Meluruskan Hari Jadi Kota Surabaya yang Kontroversi
Menurut Sastrawan Suparto Brata, kontroversi justru kontroversi itu terjadi di kalangan peneliti Hari Jadi Kota Surabaya sendiri.
REKAYOREK.ID Buku “Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Sura ing Baya” terbitan Pemerintah Kota Surabaya tahun 1975, menjadi dokumen penting yang berisi tentang proses penelitian dan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya oleh Pemerintah Kotamadya Tingkat II Surabaya dan DPRD Kotamadya Surabaya pada 1975.
Melalui SK Walikotanya Surabaya no. 64/WK/75 dan SK DPRD Kotamadya Surabaya no. 02/DPRD/Kep./75 ditetapkan bahwa Hari Jadi Kota Surabaya jatuh pada 31 Mei 1293.
Sayang buku in, meski telah dicatak tapi tidak pernah diedarkan secara resmi oleh pemerintah. Buku semakin berlipat ganda karena difoto copy oleh mereka yang tidak hanya tertarik dengan sejarah Surabaya, tapi justru adanya kontroversi mulai dari proses pembahasan di DPRD Kota Surabaya hingga di tingkat pemerhati sejarah dan sejarawan sendiri kalau itu (1975).
Ada apa?
Almarhum Suparto Brata, mantan staf Humas Pemerintah Kota Surabaya, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan penulis, semasa hidupnya pernah bercerita kepada penulis (2010) di seputar kontroversi tentang pemilihan dan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya.
“Justru kontroversi itu terjadi di kalangan peneliti Hari Jadi Kota Surabaya sendiri”, jelas Suparto Brata sambil tersenyum yang ditemui di rumahnya di kawasan Rungkut Surabaya.
“Saya sebagai juru tulis, ya hanya mencatat saja hasil hasil keputusan rapat dan akhirnya jadilah buku yang berjudul Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Sura ing Baya. Tapi bukunya gak pernah beredar”, tambah Suparto Brata sambil tertawa mengingat peristiwa itu.
Dalam buku itu, Suparto Brata tidak hanya melakukan pencatatan, tapi juga malakukan pemotretan di lokasi lokasi yang menjadi jujugan kunjungan lapangan oleh para peneliti. Foto foto hasil bidikan Suparto Brata dimuat dalam buku itu.
Kontroversi itu tentunya tentang dipilihnya tanggal 31 Mei 1293 oleh Walikota Soeparno sebagai Hari Jadi kota Surabaya setelah dirinya disodori 4 alternatif yang diajukan oleh para peneliti.
Empat alternatif itu adalah pertama tanggal 31 Mei 1293 yang diajukan oleh tim peneliti yang terdiri dari Drs. Heru Sukadri, Kolonel Laut Dr. Sugiyarto dan Wiwiek Hidayat.
Alternatif kedua adalah tanggal 11 September 1294, yang diajukan oleh Prof. Koentjoro Poerbopranoto, SH. Ketiga adalah 7 Juli 1358, yang diajukan oleh Drs. Issatriyadi dan Sunarto Timur.
Yang terakhir adalah 4 November 1486, hasil penelitian Suroso tapi diajukan oleh tim sebagai minderheids nota karena dianggap terlalu muda.
Mengapa kala itu almarhum Suparto Brata tersenyum dan tertawa ketika bercerita kepada penulis, mengenai kontroversi Hari Jadi Kota Surabaya? Kiranya pertanyaan penulis ini terjawab oleh kesaksian wartawan senior, Yousri Raja Agama, yang pernah meliput momen di seputar pemilihan dan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya di pertengahan dekade 1970’an.
“Yang dipilih itu ternyata tanggal yang bulannya tidak berdekatan dengan bulan-bulan, yang sudah ada momen peringatan besar di Surabaya. Yaitu bulan Agustus dan bulan November. Dari 4 alternatif itu, bulan yang tidak berdekatan adalah Mei”, terang Yousri ketika menjadi pembicara dalam diskusi publik yang bertema “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” pada peringatan Hari Jadi Kota ke 728 pada Mei 2021.
Dari 4 alternatif hari jadi kota, bulan Juli, September dan November dianggap berdekatan dengan bulan Agustus dalam peringatan 17 Agustus dan November dalam peringatan 10 November.
Dari hasil diskusi publik yang digelar di Lodji Besar, jalan Makam Peneleh Surabaya (Mei 2021), sesungguhnya secara ilmiah dan faktual historis ada yang lebih masuk akal karena memiliki sumber sumber sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Karena kontroversi itu, dalam kesimpulan Penjelasan atas SK DPRD Kotamadya Dati II Surabaya nomor 02/DPRD/Kep/75 Tanggal 6 Maret 1975 dituliskan bahwa secara faktual tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, dengan pembuktian data data sejarah, belum dapat diketemukan.
