Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #65

Matinya Penumbal

Oleh: Jendra Wiswara

Tak terasa, musim hujan telah tiba. Matahari pagi lebih banyak bersembunyi di peraduan karena tertutupi mendung. Lebih sering diganti dengan bunyi gemuruh yang bersahut-sahutan. Lalu awan gulita mengepung langit. Di situlah tanda-tanda hujan membasahi bumi.

Nunuk mulai terbiasa dengan perjalanan yang berat. Setiap tempat yang disinggahi meninggalkan keindahan tersendiri. Alam begitu pintar menggambar dengan caranya sendiri. Membiaskan semua panorama untuk kemudian menuturkan melalui prilakunya. Dengan jeli alam mengekpresikan perasaan pada setiap makhluk.

Terkadang hawa yang mula-mulanya sejuk dibuat alam menjadi dingin menyengat. Orang-orang pun berkemul sarung. Berdekapan satu sama lain. Saling menghangatkan badan dengan kopi dan rokok. Sesekali, alam dengan seenaknya mengubah hawa. Menjadi panas. Sumuk. Membuat badan bermandi keringat. Itulah kekuasaan Ilahi. Tak seorang pun dapat mengatur kecuali Sang Pemilik alam.

Nunuk menghembuskan nafas besar. Dia tidak tahu kini berada di mana. Tujuannya tidak tentu. Yang jelas dia harus berjalan ke arah Timur. Menuju makam Sunan Bonang di Tuban. Betapa banyak rintangan yang dihadapi perempuan seorang diri ini. Kesenyapan yang menyusul terasa agak tegang.

“Sekarang aku harus kemana?” Batinnya berkata. Sudah berhari-hari dia berjalan sejak dari Yogyakarta. Dia tidak tahu arah. Dia pun duduk termenung di tepi jalan. Tidak seperti biasanya, malam ini terasa berbeda dengan malam-malam sebelumnya.

Dengan ragu dia bangun. Mengangkat tangan kirinya. Kemudian pergi. Jalannya tegap, tanpa menoleh ke belakang. Sekira 500 meter, langkahnya terhenti. Nampak dari kejauhan kerumunan orang. Mereka berkerumun di sebuah rumah. Entah sedang apa. Sesuatu telah terjadi. Seorang lelaki terpencar dari kerumunan. Nunuk mendekati.

“Ada apa, Pak?” Tanyanya.

“Ada anak kesurupan. Dari sore teriak-teriak. Sudah banyak orang membantu tapi tidak bisa. Anak itu terus saja berteriak histeris.”

Nunuk mengangguk mendengar cerita itu.

“Apa sudah sering begini anaknya?”

“Ini yang kesekian kalinya. Kalau sudah kecapekan, dia tertidur. Esoknya dia bangun dan lupa dengan kejadian yang dialaminya,” tuturnya.

“Apa boleh saya melihat?” Nunuk meminta ijin.

“Oh boleh, silahkan,” jawab pria itu tanpa menaruh curiga sama sekali.

“Ibu darimana dan mau kemana?”

“Sekedar lewat saja, Pak. Kebetulan tadi lihat kerumunan. Saya penasaran ingin melihat,” balas Nunuk.

Nunuk melangkah memasuki rumah dengan langkah sigap. Beberapa orang saling menyibak satu sama lain, memberi jalan pada Nunuk. Perempuan itu hanya bisa menyapa dengan senyuman dan memberi salam.

“Assaamualaikum,” uluk salam Nunuk sesekali membungkukkan badan.

“Waalaikumsalam,” salamnya dijawab serempak.

Warga saling memandang satu sama lain. Mereka bertanya-tanya siapa perempuan asing tersebut. Dari mana dia datang dan bagaimana dia tiba-tiba bisa berada di sini. Siapa yang mengijinkannya masuk.

Dengan sopan Nunuk duduk di ruang tamu. Perhatian semua orang tertuju pada orang baru di hadapan mereka.

Nunuk lantas memperkenalkan diri.

“Saya Nunuk. Saya kebetulan lewat sini,” ucapnya.

