Oleh: Ramli Lahaping
Segala bentuk cuaca, tidak membuat Tina terhalang untuk mengais rezeki. Setiap hari, janda itu akan menuntun gerobaknya untuk mengumpulkan barang-barang bekas yang bernilai jual. Ia melakukan pekerjaan tersebut dengan penuh ketekunan, hingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa perlu bantuan keuangan dari seorang anaknya yang bekerja di pulau seberang.
Tina memang tak ingin berpangku tangan. Ia merasa masih cukup bertenaga untuk menghidupi dirinya sendiri. Karena itu, ia kukuh untuk tidak meminjam atau mengemis uang kepada siapa pun. Ia bahkan senantiasa menolak pemberian orang lain yang menyantuninya atas dasar rasa kasihan. Ia merasa diri sebagai seorang pekerja dan bukan seorang peminta-minta.
Tetapi prinsip hidup itu tidak membuat ia memandang rendah para pengemis. Ia paham bahwa di tengah pergulatan hidup yang keras, akan ada orang yang akhirnya kalah dan tak bisa apa-apa selain mengharapkan bantuan orang lain. Belum lagi, memang ada sebagian orang yang memiliki ketunaan fisik atau kerentaan raga, sehingga mereka tidak mampu bekerja.
Karena itulah, meski hidupnya cukup sederhana, ia tak segan juga untuk menyedekahi orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya, termasuk para pengemis. Setiap kali ia memulung dan menemukan pengemis yang tampak memprihatinkan di jalanan, ia akan enteng untuk berbagi, entah dengan uang atau makanan.
Sampai akhirnya, sebulan yang lalu, di bawah hujan yang deras, ia menyaksikan keadaan yang membuatnya sangat tersentuh. Di tengah perjalanan pulangnya dengan mengenakan jas hujan, ia melihat seorang perempuan tua meringkuk di depan sebuah ruko yang tertutup. Setelah ia perhatikan baik-baik, ia pun tahu kalau perempuan itu adalah seorang pengemis yang kerap memangkal di perempatan jalan.
“Ibu kenapa? Ibu sakit?” tanya Tina kemudian.
Dengan tubuh yang menggigil, sang pengemis mengangguk saja.
Tina lantas meraba tangan dan dahi perempuan lansia itu. “Wah, badan Ibu panas. Ibu demam.”
“Iya, Nak. Aku merasa sangat kedinginan,” timpal sang pengemis.
Tina lalu memandang-mandang keadaan langit. Ia pun cemas sebab hujan tampak masih akan lama. Karena itu, ia lantas mengambil keputusan, “Kalau begitu, sebaiknya Ibu ikut ke rumahku, supaya Ibu bisa segera menghangatkan badan. Rumahku dekat dari sini, kok.”
Sang pengemis mengangguk setuju. “Iya, Nak.”
Akhirnya, Tina lekas memasangkan jaket hujannya ke tubuh sang pengemis. Setelah itu, ia memapah sang pengemis untuk naik ke atas gerobaknya, kemudian mendorongnya dengan cepat.
Tak lama berselang, ia dan sang pengemis tiba di rumah semi permanennya yang begitu bersahaja. Ia lantas menyeka basahan di tubuh sang pengemis dengan handuk, kemudian memberinya pakaian pengganti. Setelah itu, ia lalu memberinya sepiring nasi campur ala kadarnya, juga segelas teh hangat dan sebutir obat, agar keadaannya segera pulih.
Beruntung, setelah semua perlakuan itu, keadaan sang pengemis perlahan-lahan membaik.
“Terima kasih, Nak. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi kepadaku jika kau tidak menolongku,” tutur sang pengemis kemudian, dengan raut sayu.
Tina lalu mengangguk-angguk. “Sama-sama, Bu. Tetapi Ibu tak usahlah memperhitungkan soal itu.”
Sang pengemis lantas tersenyum. “Kau ini sungguh berhati mulia, Nak. Ketika orang-orang di jalanan mengabaikanku, kau malah sudi untuk menolongku.”
Merasa perbuatannya dilebih-lebihkan, Tina pun menyanggah, “Ah, memang sudah merupakan tanggung jawab kita untuk saling menolong, Bu. Ya, kebetulan saja aku yang menemukan dan menyadari keadaan Ibu tadi.”
Sang pengemis lekas menggeleng-geleng, kemudian menegaskan pujiannya, “Kau memang berhati mulia, Nak. Keadaan hidupmu begitu sederhana, tetapi kau rela berkorban untuk menolong orang sepertiku.”
Tina lantas tergelak pendek. “Jangan merasa berutang budi begitu, Bu. Aku merasa tidak mengorbankan apa-apa, kok. Aku hanya berbagi seadanya dan membantu semampuku.”
Wajah sang pengemis tiba-tiba berubah kuyu. “Aku sungguh malu terhadapmu, Nak. Kau ini, juga sudah cukup berumur, tetapi kau tetap saja bekerja dan tak segan-segan untuk berbagi. Sedangkan aku? Aku malah berpangku tangan dan mengemis,” tuturnya, lalu menitihkan air mata.
Tina pun jadi heran menyaksikan reaksi emosional sang pengemis. Ia lantas menggeser posisinya dan merangkul perempuan lansia itu. “Jangan merasa rendah diri, Bu. Ibu ini meminta uluran tangan orang-orang, ya, karena Ibu memang sudah terlalu tua untuk bekerja. Itu memang sudah sewajarnya.”
Sang pengemis tak lagi melontarkan kata-kata. Ia hanya terus mengurai air matanya.
Obrolan mereka pun terhenti.
Tina kemudian beranjak untuk membiarkan sang pengemis menenangkan dan mengistirahatkan dirinya di atas kasur.
Sampai akhirnya, saat sore menjelang, hujan benar-benar reda. Cahaya mentari terpancar cerah dari langit barat. Sang pengemis lantas meminta diri untuk pulang, dan Tina menyarankan agar ia tinggal saja beberapa waktu sampai keadaanya bugar. Tetapi sang pengemis berkeras pulang, dan Tina pun pasrah.
Akhirnya, sore itu juga, sang pengemis pulang dengan menumpang sebuah ojek. Tina mencoba menawarkan sejumlah uang untuk perongkosan, juga untuk keperluan lainnya, tetapi sang pengemis malah menolak dengan keras. Tina pun menyerah.
Hari demi hari berganti. Tina terus saja teringat pada sang pengemis. Ia mengingatnya secara khusus sebagai sosok yang rendah hati dan punya semangat hidup. Ia terus mengenangnya, sebab setelah kejadian di hari itu, ia tak lagi menemukan sang pengemis di jalanan, seolah-olah sang pengemis telah hilang ditelan bumi.
Sampai akhirnya, sore ini, Tina terkejut hebat. Ia tiba-tiba menemukan foto dan nama sang pengemis di halaman koran pulungannya. Pada halaman itu, tertulis bahwa seorang perempuan tua menawarkan sebuah rumah mewahnya kepada para calon pembeli, dan hasil penjualannya akan ia gunakan untuk membangun panti asuhan. Pada halaman tersebut, juga tampak foto rumah mewah yang dimaksud, yang membuat Tina jadi tak habis pikir.***
Penulis Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).