Bahu Laweyan #62
Melawan Ribuan Jin
Oleh: Noviyanto Aji
Empat hari telah lewat. Nunuk terpaksa menunda perjalanannya. Selama belum berhasil mengusir Gendro Swara Pati, dia takkan beranjak dari rumah itu. Suasana semakin menggelisahkan. Terutama yang dirasakan penghuni rumah.
Nur masih tidak menyangka anaknya dirasuki makhluk jahat. Saat Wiwid menikah kelak, dia akan menjadi seperti Nunuk muda. Suami-suaminya mati. Penyebabnya makhluk jahat yang bersemayam di tubuhnya. Nur tak mau hal itu terjadi. Wiwid adalah anak semata wayangnya. Dia sangat mencintai dengan sepenuh jiwa dan raga. Nur tak sudi raga anaknya dirasuki Gendro Swara Pati.
Sementara Nunuk telah siap menanti kedatangan Gendro Swara Pati, meski yang ditunggu tak juga menampakkan diri. Nunuk sebagaimana Nur, takkan membiarkan Gendro Swara Pati merasuki raga Wiwid. Sebab, dia pernah mengalaminya. Betapa hina dirinya. Diperalat jin untuk melakukan perbuatan terkutuk. Nunuk sudah berusaha melawan, tetapi tetap tak berdaya. Pada akhirnya dia harus menjadi budak jin. Bersekutu dengannya. Itu sama artinya keluar dari iman.
Beruntung ada orang-orang alim berhasil membebaskannya dari cengkeraman makhluk jahat. Iksan dan Sahid termasuk orang-orang alim yang membawanya keluar dari jalan kegelapan menuju cahaya Ilahi.
Dan kini, Nunuk dihadapkan pada keadaan sebaliknya. Membantu Wiwid terbebas dari cengkeraman Gendro Swara Pati. Kelak makhluk jahat itu akan memperalatnya. Menjadikannya sebagai budak. Membunuh orang-orang terkasihnya. Karenanya Gendro Swara Pati harus diusir.
Namun sekali lagi, yang ditunggu tak kunjung datang, Nunuk semakin yakin Gendro Swara Pati telah mempersiapkan segalanya, termasuk mengajak teman-temannya sesama jin untuk menyerang rumah Wiwid. Apakah Nunuk takut? Tidak. Sama sekali tidak ada rasa takut dalam diri Nunuk. Sekarang ini yang ada dalam dirinya hanya Sang Kekasih. Nunuk baru paham kata-kata Sahid ketika dirinya sedang sholat di tengah hutan. Waktu itu dalam tidurnya, Sahid terus menerus menyebut Sang Kekasih. Bahkan, setiap kali Nunuk membatin, selalu dibalas Sahid dengan kata-kata Sang Kekasih.
Nunuk baru paham itu. Baginya, Sang Kekasih tak lagi terhalang oleh sesuatu apapun. Sebab Dia telah menampakkan segala sesuatunya. Sang Kekasih sangat nyata dari keadaan sebelumnya. Dia lebih dekat kepadanya daripada segala sesuatu. Sang Kekasih menampakan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahayaNya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Maka, tampaklah segala keperkasaanNya (Al Aziz) dan kemuliaanNya (Al Karim) pada benda atau orang-orang yang hina.
Dan, Nunuk termasuk orang-orang hina itu. Karena kehinaannya, Nunuk bersimpuh di hadapan Sang Kekasih. Luruh atas kebesaranNya yang punya hak menghidupkan dan mencabut nyawa setiap makhluk. Pun, seluruh alam semesta bersujud dan bertasbih kepadaNya, tetapi tidak banyak yang mendengar dan memahami tasbih mereka. Tiada sesuatu dan satupun yang menyamaiNya.
Sang Kekasih tajalli pada alam semesta merupakan isyarat bahwa Sang Kekasih bisa bertajalli pada apapun. Pada makhlukNya, pada manusia, pada binatang, pada tumbuhan, pada benda-benda mati, pada langit, pada bumi, pada gunung-gunung. Sebagaimana tajalli Sang Kekasih pada bukit Sinai atau puncak Sin. Bukit yang tiada memiliki kesombongan, tanpa mengagung-agungkan dirinya. Tetapi, dialah yang namanya diagung-agungkan. Dialah awal kejadian, yang mula-mula diciptakan adalah nur nabimu. Di situlah tajalli Sang Kekasih pada ke-Esa-an, sehingga membuat Musa pingsan dan gunung-gunung hancur, kecuali puncak Sin. Yang ada hanyalah hati dan pikiran fana, lalu terasa kemanisan dengan keindahan tiada tara. Rasa yang tiada berasa.