Dari kesimpulan itu, DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya terlihat meragukan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya sehingga DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas hal ini.
Di internal Pansus juga terjadi pembahasan yang alot sehingga mereka rapat rapat hingga 8 kali, yang masing masing tanggal 8, 9,13, 16, 18, 30 Januari 1975, 3 dan 10 Februari 1975.
Selain poin di atas, kesimpulan ini juga menegaskan bahwa tanggal yang pasti secara faktual belum bisa diketemukan, maka perlu dirumuskan bahwa persetujuan Dewan, yang telah diberikan di atas, tidak menutup kemungkinan bagi peninjauan kembali tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, bila kelak di kemudian hari diketemukan pembuktian berdasarkan data data sejarah.
Tentang Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang Kontroversial
Kontroversi ini terjadi karena setiap tim peneliti mengajukan hasil penelitiannya mengenai Hari Jadi Kota Surabaya dan masing masing tim menyampaikan argumentasinya. Namun pada akhirnya, wali kota lah yang memilih dan setelah dipilih, pilihan wali kota itu (31 Mei 1293) diajukan ke DPRD Kotamadya Surabaya untuk disyahkan. Ternyata DPRD pun mendapati keraguan atas pilihan wali kota sehingga dibentuklah Pansus yang proses pembahasannya pun alot.
Jika membaca buku Hari Jadi Kota Surabaya (1975) memang ada kelemahan kelemahan yang menjadikan kontroversi. Misalnya, dalam penjabaran tema “Hari Jadi Kota Surabaya” menghasilkan Landasan dan Urutan.
Landasan menjadi pegangan prinsip dalam menentukan Hari Jadi Kota Surabaya. Salah satu poin landasan berbunyi bahwa nilai nilai idiil, itu harus ditunjang oleh kebenaran sejarah, yang secara faktuil dibenarkan oleh kenyataan kenyataan sejarah dengan bukti bukti yang sesungguhnya.
Pertanyaan atas isi buku ini adalah apakah pemilihan dan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya memiliki fakta fakta yang didukung bukti?
Kemudian bahwa dalam menentukan Hari Jadi Kota Surabaya juga perlu dinilai apakah lokasi terjadinya peristiwa kepahlawanan (perang Raden Wijaya melawan Tartar) itu ada di wilayah Surabaya sekarang ini.
Yang menarik lagi adalah bahwa sungai Jagir yang mengalir ke timur dan bermuara di Pamurbaya (Pantai Timur Surabaya) dianggap sebagai jalur terusirnya Tartar dari Surabaya (Jawa) pada 31 Mei 1293. Secara administratif dan teritorial karena Jagir masuk wilayah kota Surabaya.
Pertanyaannya adalah apakah pada 1293 di wilayah itu sudah ada sungai yang bermuara di Pamurbaya?
Dari temuan dan penelusuran data dan peta peta kuno, yang dilakukan oleh Tim Reset Begandring Soerabaia, diketahui bahwa berdasarkan peta peta Kuno tahun 1706, 1719, 1722, 1801, 1802 dan 1808, sebagaimana dimuat dalam buku Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indiache Compagnie dimasa pemerintahan Vereniging Oostindische Compagnie (VOC) bahwa Kali Jagir belum ada.
Secara alami aliran Kali Surabaya yang mengalir dari selatan, lalu berkelok ke utara di Wonokromo (Wanacrama) dan menjadi Kalimas yang bermuara di Krembangan. Saat itu di era VOC (1602-1799) juga belum ada Kalimas yang menjorok lurus dari kawasan Jembatan Merah ke arah Ujung.
Kanal Kalimas, sesuai peta peta dalam buku “Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indiache Comagnie. “ dibangun di awal abad 19 atau tahun 1800 awal. Dalam catatan ahli geologi ITS, Amin Widodo, kanal kanal di Surabaya, termasuk kanal Jagir, dibuat pada 1830-an.
Dari info kartografi di atas diketahui bahwa Kali Jagir belum ada di abad 18. Tapi dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya (1975), kali Jagir pada 1293 (abad 13) diilustrasikan sudah ada dan menjadi lokasi peristiwa kepahlawanan yang menjadi dasar pertimbangan HJKS.
Lantas dimanakah peristiwa kepahlawanan itu terjadi? Sejauh ini belum ada sumber sumber kuat yang memberitakan bahwa peristiwa itu (perang Raden Wijaya dan Tartar terjadi di wilayah administratif Surabaya).
Apakah peristiwa perang antara Raden Wijaya dan Tartar ada? Memang ada dan itu fakta. Buktinya sebuah prasasti, yang bernama Prasasti Pasir Cina yang memberitakan tentang ekspedisi Cina ke Jawa. Prasasti ini ditemukan di kepulauan Karimata, wilayah Kalimantan Barat.
Hujunggaluh adalah Surabaya?
