Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

ZOOM | CERPEN

Oleh: Anggie D Widowati

Profesor Jamaluddin duduk dengan tenang di depan laptopnya. Satu per satu wajah mahasiswa muncul di layar zoom. Rambutnya beruban di sisi kanan dan kiri kepalanya. Namun uban itu justru menambah kesan kepandaian sekaligus kearifannya.

“Sambil menunggu yang lain saya mau bertanya, apakah ada diantara kalian yang dari jurusan IPA?”

Audiens di media zoom itu tidak ada yang menjawab pertanyaan Prof. Kebanyakan diantara mereka memang mematikan mikrofonnya.

“Berapa orang lagi yang jadi siswa kelasku?” tanya prof pada mahasiswanya.

Lagi-lagi tak ada yang menjawab.

“Siapa ketua kelas di kelas ini?” tanya prof lagi.

Laki-laki itu melirik jam dinding yang ada di ruangan itu. Pukul delapan lebih 45 menit.

“Mana ketua kelasnya?”

“Saya prof.”

Seorang mahasiswi menjawab.

“Ketua kelasnya wanita?”

“Iya prof.”

“Siapa namanya?”

“Adelia Putri, prof.”

“Baik Adelia, berapa lagi yang akan ikut kuliah pagi ini?”

“Seluruh kelas ada 24 mahasiswa prof, ini sudah ada satu, dua, tiga, empat, dua puluh satu termasuk saya,” kata Adelia.

“Baik, kita mulai sepuluh menit lagi, sambil menunggu ya lain ya.”

Tepat pukul 09, profesor Jamaluddin memulai kuliahnya. Seluruh mahasiswa yang tercatat hadir memperhatikan ceramah yang disampaikan profesor antropologi itu.

Baru beberapa menit zoom itu berjalan, saat profesor sedang menyampaikan materi kuliah, tiba-tiba ada suara keras mengiringi ceramah profesor itu. Layar bergoyang, sepertinya laptop profesor itu terjatuh dan layar dosen itu menghilang.

Adelia memanggil-manggil profesor.

“Prof, prof apa yang terjadi?”

Namun tak ada jawaban. Profesor itu sudah menghilang dari layar.

“Teman-teman, apa yang terjadi?” tanya Adelia pada teman-temannya.

“Tidak tahu,” jawab seorang mahasiswi bernama Sika.

“Coba aku lihat lagi, tadi aku merekamnya,” seorang mahasiswa bernama Fandi bersuara.

“Kalian dengar suara benturan keras tidak?”

“Dengar.”

“Aku juga dengar.”

“Profesor langsung offline.”

“Semoga beliau tidak apa-apa.”

“Aku sudah melihat rekamannya,” kata Fandi.

“Tolong share di sini,” kata Adelia.

Fandi menampilkan rekaman kamera zoom di laptopnya. Mulai awal ceramah sampai kamera di laptop profesor oleng seperti terkena gempa.

“Itu sudah semua?”

“Sudah, cuma beberapa menit.”

“Coba dipelanin,” kata Adelia.

“Aku melihat seseorang,” tukas Sika.

“Itu sosok wanita,” kata Jefry ikut mengomentari.

“Lihat kalau dipelanin, wanita itu melempar sesuatu dan mengenai kepala prof sampai jatuh,” kata Fandi.

“Siapa wanita itu?”

“Benda apa yang dilemparnya?” seru yang lain.

“Apa prof baik-baik saja?”

“Biar aku telepon,” kata ketua kelas.

Sejenak Adelia menghilang dari layar zoom. Tak lama kemudian dia muncul.

“Telepon tak diangkat,” kata Adelia.

“Aku membuka Facebook prof, wanita itu istrinya.”

“Kasar sekali.”

“Mana kita tak tahu kabar prof gimana,” kata Fandi.

“Aku yakin dia jatuh juga laptopnya.”

“Bagaimana kita bisa mengkonfirmasi?”

“Teman-teman simpan rekaman itu ya, kita tahan dulu, sampai aku tahu kondisi prof,” kata Adelia.

“Kita viralkan!” kata Jefry.

“Jangan dulu. Aku, Sika dan Fandi jalan ke rumah prof, kita cari tahu masalah ini.”

“Aku tak tahu rumahnya,” kata Sika.

“Aku tahu,” ujar Jefry, “dia tinggal di kompleks dosen.”

“Oke, kita berempat jalan, yang lain sabar dulu ya , nanti aku kabari di grup wasap.”

*
Adelia mengetuk pintu rumah tak berpagar di komplek perumahan dosen itu. Suasana rumah sepi. Seorang wanita membukakan pintu. Perasaan Adelia berdebaran, karena wanita itu persis yang terlihat di layar zoom

“Nyari siapa?”

“Kami mahasiswanya prof Jalal, ingin berkunjung saja. Apakah prof ada?”

“Kami tidak menerima tamu,” kata wanita itu.

“Kami mau bertemu beliau,” kata Adelia.

“Dia ada, cuma lagi sibuk, silakan tinggalkan pesan ya, nanti saya sampaikan, apalagi ini kan masih musim korona, kami tak mengijinkan kalian masuk.”

“Kami cuma melihat ada pemukulan pada profesor saat zoom tadi pagi,” kata Adelia.

“Tidak ada zoom hari ini,” kata wanita itu.

“Ada bu, beliau zoom dengan kami,” kata Jefry,

“Mungkin profesor yang lain, sekarang kalian pergilah.”

“Kami punya rekamannya bu, sekelas adalah saksi pemukulan itu.”

Wanita itu menutup pintu dengan keras, lalu suara kunci yang diputar terdengar nyaring. Sika, Adelia, Fandi dan Jefry saling berpandangan.