Atas keyakinan itu, keragu-raguan Nunuk sirna. Kecemasannya hilang. Ketakutannya pupus.
Dirinya bukan siapa-siapa di hadapan Sang Kekasih. Begitu pula Gendro Swara Pati. Semua makhluk di alam ini, mulai yang bernyawa maupun yang tidak, berada dalam keagunganNya. Jika Nunuk tewas saat melawan Gendro Swara Pati, nyawanya akan kembali menjadi milikNya.
Nunuk menarik wajah serius. Lalu mencandai dirinya. Tersenyum sendiri. Dia larut dalam kemesraan bersama Sang Kekasih. Tiada kecurigaan sama sekali. Meski matanya selalu awas mengamati sekelilingnya. Lalu mulai berhitung. Menggunakan jari-jarinya. Sebulan telah lewat. Hampir dia lupa tanggal dan bulan.
“Oh, Kekasihku. Aku sekarang sedang bersamaMu. Karena Kau, aku lupa segalanya. Kau cahaya paling cemerlang, sumber dari segala. Lenyaplah aku dalam nurMu yang agung. Tiada kata maupun huruf. Hanya kerinduanku padaMu,” Nunuk mulai menguntai bait-bait syair.
Untuk sesaat lamanya Nunuk tertunduk. Keheningan menyelimuti jiwanya. Hingga, dia tak mendengar sesuatupun kecuali suara lubuk hatinya. Hati dan pikirannya hanyut dalam keindahan pengaturan gerak dan diamnya alam semesta, dimulai dari tingkah polah manusia yang penuh misteri. Sehingga terlihat jelas af’al Sang Kekasih. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat mendindingi Sang Kekasih dari pandangan batin. Yang terdinding adalah manusia itu sendiri. Benar-benar mengagumkan.
Di tengah sanubari Nunuk dihinggapi cinta dan kasih dari Sang Kekasih, saat itu terjadilah apa yang terjadi. Di halaman rumah tiba-tiba muncul ribuan jin. Jumlah mereka lebih banyak dari jin-jin di tengah hutan yang pernah ditemui Nunuk bersama Sahid. Dan di antara mereka ada Gendro Swara Pati.
Entah darimana Gendro Swara Pati mengumpulkan bala tentaranya. Nampaknya Gendro sengaja meminta bantuan jin-jin tersebut karena sudah mengetahui kemampuan Nunuk. Mereka muncul dalam beragam wujud. Tdak ada yang mengenakkan pandangan mata. Ribuan jin itu berwujud menyeramkan. Mereka hinggap di banyak tempat. Ada yang bertengger di pohon. Ada yang duduk-duduk di atap rumah, ada yang muncul dari dalam tanah, ada yang melayang-layang di udara. Semua menunjukkan kekuatannya masing-masing.
“Nunuk, keluarlah,” teriak Gendro Swara Pati.
Yang dipanggil tak kunjung keluar. Padahal Nunuk ada di ruang tamu. Sendirian. Sementara pemilik rumah sudah terlelap tidur. Nunuk sebenarnya tahu kedatangan mereka. Dia bahkan mendengar teriakan Gendro Swara Pati. Hanya saja, Nunuk masih belum selesai bermesraan dengan Sang Kekasih.
Lalu, sebuah dentuman keras terdengar di atas rumah. Itu suara-suara jin hendak mendobrak masuk. Nunuk tak bergeming. Kaget pun tidak. Dia tetap berasyik masyuk dengan dirinya. Senyum kebahagiaan merekah. Nunuk dimabuk cinta Sang Kekasih.
Dentuman serupa kembali terulang. Yang kedua kali membangunkan pemilik rumah. Nur dan Wiwid tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Anehnya, hanya mereka yang mendengar suara berisik tersebut. Sementara para tetangga tidak mendengar apa-apa. Mereka tertidur pulas. Barangkali para jin itu telah menghipnotis mereka.
Suara berikutnya makin terdengar kencang. Nur dan Wiwid lari ketakutan menuju ruang tamu. Keduanya mendapati Nunuk sedang tersenyum sendiri layaknya orang gila.
“Mbak Nunuk, itu tadi suara apa?” Tanya Nur.