Hujung Galuh, di buku Hari Jadi Kota Surabaya” banyak disebut dan diceritakan berada di kawasan administratif Surabaya sekarang. Bahkan diceritakan bahwa nama Surabaya adalah pengganti dari nama Hujung Galuh.
Apakah benar apa yang ditulis dalam buku itu?
Nama Hujung Galuh dan nama Surabaya (Curabhaya) adalah dua nama yang berbeda. Asal usulnya juga berbeda. Sumbernya berbeda. Zamannya berbeda.
Nama Hujung Galuh ditemukan pada prasasti Kamalagyan (1037) di Krian, Sidoarjo. Sedangkan nama Surabaya yang tertulis Curabhaya (1358) ditemukan pada lempeng prasasti Canggu di Mojokerto. Usianya terpaut hampir 300 tahun. Beda zaman. Kamalagyan di jaman raja Airlangga, Kerajaan Kahuripan. Sedangkan Prasasti Canggu di era Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit.
Dari prasasti Canggu itu diketahui letak Curabhaya yang berada di utara Bungkul (Bkul) di posisi paling hilir di aliran sungai Brantas. Letak Curabhaya ini diduga kuat di wilayah delta Sungai Kalimaa dan Pegirian.
Dugaan ini dikuatkan dengan temuan arkeogi berupa Sumur Jobong di kampung Pandean pada 2018 lalu. Dari hasil uji karbon di Australian National University, Canberra Australia bahwa secara fisik sumur itu sudah ada di tahun 1430. Berarti sumur dibuat sebelum 1430. Temuan ini menunjukkan bahwa di kawasan Pandean Peneleh sudah menjadi kawasan permukiman di abad 15.
Sumur Jobong adalah bagian dari sarana kebutuhan domestik dan bahkan sarana kebutuhan ritual keagamaan kala itu. Dugaan ini disampaikan oleh Delta Bayu Murti, S.Sos., M.A.. ahli Paleopathology, Paleoanthropology and Primatology, Universitas Airlangga dalam acara Penulisan Ensiklopedia Sejarah dan Kearifan Lokal yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearaipan (Dispusip) Kota Surabaya pada 17 Oktober 2022.
Lebih lucu lagi ketika hasil penelitian ilmiah peneliti Hari Jadi Kota Surabaya ini menuliskan bahwa kampung Galuhan di Bubutan adalah nama yang berasal dari nama Hujunggaluh.
Padahal nama Galuhan adalah nama baru sebagai pengganti nama nama yang berbau kolonial. Perubahan total dari seluruh nama yang berbau Kolonial dilakukan pada Maret 1953 sebagaimana dimuat dalam surat kabar Nieuwe Courant edisi 18 Maret 1953.
Jadi isi buku Hari Jadi Kota Surabaya, yang tidak lain adalah dokumen proses pencarian, penelitian hingga bahasan bahasan di DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya hingga penetapan hari jadi, perlu ditinjau kembali karena melatar belakangi penetapan Hari Jadi Kota Surabaya yang sejak 1975 hingga sekarang (2022) kita peringati setiap 31 Mei.
Secara langsung Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei juga perlu ditinjau ulang. DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II dalam penjelasan SK nya juga sudah menuliskan catatan bahwa SK penetaoan dapat ditinjau kembali bilamana kelak di kemudian hari diketemukan pembuktian berdasarkan data data sejarah.
Hal yang sama juga dituliskan dalam SK Walikotanya Surabaya bahwa segala sesuatu akan ditinjau kembali dan diubah sebagaimana mestinya, bilamana kelak di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalam penetapan.
Eri Cahyadi: Harus berani Meluruskan Sejarah
Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, beberapa kali mengatakan bahwa kita harus berani meluruskan sejarah. Terakhir, Eri Cahyadi menyampaikan secara terbuka dalam sebuah acara talkshow Ruang Publik TVRI Jawa Timur bahwa ia menyerukan untuk berani meluruskan sejarah kota Surabaya.
Ia mencontohkan pembuatan film Koesno, Jati Diri Soekarno adalah salah satu upaya untuk menguatkan fakta sejarah bahwa Soekarno lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Bahkan dalam film itu, Eri memerankan Soekarno yang dalam adegan menceritakan kisah sambutan Soekarno di Universitas Padjadjaran Bandung. Ia mengoreksi Rektor Universitas Padjadjaran yang sebelumnya mengatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar.
Eri Cahyadi, yang memerankan Soekarno, mengucap kembali statemen Soekarno dan sekaligus mengoreksi sambutan rektor Padjadjaran: “Tadi pak rektor mengatakan bahwa saya lahir di Blitar. Itu salah. Saya lahir di Surabaya. Jadi Saya arek Suroboyo”, tiru Eri.
Bagaimana dengan sejarah sejarah penting lainnya di Surabaya, seperti sejarah Hari Jadi Kota Surabaya? Arek Surabaya harus berani berbuat demi kebenaran.@Nanang