa tahu harus berbuat apa setelah itu, sebaliknya Nunuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan, sekedar membalas dengan anggukan.

***

Malam itu penghuni rumah masih terjaga. Suasananya tidak lagi tegang. Hari cerah meski sudah mendekati Subuh. Belum banyak orang berkelebat di kampung itu. Suasananya tetap sepi. Orang-orang mungkin masih terlelap. Pun orang-orang belum ada yang terlihat ke pasar. Belum ada juga yang datang ke masjid.

Sepintas, kampung itu seperti kampung mati. Penduduknya seperti sedang bersembunyi dan menyingkir untuk mengamankan diri. Kampung itu bagaikan kisah Seribu Satu Malam. Mengingat baru saja terjadi peristiwa maha dahsyat di sana. Peristiwa yang hanya diketahui Nunuk, Nur dan Wiwid.

“Kalian belum mau tidur,” Nunuk membuka obrolan.

“Nanggung, mbak. Sebentar lagi mau Subuh. Sekalian saja kita sholat berjamaah,” ucap Nur.

“Boleh,” Nunuk menyeringai sembari menyeruput teh hangat buatan Wiwid.

“Mbak Nunuk setelah ini mau kemana?” Nur basa-basi.

“Saya harus melanjutkan lagi perjalanan. Tugas dari Mas Sahid belum semuanya saya laksanakan. Tujuan saya Tuban, Lamongan, Gresik dan Surabaya,” tuturnya.

“Setelah itu?”

“Setelah itu saya tidak tahu,” balasnya cepat.

“Apa Mbak Nunuk akan kembali ke pesantren?”

“Mungkin juga. Saya kangen dengan anak-anak.”

Setiap kali mengingat pesantren, Nunuk acapkali dihinggapi rasa rindu mendalam. Di sana memang ada anak-anaknya yang sejak kecil dirawat dan tinggal bersama mantan suaminya. Di sana, anak-anaknya juga dikenalkan dengan agama, hingga menjadi anak-anak berakhlaq baik. Patuh pada guru, patuh pada orang yang lebih tua, terutama patuh pada ibunya meski sejak kecil ditinggal dan tak diurus. Gairah untuk segera berjumpa anak-anaknya menyengat-nyengat di dada. Tetapi semuanya itu buru-buru ditepis. Mungkin nanti, jika urusan hajatnya selesai, Nunuk dipastikan akan kembali ke pesantren.

Nur sendiri mulai penasaran dengan kehidupan di pesantren. Dia sangat awam soal begituan. Selama ini Nur hanya melihat banyak orangtua memasukkan anaknya ke pesantren. Dia tidak tahu apa yang melandasi mereka menempatkan anak-anaknya di sana. Sebegitu pentingkah pesantren bagi anak-anak.

“Jaman sudah merdeka. Jaman telah mengubah keadaan dan segalanya dengan tiba-tiba. Berubah keadaan kota, berubah keadaan keluarga, berubah keadaan tradisi. Mengapa masih banyak orangtua memasukkan anaknya ke pesantren?”

“Mungkin itu yang terbaik buat mereka,” jawab Nunuk singkat.

“Apakah hal itu tidak kolot?”

“Saya rasa kolot tidak ada hubungannya dengan perubahan jaman. Justru perubahan jaman itulah yang mengubah cara berpikir manusianya. Pesantren bukan sesuatu yang kolot. Malah harus dipertahankan dan dilestarikan. Itu bagian dari budaya untuk mendidik anak-anak bangsa.”

“Anak-anak Mbak Nunuk di pesantren. Apakah hal itu tidak menganggu bagi Mbak Nunuk?”

“Menganggu?”

“Bukankah setiap saat orangtua selalu kangen dengan anak-anaknya. Dan rasa kangen itu akan menjadi masalah bila tidak tersalurkan dengan baik. Seperti contohnya saat ini, Mbak Nunuk tidak dapat bertemu anak-anak karena waktu dan tempat,” sambut Nur.

“Saya rasa tidak. Aisyah, Fatimah, dan Muhammad saat ini memang di pesantren. Mereka di sana karena keadaan. Tapi bukan berarti keberadaan mereka di sana menganggu keadaan kita para orangtua. Sejak pertama kali mereka dilepas di pesantren, kita sudah melepas takdir mereka. Allah yang telah mengurus takdir mereka,” balas Nunuk.

“Apakah setiap orangtua harus paham dengan keadaan?”

“Kita yang harus ikhlas. Mengapa Mbak Nur bertanya soal pesantren?” Nunuk balik bertanya.