Nunuk tetap dalam kemajenunannya. Sebuah kesadaran tingkat tinggi. Sebuah keadaan tidak terbatas. Sebuah kebingungan akan ke-MahaNyataan. Pada kondisi ini Nunuk telah memfanakan diri. Luruh kehambaannya ke dalam ketiadaan. Di saat itu pandangan batin, mata pandangan batin, dan nyala pandangan batin Nunuk benar-benar terbuka.
“Mbak Nunuk?” Panggil Nur ketakutan seraya mendekat dan duduk di sebelahnya. Sesekali kepalanya didongakkan ke atas, sekedar memastikan arah datangnya suara. Sementara suara-suara dentuman di atap rumah terus terdengar. Makin lama makin keras.
Nunuk tak menggubris. Masih terlena dalam kefanaan diri.
“Duarrr!” Suara dentuman itu makin kencang hingga membuat Nur dan Wiwid menutup telinga.
“Mbak Nunuk, tolooong!” Seru Nur.
Nur mengira Nunuk sedang kerasukan. Dia berusaha menggoyang-goyangkan tangan perempuan bahu laweyan tersebut agar segera tersadar.
“Bu Nunuk, assalamualaikum,” giliran Wiwid memanggil sambil mengucap uluk salam, sesegera mungkin gadis cilik itu memeluk tubuh Nunuk karena ketakutannya.
Dan entah bagaimana, Nunuk tiba-tiba menjawab salam tersebut.
“Waalaikumsalam, Cah Ayu,” ucap Nunuk.
Sejenak Nunuk membelai rambut Wiwid. Mengusap-usap pipinya dengan lembut. Dan diakhiri dengan kecupan di kening. Sambil tersenyum Nunuk berkata, “Tidak usah takut, Nak. Ada Allah bersama kita,” sebut Nunuk.
“Kalian semua diam,” mendadak Nunuk berkata lantang sembari mendongakkan kepalanya ke langit-langit rumah.
Ajaib, suara dentuman itu seketika berhenti.
Suasana menjadi hehing. Para jin dibuat keder. Suara Nunuk yang sebenarnya pelan jika didengar manusia, sebaliknya menjadi pelantang bagi ribuan jin di luar sana. Suaranya mengeluarkan resonansi tinggi, menghasilkan gema dan dengungan keras sehingga memekakkan pendengaran ribuan jin.
“Mbak Nur, sabar ya. Saya mau keluar dulu,” kata Nunuk menepuk pundak Nur, tetapi buru-buru dipegang tangannya oleh Wiwid.
“Ibu mau kemana?”
“Nak, ibu mau keluar dulu. Mau cari udara segar di luar,” sahut Nunuk mengedipkan mata pada Nur seperti memberi kode.
Nur tahu maksud Nunuk. Dia keluar rumah untuk menghadapi Gendro Swara Pati dan bala tentaranya sendirian. Nur berusaha berbohong dan meyakinkan Wiwid agar tidak perlu mengkhawatirkan Nunuk.
“Wiwid bersama ibu saja di sini. Ibu Nunuk mau keluar cari udara segar,” kata Nur berbohong.
***
Nunuk membuka pintu rumah. Turun dari anak tangga dengan pelan. Lalu berjalan menuju halaman rumah. Seperti rumah-rumah di pedesaan pada umumnya, halaman rumah sangat luas. Hampir seluruh tanah yang mengitari adalah taman dengan pepohonan buah dan bunga-bungaan. Semua terawat baik. Dan di situ Nunuk berhenti. Hembusan nafasnya diumbar. Suaranya dalam dan lambat. Sekilas terdengar seperti orang berbisik. Nadanya lirih. Hanya batin yang bisa mendengar kedalaman suaranya. Nampaknya kemesraan Nunuk dan Sang Kekasih belum selesai.
Dalam keadaan itu, Nunuk mencoba memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tatapan matanya lurus ke depan. Sekali waktu menoleh ke kanan dan kiri. Berikutnya memutar badan. Melihat ke belakang. Kemudian sorot matanya diarahkan ke atas.
“Rupanya kalian berkumpul di sini,” Nunuk seolah-olah berbicara sendirian. Padahal itu ditujukan pada makhluk-makhluk tidak kasat mata.