“Ibu darimana?” Pemilik rumah bertanya dengan sopan.

“Saya dari Kadilangu.”

“Demak!” Seru pemilik rumah.

Nunuk mengangguk. Dia kini sedang menguji pikirannya sendiri. Mendengar seorang anak berteriak di dalam kamar, Nunuk berusaha mendapatkan sebuah kebenaran. Sembari menjawab pertanyaan pemilik rumah, konsentrasi Nunuk sebenarnya tertuju pada suara teriakan tersebut.

“Kalau boleh tahu siapa nama anaknya?”

“Intan, Bu. Dia masih umur 8 tahun. Sudah sebulan ini Intan mengalami kejadian seperti ini. Kalau kumat, bisa sampai seharian. Orang-orang pada berkumpul di sini untuk membantu. Tapi ya itu, semua ketakutan,” cerita ibu Intan.

“Apa sudah coba dicarikan pengobatan?”

“Sudah. Kami sudah periksakan Intan ke medis. Lewat cara alternatif pun sudah. Cuma katanya dalam tubuh Intan dirasuki jin yang sangat kuat.”

Pembawaan Nunuk tenang. Tidak nampak kepanikan. Apalagi ketika disebut sosok jin merasuki tubuh anak gadis tersebut. Maklum, Nunuk sudah bertahun-tahun terbiasa hidup dengan jin yang merasuki tubuhnya. Bahkan, saat terakhir kali berkunjung di Pangandaran, Nunuk berhasil mengusir Gendro Swara Pati berserta bala tentaranya.

“Sekarang Intan bagaimana keadaannya?” Nunuk bertanya lagi.

“Di dalam kamar. Kami terpaksa mengikat kedua tangan dan kakinya supaya tidak berontak.”

“Kasihan sekali. Boleh saya melihat keadaannya.”

“Apakah ibu Nunuk bisa bantu?” Ibunya Intan bertanya sekaligus berharap kehadiran Nunuk bisa menyembuhkan anaknya.

“Saya tidak tahu, Bu. Semua atas kebesaran dan kekuasaanNya,” jawab Nunuk.

Nunuk lantas berdiri.

“Bismillah,” ucapnya lirih diikuti orang-orang termasuk pemilik rumah yang mengiringi langkahnya ke dalam kamar.

“Silahkan, Bu!” Sahut pemilik rumah.

Begitu pintu kamar dibuka, terdengar teriakan meronta-ronta. Terkadang tertawa dengan penuh keperkasaan. Nampak kedua tangan dan kaki Intan terikat di tempat pembaringan. Rambutnya terurai panjang tidak beraturan. Wajahnya nyaris tertutupi oleh rambutnya. Terlihat matanya memerah dan memancarkan aura tidak baik. Dia meringis menahan kebengisan.

“Tumbal, aku mau tumbal, aku mau darah,” teriaknya.

Pelan-pelan Nunuk masuk. Nafasnya sedikit berat. Suara langkah kakinya diseret dan beradu dengan ubin lantai. Di hadapan anak gadis yang sedang kerasukan itu, Nunuk berdiri dan menggeleng. Seolah tahu sosok makhluk jahat yang merasuki tubuh Intan. Hanya saja dia tidak menyangka kejadian itu terulang begitu cepat.

Lama Nunuk tidak bersuara dan hanya memandangi anak gadis tersebut. Lalu meluncurlah ucapan uluk salam. Kata-katanya kalem dan membuat jiwa-jiwa yang mendengarnya menjadi tenang.

“Assalamualaikum,” kata Nunuk.

Seketika suara erangan berhenti. Orang-orang kaget. Mereka terpana. Seperti ada keajaiban turun dari langit.

Hanya satu ucapan salam langsung membuat Intan berhenti berteriak. Padahal sebelum-sebelumnya, warga sempat mencoba mengusir jin dalam raga Intan dengan bacaan ayat-ayat. Tak satu pun mempan. Sebaliknya, Nunuk dengan ucapan salamnya membuat tubuh Intan yang awalnya garang langsung lemas. Rupanya jin dalam tubuh Intan mengenal suara tersebut. Tidak asing.