*
Adelia mulai berfikir untuk membantu profesor yang ramah itu. Sudah jelas ada benda keras mengenai kepala profesor dan laptop langsung mati, kenapa wanita itu masih saja ngeles.

Apa resikonya kalau dia memviralkan kejadian itu.

Apakah ini merupakan saatnya mengungkap sesuatu yang disembunyikan oleh profesor tentang kekasaran istrinya. Sepulang dari rumah profesor, Adelia mengajak teman-temannya berembug di wag.

“Fandi, kamu cari tahu siapa istri prof itu, dibantu Sika,” kata Adelia. “aku dan Jefry akan menghadap dekan, semoga mendapatkan dukungan.”

“Menurutku tak perlu ke dekan,” ujar Fandi.

“Bener Fan, kita tak perlu melewati jalur formal,” kata Sika.

“Mending kita ngecek beberapa rumah sakit terdekat,” usul Jefry.

Usulan itu paling masuk di akal. Mereka lihat dengan jelas dosen itu terkena pukulan benda keras. Dan laptop yang sedang menyala pun ikutan mati. Ini tak bisa dibiarkan saja.

Beberapa mahasiswa bersedia membantu Jefry mencari info itu.

“Omku kerja di di RS Sarana, nanti aku tanyain juga.”

“Bagaimana kalau usaha ini gagal, apa tindakan kita selanjutnya.”

“Aku kasih batas waktu sampai besok, kalau tidak ada info berarti kita naikkan beritanya,” kata Adelia.

“Sangat tidak mungkin prof melapor polisi,” kata Sika.

“Jangan-jangan udah sering dianiaya istri,” kata Fandi.

“Itulah, kita jangan gegabah, kalau emang ini masalah yang ditutup-tutupi keluarga prof ya kita harus bertindak,” kata Jefry.

“Sebaiknya kita mulai mencari info dan fokus pada tugas masing-masing, aku akan mencoba menghubungi prof lewat wasap,” kata Adelia.

Mereka pun bubar. Dengan segala kepandaiannya di bidang ITE, Fandi mencoba menelusuri siapa perempuan yang telah memukul prof dalam zoom itu. Bukan hal yang sulit, karena di internet segala informasi selalu ada.

“Wanita bernama Dara itu dinikahi prof Jalal lima tahun lalu, setelah sepuluh tahun prof itu hidup sendirian karena istri pertamanya meninggal,” tulis Fandi mengutip sebuah informasi.

“Dari istri pertama prof Jalal mendapatkan seorang putri yang sekarang tinggal di Amerika untuk study, dan Dara adalah ibu tirinya yang dulu adalah mahasiswa prof Jalal.”

Fandi membandingkan foto-foto istri prof dengan penampakan wajahnya di ruang zoom itu. Mungkin saja dia tak menyangka kalau suaminya sedang mengajar online para mahasiswanya.

Penemuan Sika dan Fandi sangat membantu, sementara Jefry dan beberapa mahasiswa gagal mendapatkan informasi mengenai rumah sakit yang menampung peofesor itu.

“Mungkinkah dia masih di rumah, parahkah lukanya?”

“Itu yang kita tidak tahu.”

“Apakah wasapmu mendapat respon?” tanya Fandi pada Adelia.

“Dibaca doang, waktu aku mau chat lagi wasapku sudah diblock. Itu tak mungkin profesor yang melakukan.”

“Terus gimana kita dong.”

“Aku curiga prof disekap, karena tak dikirim ke rumah sakit. Yodah nanti malam aku posting di Twitterku. Kalian semua rituit ya.”

Malam itu Adelia memposting video itu di Twitter, dalam hitungan jam, video itu menjadi viral. Warga internet mengutuki wanita yang memukul profesor itu dengan cara yang sangat kasar.

Berbagai tanggapan dari warga Twitter bermunculan. Mereka juga memposting penganiayaan guru besar itu di akun mereka. Banyak juga yang menghubungkan video itu dengan pihak kelpolisian.

Esoknya istri profesor itu dijemput polisi. Profesor Jalal segera dilarikan ke rumah sakit karena mengalami gegar otak. Wanita itu ditangkap karena telah melakukan penganiayaan. Buktinya sangat jelas dan banyak mahasiswa yang menjadi saksi perstiwa itu.

Adelia dan beberapa temannya mengunjungi profesor di rumah sakit. Disampingnya duduk putrinya sedang tersenyum menyambut kedatangan para mahasiswa itu.

“Terima kasih, karena kalian, ibu tiriku ditangkap.”

“Sama-sama,” kata Adelia.

Cinta, puteri satu-satunya profesor Jalal membuka lengannya dengan melipat baju panjangnya. Lalu dia menunjuk beberapa bekas luka di tangannya.

“Waktu saya tinggal di Jakarta dan masih SMP, dia sering menyulut saya dengan rokok, terutama saat papa mengajar,” kata Cinta.

“Maafkan Papa, Nak, Papa tidak tahu,” kata profesor Jalal.

“Apakah dia sering menganiaya Papa?” tanya Cinta.

“Iya, tetapi dia selalu mengancam, kalau papa berani melapor ke polisi,” katanya.

“Wanita jahat,” kata Cinta.

“Sekarang dia tak bisa lagi menyakiti kita,” kata laki-laki itu pada putrinya.

“Semua berkat mahasiswa papa yang berani ini,” kata Cinta.

“Terima kasih buat kalian ya,” ujar profesor pada Adelia, Fandi, Sika dan Jefry yang mewakili mahasiswa di kelasnya.

Jakarta, 3 Januari 2022

Komentar
Loading...