Benar saja. Nunuk tengah menyaksikan ribuan jin berkumpul dalam berbagai wujud menyeramkan. Jumlah mereka lebih banyak dari jin-jin yang dihadapi Sahid saat di bawah kaki gunung Penanggungan. Ribuan jin itu menatap Nunuk dengan tatapan bengis dan siap menyerang. Satu orang melawan ribuan. Mustahil Nunuk melawan mereka dalam sekali waktu. Sementara Nunuk sendiri tidak memiliki kemampuan bertarung.
Rupanya hal itu tak membuatnya gentar. Selintas Nunuk menghadapkan matanya pada jin-jin tersebut, satu persatu. Tidak ada rasa jijik atau takut. Justru beberapa jin mulai merasakan tidak nyaman saat beradu tatapan dengan Nunuk. Sebagian jin mulai merasakan kekuatan sangat dahsyat dalam diri Nunuk.
“Aku tidak ada urusan dengan kalian. Urusanku hanya dengan Gendro Swara Pati,” Nunuk berkata lantang.
Sebagian jin saling menatap satu sama lain. Ada semacam keraguan dalam diri mereka. Melihat hal itu, Gendro Swara Pati maju ke depan. Sosoknya muncul begitu saja.
“Mengapa kau datang kemari, Nuk?” Tanya Gendro Swara Pati melangkah mendekati Nunuk.
“Urusan kita sudah selesai sejak di gunung Penanggungan,” tegas Gendro Swara Pati.
Nunuk tidak menjawab pertanyaan Gendro Swara Pati. Hanya membalas dengan senyuman. Baginya, tidak penting berkomunikasi dengan jin-jin jahat.
Saat Gendro Swara Pati sudah dekat, maka nampaklah wajahnya yang sangat menyeramkan. Matanya merah seperti darah. Memiliki taring yang siap menyerang mangsa. Selain itu, Gendro Swara Pati juga memiliki cakar. Dengan taring dan cakar itulah Gendro Swara Pati membunuh orang-orang terkasih Nunuk. Di balik sosoknya yang menyeramkan, ada dua bekas telapak tangan di pipi kiri. Di situlah dulu Sahid pernah menampar Gendro Swara Pati sebanyak dua kali. Tamparan itu membuat Gendro Swara Pati terguling-guling. Pada akhirnya meninggalkan bekas luka.
Sekian tahun lamanya sejak Gendro Swara Pati merasuki tubuh Nunuk dan membantai suami-suaminya, keduanya acapkali berkomunikasi. Namun komunikasi mereka hanya satu arah. Sebab, Nunuk lebih banyak tunduk pada kata-kata Gendro Swara Pati. Hal itu akibat dari ketidakberdayaannya. Sekali saja Nunuk melihat sosok Gendro Swara Pati secara langsung, yakni saat bersama Sahid di tengah hutan. Kini, Nunuk dan Gendro saling berhadap-hadapan. Jarak antara keduanya tak lagi ada pembatas. Sudah sangat dekat. Terlihat Gendro beberapa kali menggenggam dan membuka jari-jarinya untuk menunjukkan betapa runcing cakar-cakarnya. Dia pun siap menerkam lawannya. Sebaliknya, Nunuk dengan pembawaan kalem tak menunjukkan rasa takut sama sekali.
Ya, Gendro Swara Pati tetap dengan sikap kepengecutannya membawa ribuan bala tentara. Sementara Nunuk, kali ini dia harus menghadapi sendirian tanda ada Sahid di sampingnya.
“Kau masih belum kapok, Gendro. Bukankah Sahid pernah mengampunimu. Sekarang kau kembali dengan sikap pengecutmu. Kau bawa ribuan jin untuk melawanku,” kata Nunuk.
“Ini adalah pasukanku, Nuk,” balas Gendro Swara Pati menyombongkan diri.
“Kalian semua tidak membuatku takut,” sahut Nunuk.
“Kau sebenarnya mau apa, Nuk?” Tanya Gendro Swara Pati.
“Aku mau kau pergi dari sini. Jangan ganggu Wiwid. Urusanmu dengan manusia harus diakhiri.”
“Ha…ha…ha…siapa kau berani melarang-larang aku,” ejek Gendro Swara Pati sembari tertawa. Hal itu diikuti oleh jin-jin lain.
Mendadak sebuah tamparan melayang di pipi sebelah kanan Gendro Swara Pati.
Plok!
Jin jahat itu terguling-guling sangat hebat. Tamparan Nunuk meninggalkan hawa panas di pipinya. Persis seperti yang pernah dialaminya sewaktu ditampar Sahid dulu. Bedanya, Nunuk menampar Gendro Swara Pati dengan menggunakan tangan kiri.