“Ah, tidak apa-apa. Pengin tahu saja. Barangkali Wiwid tertarik?” Jawab Nur sambil melirik ke arah anaknya, dan dibalas serupa dengan Nunuk.

“Jujur, saya tidak tahu dengan kehidupan pesantren. Saya baru tahu yang namanya pesantren saat mengunjungi anak-anak di Kediri. Awalnya pikiran saya seperti Mbak Nur. Pesantren itu kolot. Begitu bertemu anak-anak, barulah pikiran saya terbuka. Saya sempat berpikir anak-anak tidak akan memaafkan perbuatan yang saya lakukan. Sejak kecil saya tidak pernah mengurus mereka. Saya hanya sibuk dengan diri sendiri. Mengasingkan diri dari hiruk pikuk. Berdiam diri bertahun-tahun di gunung Penanggungan tanpa peduli perkembangan anak. Sebagai ibu yang melahirkan mereka, saya merasa perbuatan saya tidak layak untuk dimaafkan. Saya maklum bila mereka membenci saya,” sampai di titik itu, Nunuk berhenti berbicara.

Nadanya mulai terpotong-potong. Tenggorokannya seperti tersekat. Tak bisa Nunuk menyembunyikan rasa harunya, terutama saat mengingat pertama kali bertemu Asiyah, Fatimah dan Muhammad, terhitung sejak dirinya berkhalwat selama 6 tahun di gunung Penanggungan.

Pengalaman itu justru membuat semangatnya bangkit. Dia tidak merasa asing meski berada di persimpangan keputusasaan. Nunuk merasakan sebuah kebebasan sama rasa sama rata. Bebas seiiring dengan bebasnya pendalamannya yang terkungkung selama bertahun-tahun. Sebagai seorang ibu, Nunuk bisa merasakan sebuah kemasyuran akan kasih sayang yang diberikan anak-anaknya. Secerah harapan muncul begitu melihat adanya perubahan besar dalam diri anak-anaknya.

“Ternyata, anak-anak tidak membenci saya. Aisyah, Fatimah, dan Muhammad menerima kehadiran saya dengan hati yang tulus. Saya sempat bertanya-tanya apa yang diajarkan bapaknya pada mereka. Apa yang diajarkan pesantren pada mereka. Sehingga mereka memiliki ketulusan dan kelembutan hati seperti itu?”

Nunuk tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Kedua telapak tangannya berusaha meraih matanya, mengusapnya agar airmata tersebut tidak jatuh. Berusaha tabah dia. Tak mau merusak keadaan menjadi sentimentil.

“Saya kok jadi cengeng begini ya. Maafkan saya,” kata Nunuk menguatkan dirinya.

“Terima kasih, Mbak Nunuk, sudah menceritakan pengalamannya pada kami. Sekarang kami jadi tahu semuanya,” sambut Nur, seolah-olah cerita tadi diresapi baik-baik. Nur seperti menghormati dan mengkeramati cerita tersebut. Dalam hati, dia menaruh kagum pada sosok perempuan di hadapannya. Ada banyak cerita yang sebetulnya belum tersampaikan, tetapi sekilas ceritanya telah membuatnya kagum. Perempuan di hadapannya memang bukan perempuan biasa.

Nunuk membalas dengan senyuman.

“Wiwid mau bertemu Mbak Aisyah dan Mbak Fatimah. Wiwid mau jadi saudara mereka,” Wiwid tiba-tiba nyeletuk.

“Insya Allah. Nanti pasti akan dipertemukan,” sahut Nunuk.

“Wiwid mau mondok, Bu!” Rengek Wiwid pada ibunya.

“Kamu serius, Nak. Mau mondok dimana?” Tanya ibunya.

“Kediri.”

“Kediri itu jauh, Nak. Lokasinya di Jawa Timur. Kalau nanti Wiwid mondok, ibu sama siapa?” Tanya Nunuk.

“Ibu sama bapak di rumah,” jawab Wiwid sekenanya.

“Kenapa tidak mondok dekat-dekat sini saja. Ibu dan bapak sewaktu-waktu bisa bertemu dengan kamu setiap saat,” balas Nur.

“Wiwid pengin ketemu Mbak Aisyah dan Mbak Fatimah. Boleh ya bu,” rengeknya lagi sambil menarik-narik lengan ibunya.

Nur mengangguk-angguk mengiyakan keinginan anaknya.

