Memoar Wartawan Biasa-Biasa #1
Metamorfosis Amplop
Oleh: Amang Mawardi
Zaman dulu jika seseorang memberi uang kepada kolega, kenalan, atau saudara, dilakukan dengan uluran tangan telanjang.
Mungkin dirasa kurang sopan dan tidak aman, dalam perkembangannya diberikan dalam amplop supaya jika ada yang mengetahui saat uang itu diberikan, dikira surat atau seberkas catatan.
“Rahasia amplop” makin lama bukan rahasia lagi.
Lantas, sekian tahun kemudian, sebagaimana teman-teman mungkin pernah alami, pemberian uang dikemas seperti di bawah ini:
Suatu hari untuk melengkapi reportase tentang hutan mangrove di Surabaya, saya mewawancarai pejabat yang berwenang dengan soal itu yang kantornya terletak di sebelah barat Masjid Al Akbar, Surabaya — sedikit menyeberang rel kereta api.
Setelah lebih kurang sejam wawancara, saya menyampaikan mohon diri, tapi pejabat tadi masih bercerita soal mangrove. Saya lantas mendengarkan dengan sabar.
Saat ada jeda, saya menyampaikan pamit lagi, tapi gesture-nya menahan saya supaya tetap diam di tempat, lantas melanjutkan dengan keterangannya.
Baru sesaat setelah pamit yang ketiga, seorang wanita pegawai masuk ruangan pak kepala tersebut sambil membawa selembar map karton warna hijau yang lantas diserahkan ke pejabat (maaf) berkepala sedikit botak tapi ganteng itu.
Selanjutnya map dioper ke saya.
“Apa ini, pak ?” tanya saya sembari menunduk ke arah map yang saya pegang.
“Sekadar untuk beli bensin… ” jawab bapak tadi dengan sopan.
Dengan kalem map tadi saya kembalikan ke beliau disertai permintaan maaf. (Bukan berarti saya tidak pernah terima “pemberian” lho, pren…).
Pantas, pak kepala instansi itu menahan-nahan saya, ternyata anak buahnya sedang menyiapkan amunisi.
Setelah mengambil kendaraan di tempat parkir, dalam otw pulang, saya menduga-duga bahwa di balik permukaan meja pak pejabat tadi ada bel-nya.
Satu kali bunyi bel (“tet”), mungkin maksud perintahnya: sediakan minuman!
Dua kali bunyi bel (“tet” “tet”), mungkin: sediakan uang bensin! Dst dst sesuai kode yang disepakati.
(Saat wawancara, selintas saya lihat tangan beliau berada sebentar di balik permukaan meja. Bukan di permukaan seperti sebelumnya).
***
Sekitar 7-8 tahun lalu saya diundang acara buka puasa di rumah seorang tokoh pers. Puluhan wartawan dari berbagai media hadir di situ dalam suasana lesehan.
Di tengah acara ceramah, secara “senyap” sekretaris tokoh pers tadi mendatangi satu per satu undangan yang hadir. Tiba giliran saya, paper bag diulungkan, disertai ucapan, “titip untuk ibu ya, pak amang… “.
Setelah mbak sekretaris tadi berlalu, paper bag saya longok, isinya sekotak kuwe. Terus mata saya kembali ke arah penceramah. Lantas saya longok lagi bagian dalam paper bag tadi. ‘Lho… kok ada tempe,’ saya membatin.
Tapi dengan cepat sudah bisa menduga “tempe mentah” yang dibungkus dengan daun pisang ini, pasti bukan tempe biasa.
Betul juga, saat saya memasuki kendaraan seusai acara, sesuatu yang lebih kecil dari sepotong tempe itu, daun pisangnya saya bongkar, terlihatlah lembaran-lembaran uang ratusan ribu rupiah yang terlipat rapi seperti habis diseterika.
***
Dalam kesempatan terpisah –masih seputar “tempe” tadi– tersebutlah tiga wartawan semobil dalam perjalanan pulang sehabis acara buka puasa itu.
Wartawan yang berada di belakang kemudi cerita tentang “tempe” tersebut. Disaut oleh wartawan satunya.
Wartawan satunya lagi yang juga dikenal sebagai penyair, lantas nyelethuk, “lho… tempe apa ?” dengan sedikit heran.
Cekak aos, saat mbak sekretaris tadi melakukan “operasi senyap”, pak wartawan yang penyair itu sedang berada di toilet.
Ya, kelewatan…
Tapi, sungguh mulia pak wartawan yang berada di balik setir mobil itu, isi bungkusan “tempe” tadi diberikan semua kepada pak wartawan yang penyair tersebut.
“Buat nambah uang lebaran,” kata beliau.
Begitulah tahapannya, pren : amplop – map – daun pisang.
Sebetulnya ada satu lagi: transfer!@