Melihat hal itu, ribuan jin yang tadinya tertawa seketika terdiam. Mereka meyakini bahwa manusia di hadapannya bukan orang sembarangan. Tak banyak manusia bisa melakukan hal itu, kecuali orang-orang terpilih.
Sementara dari kejauhan Gendro Swara Pati bersusah payah untuk bangkit. Jin itu berjalan sempoyongan sembari memegangi pipinya yang mengeluarkan asap panas saking kerasnya tamparan Nunuk. Sehingga meninggalkan bekas luka berupa telapak tangan.
“Apa yang kalian tunggu. Serang dia!” Perintah Gendro Swara Pati yang geram melihat pasukannya terdiam terpaku.
“Ha…ha…ha…!” Tiba-tiba Nunuk tertawa lantang. Semua jin yang mendengar langsung menutup telinga. Suara tawanya menghasilkan frekuensi tinggi seperti sangkakala yang mengguncang langit dan bumi serta segala isinya.
“Ha…ha…ha…!” Nunuk terus tertawa. Suaranya makin kencang dan menggelegar. Suara lengkingan itu hanya bisa didengar oleh jin-jin di hadapannya. Ya, Nunuk kembali larut dalam ‘kegilaannya’ bersama Sang Kekasih. Nampak Nunuk mengerahkan pandangan mata hatinya menembus lapisan-lapisan langit dan bumi, kemudian tenggelam dalam pandangan ruhani secara terus menerus. Sehingga sirnalah apapun yang ada di langit dan bumi termasuk sirna dirinya. Yang ada nurul haq yang mengalahkan semua cahaya. Dialah wujud mutlak.
Tak beberapa lama Nunuk berhenti tertawa. Para jin satu persatu melepas tangannya dari telinga mereka. Suasana hening. Ribuan jin menatap Nunuk dengan pandangan mengiba dan tak berdaya. Sebagian dari mereka tanpa dikomando memilih pergi begitu saja. Menghilang dari pandangan mata. Sebagian lagi memutuskan tinggal karena penasaran dengan lawan yang dihadapi.
Meski banyak yang kabur, jumlah yang tinggal masih mencapai ribuan. Gendro Swara Pati yang belum percaya dengan kekuatan Nunuk, kembali memerintahkan pasukannya untuk menyerang.
“Ayo tunggu apa lagi. Serang dia. Semua maju,” perintahnya.
Dari segala arah, jin-jin itu mulai menyerang Nunuk. Sementara Nunuk tetap tenang. Sama sakli tidak menunjukkan sikap bertahan atau melawan. Dia tetap diam di tempatnya menatap ribuan jin yang menyerangnya secara keroyokan.
Sekira jarak tiga meter dari posisi Nunuk, mendadak ribuan jin tersebut berhenti bergerak. Mematung. Waktu seolah berhenti. Sekuat apapun mereka menggerakkan tubuhnya, semua sia-sia. Kekuatan mereka tiba-tiba menghilang. Ribuan jin itu tak berkutik. Ada semacam kekuatan maha dahsyat mengelilingi Nunuk yang membuatnya tak mampu diserang oleh ribuan jin.
Pada kondisi ini, Nunuk kemudian berucap lirih, “Allahu Akbar!”
Seketika ribuan jin yang tadinya tak bergerak terhempas ke segala penjuru. Hempasan itu bagaikan angin topan membuyarkan segalanya. Banyak dari mereka terhempas hingga berkilo-kilometer jauhnya. Meninggalkan sakit luar biasa. Kemudian satu persatu dari mereka bangkit. Kali ini tidak dalam posisi menyerang. Ada rasa takut dan getir menggelayuti mereka. Ribuan jin itu mulai sadar, bahwa lawannya memiliki kekuatan maha dahsyat yang tidak tertandingi.
Beberapa jin memilih kabur tanpa pamit. Sedangkan lainnya mengakui kehebatan Nunuk. Mereka mengapurancang sebelum akhirnya menghilang dari pandangan mata. Satu persatu jin-jin itu pergi hingga yang tersisa Gendro Swara Pati.
Gendro Swara Pati kebingungan. Semua pasukannya telah menyingkir. Dia sendiri sebenarnya hendak menyerang Nunuk, tapi ragu. Melihat ribuan jin dikalahkan Nunuk dengan mudah, Gendro Swara Pati mengurungkan niatnya.