“Nunuk,” suara serak anak gadis itu.

Orang-orang yang menyaksikan kejadian dibuat heran. Bagaimana mungkin Intan mengenal Nunuk. Padahal dia belum pernah bertemu sebelumnya. Makin yakinlah mereka bahwa perempuan di hadapannya bukan orang biasa. Mereka berkeyakinan Nunuk dikirim Tuhan untuk menyembuhkan Intan dari penyakit anehnya.

Tanpa disuruh, Nunuk pun duduk di samping pembaringan. Tangannya mencoba meraih tubuh anak gadis tersebut. Sontak hal itu membuat jin di dalam tubuh Intan keblingsatan. Jin yang awalnya merasuki Intan dengan ganas dan mengerikan, tiba-tiba tak berdaya di hadapan Nunuk. Dia juga tak berani meronta-ronta seperti sebelumnya, apalagi berteriak dan tertawa. Saat Nunuk menyentuh perut anak gadis itu, seketika tubuhnya bergoyang-goyang ingin menghindar.

Lagi-lagi pemandangan ini membuat orang-orang terperanga. Padahal sebelumnya anak gadis itu selalu berteriak histeris setiap kali didekati orang. Namun di depan Nunuk, anak gadis itu justru tak berkutik. Jangankan melawan, berteriak saja tidak berani.

Lalu Nunuk dengan gesit menyorongkan badannya dan membisikkan sesuatu ke telinga anak gadis tersebut.

“Aku sudah bilang jangan ganggu anak manusia lagi. Kau memang harus dimusnahkan, Gendro,” bisik Nunuk.

“Ampun, Nuk. Maafkan aku. Ampuuun,” suara mengiba dari Gendro Swara Pati yang sedang merasuki anak gadis itu.

“Terakhir aku sudah memperingatkanmu. Mas Sahid juga,” bisik Nunuk.

“Ampuuun, Nuk. Ampuuun…ampuuun…”

“Biarlah Allah yang memutuskan nasibmu,” bisik Nunuk.

Selesai berbisik, Nunuk memandang wajah Gendro Swara Pati dengan tatapan tajam. Tatapan itu bagaikan senjata panah yang dilesakkan. Sementara Gendro balik menatap wajah Nunuk. Kali ini dengan tatapan penuh ketakutan. Seolah itu adalah hari terakhirnya sekaligus akhir dari petualangannya mencari tumbal manusia.

Gendro Swara Pati berusaha berontak. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke pembaringan. Dia meringis mengiba. Pada akhirnya matanya terpejam dan mencoba kabur keluar dari raga Intan. Buru-buru Nunuk mencegah. Kepala anak gadis itu dipegang. Kekuatan jin jahat itu dibuat tak berdaya. Luntur kesaktian Gendro. Telapak tangan Nunuk bagaikan cakar harimau mencengkram mangsanya dengan sangat kuat. Begitu dicengkram, menempel-lah selamanya. Padahal tak sepatah kata pun keluar dari mulut Nunuk. Tak ada doa-doa khusus. Tak ada bacaan ayat-ayat suci. Hanya dengan itu saja sudah cukup membuat Gendro Swara Pati kehilangan kekuatannya. Mendadak jin jahat tersebut merasakan hawa panas menjalar di sekujur tubuhnya. Gendro semakin kesulitan keluar. Hanya meronta kesakitan.

“Ampuuun, Nuk. Panaaas…panaaas…ampuuun, Nuk. Ampuuun,” teriaknya.

Suasana menjadi tegang. Orang-orang mulai ketakutan. Ada yang pergi menjauh. Ada yang bertahan di tempatnya dengan harap-harap cemas.

Selang beberapa menit suara teriakan itu menghilang. Bersamaan dari ubun-ubun anak gadis tersebut keluar kepulan asap putih. Seketika itu menghilang. Gendro Swara Pati, si peminta tumbal manusia telah mati. Musnah. Pindah ke alam lain.