***

Waktu sudah menunjukkan Subuh, Nunuk mengajak Nur dan Wiwid sholat berjamaah. Usai sholat, Wiwid pamit tidur di bilik belakang. Nunuk tahu, keinginan Wiwid untuk mondok di Kediri sangat besar. Apalagi setelah mendengar cerita dari Nunuk. Mungkin di kamar dia gelisah. Tak bisa tidur memikirkan hal tadi. Atau sebaliknya, Wiwid bisa tidur nyenyak karena tak ada lagi makhluk jahat yang merasuki raganya. Tidurnya bisa sangat lelap sehingga dia akan melupakan keinginannya tadi.

Di rumah tamu, masih ada Nunuk dan Nur. Keduanya masih terlibat obrolan. Kali ini mengarah ke serius.

Nunuk masih memperlihatkan kegelisahan. Itu terpancar di pelupuk matanya. Dan kegelisan telah merajalela mengusai perasaannya. Peristiwa semalam yang membuatnya demikian. Peristiwa yang membikin gaduh pada malam yang hening sunyi.

Kali ini mata Nur dibuka lebar-lebar. Pendengarannya dipertajam. Dipasang indera keenamnya. Siap mendengarkan wejangan dari Nunuk, dan mungkin langkah apa yang harus diambilnya.

“Setelah Gendro Swara Pati, apa yang harus saya lakukan, Mbak Nunuk?”

“Insya Allah, Gendro Swara Pati tidak akan kembali lagi,” jawab Nunuk memastikan.

“Apakah dulu sewaktu suami Mbak Nunuk mengusirnya, dia kembali lagi?” Tanya Nur.

Nunuk menggeleng.

“Dia tidak kembali. Dia tidak berani menganggu saya lagi. Apalagi merasuki raga saya. Karena Mas Sahid sudah mengancamnya. Bahkan Gendro Swara Pati berjanji tidak akan menganggu manusia lagi,” kenangnya.

“Sekarang dia menganggu manusia lagi. Wiwid!” Seru Nur.

“Kerjaannya memang seperti itu. Selalu menganggu manusia,” ucap Nunuk.

“Saya masih khawatir dengan keselamatan Wiwid. Mungkin saja sekarang dia telah pergi. Tapi setelah Mbak Nunuk pergi, saya khawatir dia akan kembali lagi, dan akibatnya akan lebih parah dari ini,” tandasnya.

Nunuk memaklumi kekhawatiran Nur. Janji jin tak bisa dipegang. Apalagi janji Gendro Swara Pati. Makhluk itu sejak awal selalu haus darah. Dia makhluk jahat yang dirasuki setan. Selama masih ada nafas, setan-setan akan terus mengintai manusia dengan berbagai cara. Tidak ada kata malas bagi setan untuk mendorong manusia dalam keburukan. Seringkali bisikan yang dikira berasal dari hati justru adalah bisikan setan untuk menjerumuskan.

“Saya paham dengan kekhawatiran Mbak Nur. Saya pun demikian. Dalam hal ini Gendro Swara Pati tidak berdiri sendiri. Dia ada yang mengendalikan. Di balik peringai Gendro Swara Pati yang bengis ada iblis. Iblis tak pernah lupa kepada manusia. Tapi kita yang lupa pada iblis.”

“Bagaimana kita melawannya?”

“Iblis lebih alim dari manusia. Akan sulit melawannya. Bukan bagaimana cara kita melawannya, melainkan bagaimana cara kita tidak lalai terhadap Dzat yang menggenggam nasib kita. Dia yang menulis segala sesuatu dalam Al-lauhul mahfuzh. Setiap hamba harus memperhatikan karunia Rabb-nya dalam setiap nikmat ukhrawi maupun nikmat duniawi, karena sebab dan yang memberi sebab semuanya berasal dariNya. Setan akan datang kepada salah seorang dari kita dan berkata: Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan ini? Hingga akhirnya ia berkata: Siapa yang menciptakan Allah? Maka kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Sedahsyat apapun setan mengintai, perlindungan Allah tetap jauh lebih kuat dari semua tipu daya setan. Allah adalah Al-Awwal, tidak ada satu pun yang mendahuluiNya, yang Maha Menciptakan segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakan.”

“Gendro Swara Pati sewaktu-waktu bisa datang dan kembali berulah. Itu sudah ciri khasnya. Dia datang saat semua terlena. Saat kepatuhan manusia pada syariat mulai luntur. Sementara syariat merupakan pondasi pertama dalam mengarungi makrifatullah. Saat orang-orang tak lagi ingat terhadap Dzat Yang Maha Agung. Di situlah Gendro Swara Pati akan datang,” jelas Nunuk.