“Kau…kau…Nuk, darimana kau punya kekuatan itu?” Tanya Gendro Swara Pati terbata-bata.
“Kau tak perlu tanya kekuatan itu darimana. Aku mau kau berhenti menganggu manusia!” Seru Nunuk.
“Atau kau mau apa, Nuk?” Tantang Gendro Swara Pati ragu-ragu.
“Atau aku akan menamparmu lagi, Gendro. Tamparan pertama tadi sengaja kulakukan sebagai pengingat bagimu. Sebagaimana dulu kau pernah ditampar Sahid. Tapi kau belum juga kapok. Tamparan kedua bukan lagi sebagai pengingat melainkan penghabisan,” balas Nunuk.
Mendengar itu Gendro Swara Pati langsung lunglai. Tak bisa dibayangkan akibatnya jika Nunuk kembali melayangkan tamparan kedua kalinya. Padahal dengan sekali tampar, dirinya terguling-guling dan meninggalkan sakit luar biasa. Selain itu, Nunuk juga dengan mudahnya mengusir ribuan jin tanpa melakukan apa-apa. Hal ini membuat Gendro Swara Pati menjatuhkan diri dan bersujud di hadapan Nunuk.
“Ampun, Nuk. Aku janji akan pergi dari sini,” kata Gendro Swara Pati mengiba.
“Jangan hanya pergi. Kau harus berjanji tidak akan mengganggu manusia lagi. Atau aku akan menghabisimu,” ancam Nunuk.
Mendengar ancaman itu, Gendro Swara Pati mengiba agar tidak dibunuh. Nunuk sebenarnya tidak memiliki niat membunuh. Dia ingat pesan Sahid, bahwa yang punya hak menghilangkan nyawa makhluk adalah Allah. Dia sengaja berkata demikian agar Gendro Swara Pati tidak mengulangi perbuatannya.
“Ampun, Nuk. Jangan bunuh aku. Aku janji tidak akan menganggu manusia lagi. Aku kapok. Aku tobat, Nuk.”
“Urusan tobat urusanmu dengan Allah. Aku hanya mengingatkanmu supaya tidak mengulangi perbuatan tercelamu. Banyak orang-orang tak berdosa mati di tanganmu. Kali ini aku pegang kata-katamu, Gendro. Jika kau mengulanginya lagi, aku akan mencarimu semudah aku mencarimu saat ini. Jika kita bertemu lagi, aku tak sendiri lagi melainkan bersama Sahid,” tegas Nunuk.
Gemetar sekujur tubuh Gendro Swara Pati mendengar nama Sahid. Semakin dalam dia menenggelamkan kepalanya ke tanah.
“Ampun, Nuk. Aku tidak mau bertemu Kyai Sahid. Aku janji takkan menganggu manusia lagi. Aku akan kembali ke alamku,” iba Gendro Swara Pati.
“Sekarang pergilah dari sini. Aku tak mau melihatmu lagi, Gendro,” ucap Nunuk.
Sebelum pergi, Gendro Swara Pati sempat mengangkat kepalanya dan menatap wajah Nunuk untuk terakhir kali. Pun Nunuk, balas menatap Gendro Swara Pati. Sosok Gendro Swara Pati yang sebelumnya bengis dan beringas tak nampak lagi. Keduanya kini saling menatap. Mereka akan berpisah untuk waktu yang sangat lama. Mungkin sampai ajal masing-masing menjemput. Tatapan keduanya seakan mengingatkan adanya kenangan di antara mereka. Kenangan itu telah bertahun-tahun dirajut bersama. Kenangan indah bagi Gendro Swara Pati selama bersemayam di tubuh Nunuk. Namun menjadi kenangan pahit tak terlupakan bagi Nunuk.
Gendro Swara Pati berpaling dari Nunuk. Melangkah pergi dengan gontai. Tak ada ucapan perpisahan di antara keduanya. Cukuplah bagi Nunuk melihat kepergian Gendro Swara Pati. Kendati demikian, ada harapan besar disematkan Nunuk di sana. Berharap kali ini Gendro Swara Pati menepati ucapannya, tak lagi menganggu manusia.
Tak berapa lama Gendro Swara Pati menghilang dari pandangan mata. Hanya satu kata yang keluar dari mulut Nunuk, “Alhamdulillah!” Ucapnya sembari mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.[bersambung]