Nunuk melepas pegangan di kepala Intan. Wajah Intan mulai berangsur-angsur membaik tetapi masih dalam kondisi tak sadarkan diri. Dia lantas mengusap wajah anak gadis malang tersebut. Merapikan rambutnya yang acak-acakan. Kemudian mengecup keningnya. Pertanda semua akan baik-baik saja.

“Alhamdulillahirabilalamin,” ucap Nunuk lirih sembari menengadahkan tangannya ke atas dan diakhiri dengan mengusap wajahnya.

Untuk kesekian kalinya Nunuk berhasil mengusir Gendro Swara Pati. Bukan itu saja, atas ijin Allah, jin jahat itu juga berhasil dimusnahkan untuk selama-lamanya. Atas ijin Allah pula, Nunuk berhasil memerdekakan jiwa-jiwa suci dari keburukan, dari ketakutan-ketakutan, dari perbuatan kotor, dari niat-niat buruk yang telah menodai keadaan hati yang bersih.

Sejenak suasana hening. Orang-orang masih tidak beranjak dari tempatnya. Kejadian malam itu membuat mereka semakin takjub akan kebesaranNya. Malam itu Nur Ilahiah turun dalam keadaan dan situasi kesempurnaan melalui seorang perempuan yang dirahmati dengan kesabaran dan legawa. Nunuk termasuk orang yang puas menerima takdirNya sehingga dibukakan pintu menuju pencerahan dan pengelihatan batin. Memang banyak jalan menuju Allah sebanyak nafas manusia. Akan tetapi sebagai pencari spiritual yang bersungguh-sungguh, Nunuk diperintahkan untuk menyembah dengan sepenuhnya kepada nurNya. Itu yang membuatnya semakin khusyuk dalam jalan kesempurnaan dan keesaanNya.

***

Kamar Intan yang tadinya suwung dan terkesan angker, kini tidak lagi. Sebelum keluar kamar, Nunuk melepas ikatan di tangan dan kaki Intan. Nampak anak gadis itu masih terbaring lemah.

“Kasihan kamu, Nak. Di usiamu yang masih belia harus menerima cobaan sebesar ini. Semoga Allah menjagamu,” batin Nunuk sembari membelai wajah Intan.

Nunuk kemudian beranjak dari kamar. Dia disambut orang-orang yang tadinya menunggu di luar kamar. Nampak ibu Intan tak bisa menyembunyikan keharuannya. Dia tahu bahwa kehadiran Nunuk di rumahnya telah membawa harapan bagi anaknya. Itu yang membuat dia haru. Tak bisa menahan airmata. Entah berapa kali dia harus menyeka airmatanya yang tumpah. Para ibu-ibu yang hadir malam itu juga merasa lega. Mereka sumringah. Kebahagiaan terpancar di raut-raut wajah itu. Tak lagi dihinggapi perasaan takut dan was-was. Perasaan mereka mulai tenang.

Kendati demikian, orang-orang tetap penasaran ingin mendengar cerita langsung dari mulut Nunuk. Apakah kejadian pengusiran jin berhasil diusir dilakukan Nunuk? Atau keberhasilan itu sifatnya hanya sementara, sebab lain waktu jin jahat itu akan kembali dan meneror anak gadis tersebut?

Ibu Intan mempersilahkan Nunuk duduk di ruang tamu. Orang-orang tidak sabar menanti sebuah jawaban. Nunuk meraih segelas teh di depannya. Diteguknya satu kali, dan meneguk lagi. Hingga menyisakan sedikit isi di dalamnya.

Semua mata memandang padanya. Perempuan itu tahu apa yang hendak disampaikan. Orang-orang pasti menginginkan jawaban menyenangkan.

“Alhamdulillah, anak bapak dan ibu, untuk saat ini dan selamanya tidak akan lagi mengalami kejadian seperti tadi. Insya Allah, Intan sudah sembuh dari penyakit anehnya,” kata Nunuk.

“Alhamdulillahirabilalamin,” serempak dijawab orang-orang.