“Sekiranya hanya kejernihan hati, ketajaman spiritual, dan keheningan jiwa, yang dapat membuat manusia tetap waspada. Itu menjadi alat ukur bagi kita agar tidak terjatuh dalam dosa-dosa yang kita tidak sadar telah melakukannya.”

Keduanya diam dalam kesunyian yang sedang berkuasa. Yang terdengar cuma hembusan nafas yang lembut. Namun demikian ada kekuasaan besar mencabik-cabik pendalaman mereka, terutama Nur. Pikirannya kini mulai terbuka. Berpikir dia dengan sungguh-sungguh. Bahwa di balik semua pengalaman yang dialaminya malam itu, ada sesuatu hal yang menjadi perhatiannya. Dan, itu terletak pada diri anaknya. Sebelum semuanya terlambat, Nur harus mengambil keputusan demi kebaikan anaknya.

“Baru kali ini saya melihat Wiwid bahagia sejak kedatangan Mbak Nunuk. Sejak makhluk halus itu tidak lagi merasuki raga Wiwid, saya melihat perubahan sikap dan raut wajahnya. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah melihat Wiwid seperti itu.”

“Apa yang Mbak Nur pikirkan?”

“Saya ikhlas jika Wiwid mondok di Kediri. Saya tahu Mbak Nunuk telah mengusir Gendro Swara Pati. Saya tahu sosok jahat itu tidak akan menganggu anak saya lagi. Tetapi yang namanya ibu, rasa was-was itu pasti ada. Saya tidak mau anak saya kembali terjerumus dalam lubang yang sama.”

“Mondok itu tidak mudah, Mbak. Terutama bagi para orangtua. Saya harus memendam perasaan rindu selama bertahun-tahun pada anak-anak. Dan seperti kata Mbak Nur tadi, memendam perasaan kangen itu seperti penganggu hidup kita. Sudah siapkah Mbak Nur dengan itu!” Seru Nunuk mengingatkan.

“Siap tidak siap, saya harus siap. Apalagi semua ini demi kebaikan Wiwid. Saya yakin Wiwid akan bahagia di tempatnya yang baru. Selain itu, dengan pendidikan agama yang kuat seperti Aisyah dan Fatimah, dapat menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan mungkar,” urai Nur.

“Insya Allah. Semoga keinginan Mbak Nur diridhoi olehNya.”

“Aamiin.”

“Jika sudah berniat dan dipikirkan matang-matang, Mbak Nur dan suami bisa datang ke pesantren kapan saja. Temui Mas Iksan. Dia mantan suami saya, bapak dari anak-anak saya. Nanti Mbak Nur bisa menceritakan semuanya pada beliau,” ucap Nunuk.

Nur mengangguk.

Hari itu tidak ada lagi yang bisa diceritakan Nunuk. Semua rangkaian peristiwa dan kejadian telah diurai. Misinya melindungi Wiwid telah selesai. Sementara dia harus kembali pada perjalanan yang penuh liku dan melelahkan. Kehujanan. Kepananan. Kedinginan. Berpuasa lagi. Kelaparan lagi. Memisahkan diri dari orang-orang dan hingar bingar. Selama mungkin. Sendirian seterusnya. Tak mengenal siapapun atau dikenal siapapun. Berpindah-pindah tempat. Singgah dari satu kota ke kota lain. Tinggal di kampung orang. Tidur asal-asalan. Kadang rasa sakit datang mendera. Pokoknya berjuang dan berjuang. Untuk apa? Untuk sesuatu yang menurutnya benar, yang mungkin bagi orang lain keliru.

Sekali tempo Nunuk berpikir, akan berada di ujung mana perjalanannya. Setelah berkeliling Walisanga, akankah semua itu berakhir? Ataukah akan ada lagi perjalanan berikut-berikutnya? Akankah dia dapat bertemu Sahid? Bagaimana cara Nunuk bertemu cinta terakhirnya? Bukankah semua perjalanan itu dilakukan demi cintanya, demi orang yang dipujanya, demi tambatan hatinya. Tidakkah itu cukup membuktikan bahwa cintanya seluas samudera dan seluas cakrawala. Sakit dan perih terkadang merayap dalam lubuk hatinya yang terguncang hingga mengakibatkan bergetar hebat. Namun setiap ingat Sang Kekasih, dia mampu bertahan. Barangkali ingatan pada Sang Kekasih itulah bagian dari pertolongan. Itulah yang membahagiakannya, mencerahkannya, dan menyinarkannya. Dengan cara itu Nunuk dapat mengurai makna cinta sejatinya pada sosok Sahid.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...