Yakinlah mereka, kedatangan Nunuk malam itu membawa berkah. Tidak semua peristiwa di dunia ini selalu muncul dengan penderitaan. Karena sesungguhnya ada perubahan di balik penderitaan. Takkan gagal sebuah permintaan jika disandarkan pada karunia Tuhan. Dan takkan mudah tercapai permintaan yang disandarkan pada kemampuan sendiri. Itulah doa yang ikhlas, doa yang tunduk pada kemurahan, petunjuk dan kesempurnaanNya. Sehingga Sang Khaliq pun mengijabahi anak gadis tersebut.

“Apa yang terjadi dengan Intan, bu?” Seorang warga memberanikan bertanya.

“Kita ambil hikmah saja, Pak. Semua kejadian di dunia ini ada yang mengawali dan ada yang mengakhiri. Kita pasrahkan semua pada Dia Yang Awal, Yang Akhir dan meliputi semua waktu,” jawab Nunuk singkat.

Nampaknya Nunuk tidak bersedia menjelaskan sosok makhluk jahat yang merasuki tubuh Intan.
Memang banyak hal bisa diceritakan soal Gendro Swara Pati. Akan tetapi, banyak hal buruk pula yang bisa diceritakan. Keburukan yang terus-terusan diceritakan akan membawa keburukan bagi lainnya. Itu tidak baik. Bagi Nunuk itu aib. Apalagi Gendro Swara Pati merupakan kisah masa lalu yang kelam. Ada banyak keburukan di dalamnya.

Yang hendak disampaikan Nunuk, sekiranya dari kejadian itu dapat muncul penyembahan yang rendah hati dan kesadaran terus menerus terhadap karuniaNya. Di antara tanda-tanda kesuksesan orang di akhir perjuangannya adalah jika dia berserah diri pada Yang Maha Hidup sejak awal perjuangannya. Apa yang dimulai dari cahaya akan diakhiri dengan cahaya dan kesenangan. Sebaliknya apa yang ditimbulkan dari kegelapan akan masuk dalam gelapnya kebodohan.

“Semoga kita dihindari dari kegelapan dan selalu kembali ke jalanNya yang lurus dan diridhoi,” pesan Nunuk.

“Aamiin,” dibalas serempak.

Dan, semua orang satu persatu mulai meninggalkan rumah Intan.

***

Tinggallah Nunuk di rumah tersebut. Kondisi rumah sudah sepi. Tidak seramai tadi. Begitu pula dengan jalanan. Hanya lalu lalang kendaraan-kendaraan besar yang terlihat. Kadang suara derunya terdengar hingga ke dalam rumah.

Semua hidangan dikeluarkan pemilik rumah. Tak satupun hidangan membuat Nunuk menyantapnya dengan lahap. Yang dia pikirkan justru melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan-jalan lagi. Berjalan di bawah bulan purnama. Berjalan di jalan setapak kampung demi kampung di bawah rumpun-rumpun bambu tepian kali, melewati ladang-ladang pisang yang tidak terawat, melintasi hamparan persawahan yang menguning. Dan dia akan berteduh jika terik panas begitu menyengat di ujung kepala, atau saat hujan turun.

Saat hendak pamit untuk meneruskan perjalanan, Nunuk buru-buru dicegah pemilik rumah.

“Ibu Nunuk sebaiknya bermalam di sini. Biar besok kita antar,” ucap ibunya Intan ramah.

“Kalau boleh tahu, ibu hendak kemana?” Tanya bapaknya Intan.

“Saya mau ke makam Sunan Bonang,” balasnya.

“Tujuan ibu sudah dekat,” jawab bapaknya Intan.

“Oh iya,” sahut Nunuk setengah kaget.

“Ini sudah masuk wilayah Tuban tapi perbatasan. Memang masih agak jauh jika ditempuh jalan kaki. Besok ibu bisa kita antar naik mobil. Atau jika ibu mau kemana, kami bisa antar.”

“Saya tidak mau merepotkan, Pak!” Seru Nunuk menolak dengan halus.

“Kami sangat ingin direpotkan ibu. Ibu sudah membantu anak kami. Rasanya kami harus membalas kebaikan ibu Nunuk,” sahut ibunya Intan.

Nunuk sebenarnya tidak mau menjelaskan alasan penolakannya. Namun karena mereka tetap ngotot ingin memberi tumpangan, perempuan bahu laweyan itu akhirnya menjelaskan soal tujuan perjalanannya keliling makam Walisanga.

“Saya sebenarnya tidak mau menceritakan ini. Mengingat bapak dan ibu terus memaksa kebaikan, ya bagaimana lagi. Jadi, bukan saya menolak tawaran bapak dan ibu. Tapi di tempat yang saya tuju, saya tidak diijinkan untuk menaiki kendaraan apapun. Saya juga tidak diijinkan menerima pemberian uang dari siapapun. Kecuali diberi makanan untuk bekal perjalanan. Jadi maafkan saya jika untuk kali ini harus menolak tawaran tersebut,” ucap Nunuk.

Kedua orangtua Intan tertegun mendengar kata-kata Nunuk. Mereka saling beradu pandang. Mereka tidak menyangka masih ada orang menjalankan perjalanan spiritual sedahsyat dan semustahil itu.

“Apa kami tidak salah dengar, Bu!” Seru ibunya Intan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Ibu tidak salah dengar,” sahut Nunuk menggelengkan kepala.

“Bagaimana ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari?”

“Allah yang memenuhinya.”

Mereka masih tidak percaya.

“Saya masih belum paham.”

Nunuk memejamkan mata. Antara mau meneruskan jawaban atau tidak.

Lalu dia berkata, “Ketika kita lahir apakah pernah meminta diberi pakaian, selimut, susu, hingga popok?”

Ibunya Intan menggeleng.

“Pernahkah kita bertanya bagaimana Dia memenuhi kebutuhan kita? Kita tidak pernah tahu itu. Dia punya caranya sendiri. Cara Dia sangat misterius. Biasanya yang namanya permintaan lebih dahulu dikabulkan ketimbang pengharapan atau doa. Bukankah itu sudah kita alami sejak masih bayi. Semua orang dilahirkan dalam keadaan suci tanpa dosa. Masih fitrah. Tak ada sesuatu urusan duniawi yang mengganjal dalam pikiran kita. Dia pun mencukupi semuanya. Namun seiring bertambahnya usia, mulailah manusia tercampur dengan dosa. Kesucian ternodai. Duniawi menjadi dominan dari ukrawi. Alam lahir menjadi penentu segalanya, alam batin terabaikan,” urai Nunuk.

“Bagaimana orang bisa kembali fitrah?”

“Ada orang yang menjadikan Dia sebagai dalil. Ada pula yang menjadikan alam sebagai dalil.”

“Saya tidak mengerti maksud ibu Nunuk,” balas bapaknya Intan.

“Orang yang menjadikan Dia sebagai dalil berarti telah mengenal hak dan meletakkannya secara benar. Sehingga menetapkan segala sesuatu dari asal mulanya. Sedangkan orang yang menetapkan alam sebagai bukti keberadaan Dia, menunjukkan bahwa dia tidak wushul atau sampai pada Al-Haq. Sejak kapan Dia itu gaib dari pengelihatan sehingga memerlukan dalil alam untuk mengetahuiNya? Sejak kapan Dia itu jauh sehingga alam pun dijadikan sarana untuk mendekat padaNya?”

Mereka terdiam. Sama sekali tak membuka mulut. Juga tidak menatap mata perempuan di hadapannya. Melainkan saling merenung. Sambil menanti kata-kata Nunuk berikutnya.

“Insya Allah, saya ikhlas dengan keadaan saya yang sekarang,” tandas Nunuk mengakhiri kata-katanya.

Setelah semua penjelasan panjang lebar itu, mereka tidak lagi memaksa tawaran kebaikan pada Nunuk. Mereka tak mau merusak kebaikan yang selama ini sudah dijalani oleh Nunuk. Yakni sebuah kebaikan yang datangnya dari Allah melalui proses spiritual panjang dan berliku.[bersambung]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...